1.
Definisi dalam Konseling
Mencermati
dinamika konseling dewasa ini, definisi konseling dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu definisi konvensional dan definisi modern. Definisi konseling
konvensional lebih bercirikan bahwa pelayanan konseling tidak menggunakan
teknologi informatika, sedangkan definisi konseling modern bercirikan suatu
pelayanan konseling menggunakan teknologi informatika.
1.
Definisi Konseling
Konvensional
Secara konvensional, konseling
didefinisikan sebagai pelayanan professional (professional service) yang
diberikan oleh konselor kepada klien secara tatap muka (face to face)
agar klien dapat mengembangkan perilakunya kea rah lebih maju (progressive).
Pelayanan konseling berfungsi kuratif (curative) dalam arti penyembuhan
dimana klien adalah individu yang mengalami masalah, dan setelah memperoleh
layanan konseling, ia diharapkan secara bertahap dapat memahami masalahnya (problem
understanding) dan memecahkan masalahnya (problem solving).
2.
Definisi Konseling Modern
Definisi konseling modern merupakan hasil
perkembangan konseling dalam abad teknologi, sehingga proses konseling
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informatika. Konseling
adalah profesi bantuan (helping profession) yang diberikan oleh konselor
kepada klien atau kelompok klien, dimana konselor dapat menggunakan teknologi
sebagai media untuk memfasilitasi proses perkembangan klien atau kelompok klien
sesuai dengan kekuatan, kemampuan potensial dan actual serta peluang-peluang
yang dimiliki, dan membantu mereka dalam mengatasi segala permasalahan dalam
perkembangan dirinya.
Konseling tidak hanya diberikan secara
tatap muka (face to face) untuk menjalankan fungsi penyembuhan (curative),
artinya bias tidak secara tatap muka karena menggunakan teknologi informatika
seperti internet, sehingga konseling bias diberikan konselor kepada klien
secara berjauhan tanpa membatasi lokasi dan waktu untuk menjalankan berbagai
fungsi pelayanan konseling diantaranya penyembuhan (curative).
Menurut Jones (1995:2) konseling
didefinisikan sebagai hubungan bantuan yang bersifat pribadi (as a special
kind of helping relationship), sebagai bentuk intervensi (as a
repertoire of interventions), dan sebagai proses psikologis (as a
psychological process) untuk mencapai tujuan.
2.
Tujuan Konseling
Secara umum tujuan konseling adalah agar
klien dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih maju (progressive
behavior changed), melalui terlaksananya tugas-tugas perkembangan secara
optimal, kemandirian dan kebahagiaan hidup. Secara khusus tujuan konseling
tergantung dari masalah yang dihadapi oleh masing-masing klien.
Jones
(1995:3) menyatakan setiap konselor dapat merumuskan tujuan konseling yang
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing klien. Sebagai contoh tujuan
konseling adalah agar klien dapat memecahkan masalahnya saat ini, menghilangkan
emosinya yang negatif, mampu beradaptasi, dapat membuat keputusan, mampu
mengelola krisis, dan memiliki kecakapan hidup (lifeskill).
Berikut adalah beberapa tujuan konseling (McLeod, 2008:13-14):
1.
Pemahaman.
Adanya pemahaman terhadap akar dan perkembangan kesulitan emosional mengarah
pada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih control rasional daripada
perasaan dan tindakan.
2.
Hubungan dengan orang lain.
Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan
memuaskan dengan orang lain.
3.
Kesadaran diri.
Menjadi lebih peka terhadap perasaan dan pemikiran yang selama ini ditahan atau
ditolak.
4.
Penerimaan diri.
Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh kemampuan
menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subyek kritik dan penolakan.
5.
Pemecahan masalah.
Menemukan pemecahan masalah tertentu yang tidak bias diselesaikan oleh konseli
sendiri.
6.
Aktualisasi diri atau
individuasi. Pergerakan ke arah pemenuhan potensi
atau pemenuhan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan.
7.
Pendidikan psikologi.
Membuat konseli mampu menangkap ide dan teknik untuk memahami dan tingkah laku.
8.
Keterampilan sosial.
Mempelajari dan menguasai keterampilan sosial dan interpersonal.
9.
Perubahan kognitif.
Mengganti kepercayaan yang irasional dan pola pemikiran yang tidak dapat
diadaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah laku penghancur.
10.
Perubahan tingkah laku.
Mengganti perilaku yang maladaptif.
11.
Perubahan sistem.
Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial.
12.
Penguatan.
Berkenaan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan membuat
konseli mampu mengontrol kehidupannya.
13.
Restitusi.
Membantu konseli membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.
14.
Reproduksi dan aksi sosial.
Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli kepada
orang lain, membagi pengetahuan, dan mengontribusikan k.ebaikan bersama melalui
kesepakatan politik dan kerja komunitas.
3.
Ciri-ciri Konseling
Konseling merupakan pelayanan professional
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan pelayanan bimbingan yang
lain. Combs and Avila (1985:1-2); Brammer and Shostrom (1982:114); Depdiknas
(2004:13-14); dan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (2005:6) mengemukakan
beberapa ciri konseling yaitu: konseling sebagai suatu profesi bantuan (helping profession),
konseling sebagai hubungan pribadi (relationship counseling), konseling
sebagai bentuk intervensi (interventions repertoire), konseling untuk
masyarakat luas (counseling for all), dan konseling sebagai pelayanan
psikopedagogis (psycho-pedagogical service).
4.
Fungsi Pelayanan Konseling
Pelayanan konseling mengemban sejumlah
fungsi yang hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan konseling. Fungsi
tersebut mencakup; fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengentasan,
fungsi pemeliharaan dan pengembangan, serta fungsi advokasi. Kelima fungsi
tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.
Fungsi pemahaman (understanding
function)
Fungsi pemahaman yaitu fungsi konseling
yang menghasilkan pemahaman bagi klien atau kelompok klien tentang dirinya,
lingkungannya, dan berbagai informasi yang dibutuhkan. Pemahaman diri meliputi
pemahaman tentang kondisi psikologis seperti: intelegensi, bakat, minat, dan ciri-ciri
kepribadian, serta pemahaman kondisi fisik seperti kesehatan fisik (jasmaniah).
Pemahaman lingkungan mencakup: lingkungan alam sekitar dan lingkungan sosial,
sedangkan pemahaman berbagai informasi yang dibutuhkan: informasi pendidikan
dan informasi karier.
2.
Fungsi pencegahan (preventive
function)
Fungsi pencegahan adalah fungsi konseling
yang menghasilkan kondisi bagi tercegahnya atau terhindarnya klien atau
kelompok klien dan berbagai permasalahan yang mngkin timbul, yang dapat
mengganggu, menghambat atau menimbulkan kesulitan dan kerugian-kerugian
tertentu dalam kehidupan dan proses perkembangan.
3.
Fungsi pengentasan (curative
function)
Fungsi pengentasan adalah fungsi konseling
yang menghasilkan kemampuan klien atau kelompok klien untuk memecahkan masalah-masalah
yang dialaminya dalam kehidupan dan/atau perkembangannya.
4.
Fungsi pemeliharaan dan
pengembangan (development and preservative)
Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
adalah fungsi konseling yang menghasilkan kemampuan klien atau kelompok klien
untuk memelihara dan mengembangkan berbagai potensi atau kondisi yang sudah
baik agar tetap menjadi baik untuk lebih dikembangkan secara mantap dan
berkelanjutan.
5.
Fungsi advokasi
Fungsi advokasi adalah fungsi konseling
yang menghasilkan kondisi pembelaan terhadap berbagai bentuk pengingkaran atas
hak-hak dan/atau kepentingan pendidikan dan perkembangan yang dialami klien
atau kelompok klien.
5.
Prinsip-prinsip Pelayanan
Konseling
Dalam pelayanan konseling, prinsip adalah
kaidah atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh konselor dalam
memberikan pelayanan konseling kepada klien. Prayitno, dkk (1997:27-30)
menyatakan bahwa prinsip-prinsip pelayanan bimbingan dan konseling mencakup
empat kelompok yaitu: (1) prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran
pelayanan; (2) prinsip-prinsip yang berkenaan dengan permasalahan klien; (3)
prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan; (4) prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan.
6.
Asas-asas Pelayanan Konseling
Pelayanan konseling adalah pekerjaan
professional yang diberikan oleh konselor kepada klien dengan mendasarkan pada
prinsip-prinsip dan asas-asas pelayanan konseling. Asas-asas pelayanan
konseling merupakan suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam menjalankan pelayanan
konseling. Asas-asas tersebut mengacu pada asas-asas Bimbingan dan Konseling
yaitu: asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kemandirian, kegiatan,
kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan, dan tut wuri
handayani (Prayitno, 1999:115).
Menurut
Winkell (1989:301-302), pelayanan seorang konselor terhadap konseli yang
bercorak membantu dan dibantu (helping relationship), yang berlangsung secara
formal dan dikelola secara professional, kiranya harus memperhatikan berbagai
asas-asas yang harus dipahami bersama, yaitu:
1.
Bermakna, baik untuk konselor
maupun konseli karena kedua belah pihak melibatkan diri sepenuhnya.
2.
Mengandung unsur kognitif dan
afektif karena konselor dan konseli berpikir bersama, serta alam perasaan
konseli sepenuhnya diakui ikut dihayati konselor.
3.
Berdasarkan sikap saling
percaya dan saling terbuka. Kedua partisipan saling mengandalkan sebagai
pribadi yang berkehendak baik.
4.
Berlangsung atas dasar saling
memberikan persetujuan, dalam arti konseli member persetujuan terjadinya
komunikasi secara sukarela dan konselor menerima dengan rela permintaan untuk
memberikan bantuan profesional.
5.
Terdapat suatu kebutuhan di
pihak konseli, yang diharapkan dapat terpenuhi melalui wawancara konseling. Di
pihak konselor kebutuhan itu disadari dan diakui termasuk lingkup keahliannya
sehingga konselor berusaha memenuhinya.
6.
Terdapat komunikasi dua arah,
dalam arti konselor dan konseli saling menyampaikan pesan atau saling
mengirimkan berita, baik melalui saluran verbal amaupun nonverbal. Pesan
tersebut saling ditanggapi.
7.
Mengandung strukturalisasi,
dalam arti komunikasi tidak berlangsung apa adanya, seperti lazimnya komunikasi
social nonprofesional.
8.
Berasaskan kerelaaan dan usaha
untuk bekerja sama agar tujuan yang disepakati bersama tercapai.
9.
Mengarah pada suatu perubahan
pada diri konseli. Perubahan itu adalah tujuan yang hendak dicapai bersama.
10.
Terdapat jaminan bahwa kedua
partisipan merasa aman, dalam arti konseli dapat yakin akan ketulusan konselor
dalam membantunya sehingga keterbukaan konseli tidak akan disalahgunakan oleh
konselor.
7.
Syarat-syarat Konseling
Untuk mengadakan proses konseling, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu dari sisi
guru sebagai konselor dan siswa sebagai konseli. Menurut Winkell (1989:87-88),
beberapa syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Di pihak konselor
1.
Tiga sikap pokok, yaitu
menerima (acceptance), memahami (understanding), dan sikap
bertindak dan berkata jujur. Sikap menerima berarti pihak konselor menerima
siswa sebagaimana adanya dan tidak segera mengadili siswa karena kebenaran dan
pendapatnya / perasaannya / perbuatannya. Sikap memahami berkaitan dengan
tuntutan seorang konselor agar berusaha dengan sekuat tenaga menangkap dengan
jelas dan lengkap hal-hal yang sedang diungkapkan oleh siswa, baik dalam bentuk
kata-kata maupun tindakan. Sedangkan sikap bertindak dan berkata secara jujur
berarti bahwa seorang konselor tidak berpura-pura sehingga siswa semakin
percaya dan mantap ketika sedang berhadapan dengan konselor.
2.
Kepekaan terhadap apa yang ada
di balik kata-kata yang diungkapkan konseli. Kepekaan yang dibangun oleh
konselor sekolah akan membantu dalam proses konseling karena konselor akan
mendapatkan banyak data yang mungkin secara verbal maupun nonverbal diungkapkan
oleh konseli.
3.
Kemampuan dalam hal komunikasi
yang tepat (rapport). Hal ini berarti konselor mampu menyatakan
pemahamannya terhadap hal-hal yang diungkapkan konseli.
4.
Memiliki kesehatan jasmani dan
mental yang sehat.
5.
Wajib menaati kode etik
jabatan sesuai dengan yang telah disusun dalam Konvensi Nasional Bimbingan I.
2.
Di pihak konseli
1.
Motivasi yang mengandung
keinsyafan akan adanya suatu masalah, kesediaan untuk mengungkapkan masalahnya
dengan tulus, jujur, dan adanya kemauan untuk mencari penyelesaian masalah itu.
2.
Keberanian untuk mengungkapkan
data-data yang ada dalam dirinya sehingga konselor akan lebih mudah
memahami/mengenal konseli secara lebih mendalam. Selain itu, konselor juga
harus menyadari bahwa konseli yang dating mungkin sedang mengalami perasaan
yang sangat sensitive, kurang tenang, kecemasan yang berlebihan, atau
kemarahan. Maka, konselor harus bias sabar dan masuk melalui pintu yang tepat
agar dapat membantu siswa mengungkapkan seluruh perasaan dan pikiran yang
mengganggunya saat itu.
Agar proses konseling berjalan lancer,
pihak konselor harus memenuhi beberapa syarat di atas. Di samping itu, konselor
juga harus melihat beberapa syarat yang ada di pihak konseli, apakah konseli
layak atau tidak untuk dibantu. Jika saat itu konseli belum siap dibantu,
pertemuan bias diundur sampai konseli siap dengan keadaannya untuk proses
konseling atau konseli harus segera dibantu, tetapi dengan bantuan pihak
psikolog ataupun psikiater.
8.
Teknik-teknik Konseling
(Verbal dan Nonverbal)
Dalam proses konseling, konselor harus
mampu menggali perasaan dan pikiran konseli. Proses penggalian ini membutuhkan
sebuah teknik khusus agar pertanyaan/pernyataan yang dilontarkan konselor
kepada konseli dapat menghipnosis konseli untuk semakin terbuka. Untuk itu,
konselor harus menguasai teknik-teknik konseling secara verbal (dengan
kata-kata) maupun nonverbal.
1.
Teknik konseling verbal
Menurut Winkell (1991:316), teknik
konseling verbal adalah tanggapan–tanggapan verbal yang diberikan konselor,
yang merupakan perwujudan kongkret dari maksud pikiran, perasaan yang terbentuk
dalam batin konselor untuk membantu konseli pada saat tertentu. Ungkapan
konselor kepada konseli akan menggunakan sebuah teknik verbal atau lebih,
tergantung pada intensitas pertemuannya. Tanggapan verbal konselor akan
dituangkan dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan, kalimat tanya, atau
komibanasi dari pernyataan dan kalimat tanya. Teknik-teknik konseling secara
verbal adalah sebagai berikut (Winkell, 1991:316):
1.
Ajakan untuk memulai (invitation
to talk)
Pada akhir fase pembukaan konselor mempersilahkan konseli untuk
mulai menjelaskan masalah yang ingin dibicarakan. Jika konseli dating kepada
konselor atas inisiatifnya sendiri, ajakan untuk memulai ini akan mudah
ditangkap oleh konseli. Akan tetapi, jika konseli dating kepada konselor karena
dipanggil, konselor harus sangat bijaksana dalam menentukan terhadap siapa dan
kapan teknik ini digunakan. Usul/saran biasanya digunakan/diberikan dalam fase
penyelesaian masalah.
Contoh:
waktu yang tepat seandainya saudara ingin membicarakan pemilihan jurusan kepada
ibu saudara adalah pada saat acara santai dengan keluarga. Bagaimana?
- kalau boleh saya
usul, waktu yang tepat adalah setelah makan malam, bagaimana?
2.
Penolakan (criticism)
Konselor menyatakan pendapatnya berdasarkan pertimbangan objektif,
yang bersifat menolak pandangan, tindakan, atau rencana konseli. Akan tetapi,
pemberian teknik ini harus sangat hati-hati karena penyampaian yang tidak tepat
bias merusak hubungan dalam proses konseling. Dalam hal tindakan moral dan
pendidikan, teknik ini akan mudah digunakan.
Contoh:
Ko
: saya tidak sependapat dengan tindakan anda yang main hakim sendiri.
Ko
: pendapat anda, bahwa orang yang berpacaran harus melakukan hubungan seksual.
Saya tidak sependapat dengan saudara karena hal ini melanggar norma moralitas.
Teknik-teknik
konseling tersebut harus digunakan oleh konselor secara spontan dan luwes.
Diharapkan dalam pendekatan konseling teknik-teknik ini dapat dimunculkan
sehingga proses konseling akan tersusun dengan sistematis. Semua konselor pasti
mampu menggunakannya asalkan sering berlatih dan menerapkannya. Di sisi lain,
ketika proses konseling berlangsung, konseli akan menyampaikan banyak pesan
yang tersirat dalam bentuk ungkapan-ungkapan perasaan, baik perasaan senang
maupun tidak senang. Untuk itu, konselor harus tanggap dengan ungkapan-ungkapan
tersebut. Berikut adalah daftar perasaan yang biasa diungkapkan oleh konseli.
1.
Perasaan senang
·
Merasa bahagia.
·
Merasa bebas.
·
Merasa puas.
·
Merasa tenang.
·
Merasa tertarik.
·
Merasa sabar.
·
Merasa nikmat.
·
Merasa yakin.
·
Merasa kagum.
·
Merasa cinta.
·
Merasa lega.
·
Merasa pantas.
·
Merasa santai.
·
Merasa takjub.
·
Merasa damai.
·
dan seterusnya.
2.
Perasaan tidak senang
·
Merasa asing.
·
Merasa bingung.
·
Merasa takut.
·
Merasa cemas.
·
Merasa benci.
·
Merasa bosan.
·
Merasa cemburu.
·
Merasa sakit hati.
·
Merasa kehilangan.
·
Merasa kesepian.
·
Merasa berat.
·
Merasa berdosa.
·
Merasa tegang.
·
Merasa terpojok.
·
Merasa terombang-ambing.
·
dan seterusnya.
2.
Teknik konseling nonverbal
Selain menggunakan teknik konseling verbal,
konselor pun harus mampu menggunakan teknik konseling nonverbal. Dengan
menguasai teknik konseling nonverbal, konselor dapat menangkap isyarat/pesan
konseli yang belum terungkap secara verbal. Penggunaan teknik ini harus
memiliki kesesuaian antara apa yang diungkapkan oleh konselor dengan perilaku
yang tampak dihadapan konseli. Berikut teknik-teknik nonverbal:
1.
Anggukan kepala;
untuk menyatakan sependapat, setuju, searah dengan jalan yang diungkapkan
konseli.
2.
Senyuman;
untuk menyatakan sikap menerima. Biasanya pada saat menyambut kedatangan
konseli.
3.
Tatapan mata;
untuk menyatakan sikap sedang memperhatikan. Tentunya tatapan mata yang
dimaksud adalah menatap/memperhatikan ke arah seluruh wajah konseli.
4.
Intonasi suara;
untuk menyatakan kesesuaian pembicaraan dengan konseli.
5.
Ekspresi muka;
untuk mendukung reaksi-reaksi yang diungkapkan konseli.
6.
Diam;
untuk menyatakan/mempersilahkan konseli untuk terus melanjutkan pembicaraan
atau empati terhadap ungkapan perasaan konseli. Diam bukan berarti membiarkan konseli.
Diam adalah sikap menghargai.
7.
Gerakan tangan;
untuk memperkuat/mendukung apa yang diucapkan konselor secara verbal.
8.
Gerakan bibir;
gerakan bibir harus dilakukan secara wajar jika konselor tidak berbicara karena
gerakan bibir yang berlebihan bisa menimbulkan efek sikap negative bagi
konseli.
9.
Pakaian;
pakaian konselor akan sangat mendukung dalam proses konseling. Jika konselor
menggunakan pakaian yang bersih, rapi, wangi, dan sesuai, konseli akan sangat
merasa nyaman berbicara dengan konselor.
10.
Jarak tempat duduk;
konselor harus tepat dalam pengaturan jarak tempat duduk dengan konseli. Karena
jika terlalu jauh akan terkesan menolak, jika terlalu dekat konseli pun tidak
akan merasa nyaman.
Penggunaan teknik-teknik nonverbal ini
akan sangat membantu dalam proses konseling. Ada beberapa alasan yang mendasari
mengapa teknik-teknik nonverbal sangat penting untuk dilakukan (Leather, dalam
Rakhmat, 1991:287-289), yaitu:
1.
Faktor nonverbal sangat
menentukan makna komunikasi interpersonal.
Pada saat mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita akan
banyak menyampaikan gagasan dan pikiran melalui pesan-pesan nonverbal. Pada
gilirannya, orang lain pun lebih banyak membaca pikiran melalui
petunjuk-petunjuk nonverbal.
2.
Perasaan dan emosi lebih
dicermati jika disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal.
Perasaan dan emosi seseorang akan lebih mudah diungkapkan melalui
bahasa nonverbal daripada bahasa verbal.
3.
Pesan nonverbal menyampaikan
makna dan maksud yang relative
bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan.
Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar,
kecuali oleh aktor-aktor yang telah terlatih.
4.
Pesan nonverbal menyampaikan
fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang
berkualitas tinggi.
Fungsi metakomunikatif berarti memberikan informasi tambahan yang
memperjelas maksud dan makna pesan.
5.
Pesan nonverbal merupakan cara
berkomunikasi yang lebih efisien daripada pesan verbal.
Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan
verbal selalu terdapat redundasi (lebih banyak lambing daripada yang
diperlukan), repetisi, ambiguitas (kata-kata yang berarti ganda), dan
abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan kata secara verbal
daripada secara nonverbal.
6.
Pesan nonverbal merupakan
sarana sugesti yang paling tepat.
Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan
gagasan atau emosi secara tidak langsung. Sugesti di sini dimaksudkan untuk
menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat).
9.
Teori Konseling
Dari lima teori konseling, dikembangkan
model pendekatan untuk wawancara konseling. Berikut adalah teori konseling
beserta contoh kasusnya sehingga konselor bisa menggunakan pendekatan yang
tepat untuk membantu memecahkan masalah konseli.
1.
Konseling Berpusat Klien
Digunakan untuk menangani konseli yang menentukan pilihan-pilihan
yang terkait dengan kehidupannya sehari-hari, tetapi tidak terkait dengan
karir/jabatan tertentu, misalnya pilihan untuk tinggal di kost, pilihan agama,
pilihan untuk tinggal dengan ayah tiri/ayah kandung, dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam proses konseling, pendekatan ini dapat disebut wawancara
pengambilan keputusan (Decision Making Interview[DMI]).
2.
Konseling Sifat dan Faktor
Digunakan untuk menangani masalah konseli terkait dengan
pilihan-pilihan hidup yang berhubungan dengan karir/jabatan, misalnya
kebingungan dalam memilih perguruan tinggi, SMA, jurusan, dan sebagainya.
3.
Konseling Behavioristik
Digunakan untuk membantu masalah konseli yang terkait dengan
perilaku-perilaku maladaptif, misalnya takut pada cicak, ketinggian, kolam
renang, kepemimpinan, dan sebagainya.
4.
Konseling Emotif Rasional
Dapat digunakan untuk membantu konseli yang berpandangan
irrasional (irrational belief), misalnya berpikir gurunya adalah momok
dalam hidup, ayahnya adalah virus dalam hidup, ia adalah anak yang tidak
berguna, dan sebagainya.
5.
Ekletik
Digunakan untuk membantu konseli yang kurang bisa menyesuaikan
diri dengan tuntutan lingkungan sekitar, misalnya tidak betah tinggal di rumah,
tidak kerasan tinggal di kelas baru, kurang nyaman dengan rumah baru, dan
sebagainya. Selanjutnya pendekatan ini disebut konseling penyesuaian diri (self-adjustment
counseling).
10.
Wawancara Konseling
Untuk melakukan wawancara konseling,
konselor menggunakan langkah kerja/fase-fase agar apa yang akan dibicarakan dan
diselesaikan bersama konseli dapat tersusun secara sistematis. Berikut adalah
beberapa langkah dalam proses konseling menurut para ahli.
1.
Mears dan Thorne (dalam McLeod, 2008:366)
Ada tiga fase dalam proses konseling, yaitu:
1.
Fase awal :
membantu konseli mengenali dan menjernihkan situasi masalah.
2.
Fase tengah :
mengembangkan program untuk situasi yang konstruktif.
3.
Fase akhir :
mengimplementasikan target.
2.
Williamson (Koestoer,
1984:58)
1.
Analisis :
pengumpulan data dari berbagai sumber.
2.
Sintesis :
meringkas dan menyusun data yang menampakkan sifat-sifatnya yang bernilai,
kekuatan, kekurangan, tanggung jawab, kesesuaian dan ketidaksesuaian.
3.
Diagnosis :
memformulasikan konklusi-konklusi tentang sifat-sifat dan sebab-sebab masalah
yang ditampilkan konseli.
4.
Prognosis :
meramalkan masa depan perkembangan masalah siswa, sejauh mana hal itu dapat
mengadakan perubahan-perubahan tingkah laku siswa yang lebih baik.
5.
Tindak lanjut :
membantu siswa dengan masalah-masalah baru atau masalah lama yang muncul
kembali.
3.
Winkell (1991:227)
1.
Fase pembukaan,
2.
Fase penjelasan masalah,
3.
Fase penggalian masalah,
4.
Fase penyelesaian masalah, dan
5.
Fase penutup.
Dari beberapa model fase/langkah kerja
dalam proses konseling yang dijelaskan oleh para ahli tersebut, berikut langkah
kerja/fase-fase untuk mengadakan wawancara konseling, yaitu:
1.
Hubungan Awal
Hubungan awal diletakkan pada dasar untuk membangun hubungan
pribadi dengan konseli yang nantinya akan mendukung proses wawancara konseling
yang baik. Hal yang dilakukan konselor dalam hubungan awal adalah sebagai
berikut:
1.
Menyambut kedatangan konseli
dengan sikap ramah, senyuman, dan bahasa-bahasa yang lembut.
2.
Mempersilahkan konseli duduk.
3.
Konselor mengajak konseli
berbasa-basi. Dalam hal ini, basa-basi yang dimaksud kiranya sesuai dengan
konteks yang terhangat saat itu atau konteks mengenai seputar kehidupan
konseli, misalnya basa-basi dalam hal kegiatan yang baru saja konseli lakukan,
hobi, atau kebiasaannya. Dalam basa-basi ini konselor harus pandai mengatur
waktunya, basa-basi yang terlalu lama juga tidak baik.
4.
Jika konseli dating karena
dipanggil, konselor wajib menjelaskan alasan konseli dipanggil. Jika ada
peraturan khusus yang menjadi syarat bagi konseli, konselor juga perlu
menjelaskannya. Jika konseli datang karena kesadarannya sendiri, konselor tidak
perlu menjelaskan alas an konseli dipanggil.
5.
Konselor mempersilahkan
konseli untuk mengungkapkan masalahnya.
2.
Penjelasan Masalah
Konseli mengungkapkan hal yang ingin dibicarakan dengan konselor.
Inisiatif berada di pihak konseli. Konseli bebas mengutarakan apa yang akan
diungkapkan. Sambil mendengarkan ungkapan masalah konseli, konselor mulai
menentukan pendekatan yang tepat terhadap masalah konseli tersebut.
3.
Penggalian Masalah
Di dalam penjelasan masalah biasanya konseli hanya mengungkapkan
hal-hal pokok yang menjadi beban pikiran dan perasaannya. Penggalian masalah
dipakai untuk mengungkapkan lebih dalam masalah konseli. Penggalian ini
tentunya akan disesuaikan dengan masalah dan pendekatan yang digunakan dalam
konseling. Menurut Winkell (1991:339-370), beberapa strategi yang bisa
dilakukan untuk melakukan penggalian masalah terhadap masing-masing pendekatan
adalah sebagai berikut:
1.
Behavioristik
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli.
Data-data yang akan digali terkait dengan kejadian pada masa sekarang,
pengalaman-pengalaman negative yang pernah dialami pada masa lalu,
perasaan-perasaan sekarang, perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan pada
kejadian masa lalu, apa yang dipikirkan pada saat sekarang, apa yang dipikirkan
pada masa lalu ketika mengalami kejadian yang kurang menyenangkan, dan
konsekuensi yang diterima setelah kejadian. Dengan demikian, alur yang akan
dipakai oleh konselor adalah:
A (antecedent) B (behavior) C (consequence)
2.
Konseling Terapi Emotif
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli.
Data-data yang akan digali terkait dengan kejadian tertentu (activating
event, activating
experience), tanggapan terhadap kejadian yang dialami konseli (belief)
yang menimbulkan pikiran irasional dari setelah kejadian itu direspons, akibat
pandangan irasional (consequence).
3.
Wawancara Pengambilan
Keputusan
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli.
Data-data yang akan digali terkait dengan asal usul masalah konseli, unsur
penting (pokok) yang mendukung munculnya konflik konseli, perasaan-perasaan dan
pikiran konseli, dan orang-orang yang terlibat sehingga ikut memunculkan
konflik konseli.
4.
Konseling Sifat dan Faktor
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli.
Data-data yang akan digali terkait dengan asal usul masalah konseli, data
pribadi tentang konseli (cita-cita, kemampuan kognitif, bakat khusus,
sifat-sifat positif dan negative dalam diri konseli, nilai-nilai hidup yang
diperjuangkan, hobi, harapan-harapan untuk masa depan, perguruan tinggi yang
diinginkan), dan data tentang keluarga konseli (pekerjaan orangtua, jumlah
saudara, harapan orangtua terhadap perguruan tinggi).
5.
Konseling Wawancara
Penyesuaian Diri
Konselor menggali informasi yang lebih dalam dari konseli.
Data-data yang akan digali terkait dengan unsur-unsur yang mendukung munculnya
konflik konseli, yaitu data tentang keluarga, lingkungan-lingkungan luar tempat
konseli tinggal, perasaan, dan pikiran yang dialami.
4.
Penyelesaian Masalah
Konselor dan konseli membahas pilihan-pilihan yang akan dibuat
oleh konseli. Konselor akan menuntun konseli agar semakin terbuka untuk berani
mengambil keputusan terhadap masalahnya. Menurut Winkell (1991:339-370),
beberapa strategi yang bisa digunakan untuk melakukan penggalian masalah pada
masing-masing pendekatan adalah sebagai berikut:
1.
Behavioristik
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli, bahwa
pengalaman pada masa lalu mempengaruhi proses belajar sekarang. Konselor mengajak
konseli untuk berperilaku baru yang lebih realistic dengan menggali
pengalaman-pengalaman positif di masa lalu. Pengalaman positif inilah yang akan
dijadikan patokan konseli untuk memiliki kognisi yang baru. Dengan demikian,
konseli akan merencanakan tindakan-tindakan konkret yang lebih baik.
2.
Konseling Terapi Emotif
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli. Konselor
memberikan pandangan-pandangan yang akan mengubah pikiran irasional konseli.
Untuk mengubah pandangan tersebut, konselor menentang pikiran irasional (dispute)
konseli dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan demikian, konseli diharapkan akan
mengubah pandangan irasionalnya (efek).
3.
Wawancara Pengambilan
Keputusan
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli. Konselor
mengajak konseli untuk membuat/menentukan norma/patokan mengenai hal-hal yang
kiranya menjadi landasan dalam hidupnya. Konselor mengajak konseli untuk
membuat perbandingan dengan melihat keuntungan (pro) dan kerugian (kontra)
dengan beberapa pilihan yang menjadi kesulitannya. Selanjutnya, untuk
mengarahkan konseli agar bisa memutuskan pilihannya, konselor memberikan
pertanyaan-pertanyaan pembanding.
4.
Konseling Sifat dan Faktor
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli. Konselor
mengajak konseli untuk membuat perbandingan dengan melihat keuntungan dan
kerugian dengan beberapa pilihan yang menjadi kesulitannya. Memberikan
pertanyaan-pertanyaan pembanding dengan kata mungkinkah, inginkah,
dan bisakah.
Selanjutnya, konselor mengarahkan konseli agar bisa memutuskan pilihannya.
5.
Konseling Wawancara
Penyesuaian Diri
Konselor menjelaskan sumber masalah yang dialami konseli. Konselor
menanyakan sesuatu yang ideal yang diharapkan konseli, mengajak konseli untuk
menemukan sikap yang tepat untuk menyesuaikan dirinya sehingga akhirnya konseli
menemukan pilihanyang tepat bagi dirinya.
5.
Hubungan Akhir
Jika konseli sudah merasa mantap dengan keputusannya selama
konseling, pertemuan dapat diakhiri. Konselor memberikan ringkasan dari apa
yang sudah dibicarakan sejak awal sampai akhir. Ringkasan ini dapat dilakukan
oleh konseli atau konselor. Jika pertemuan dirasa belum selesai, konselor dan
konseli dapat membuat janji lagi sesuai dengan jadwal dan waktu yang telah
disepakati bersama.
6.
Tindak Lanjut (Follow Up)
Meskipun wawancara konseling sudah berakhir, konselor wajib
memantau konseli untuk melihat perkembangan yang sudah terjadi dalam dirinya.
Kegiatan ini juga bisa dilakukan secara terjadwal sesuai waktu yang telah
disepakati. Hal yang dilakukan adalah mengevaluasi keberhasilan konseli dalam
melaksanakan alternatif pilihan/keputusan yang telah disepakatinya.
11.
Persiapan Konseling
Untuk mengadakan konseling, seorang
konselor harus melakukan persiapan agar proses konseling bisa berjalan dengan
baik. Adapun persiapan yang harus dilakukan konselor adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan pribadi konselor
Persiapan pribadi konselor mencakup hal-hal yang sifatnya fisik
maupun psikologis.
1.
Hal-hal yang sifatnya fisik:
1.
Cara berpakaian; konselor
tampak lebih berwibawa dan menarik ketika menghadapi konseli jika mengenakan
pakaian yang rapi, bersih, dan tidak berbau.
2.
Penampilan; penampilan yang
rapi akan membuat konselor menjadi semakin percaya diri. Penampilan yang
dimaksud adalah wajah yang tidak kusut/muka bersih, rambut rapi, sepatu yang
layak, kuku tangan yang bersih, dan mulut yang tidak bau.
2.
Hal-hal yang sifatnya
psikologis:
1.
Persiapan mental; konselor
harus siap menghadapi konseli dengan karakter yang berbeda-beda. Konselor tidak
boleh minder, takut, jijik, subjektif/pilih-pilih (jika tidak sesuai selera,
konseli tidak dilayani).
2.
Tidak sedang bermasalah:
konselor yang sedang menghadapi masalah dan masih terhanyut dalam masalahnya
tersebut akan sulit membantu konseli.
2.
Persiapan data
Secara professional, sebelum melakukan wawancara konseling,
konselor harus siap dengan data-data yang ada, misalnya hasil tes psikologis
konseli, nilai rapor, data orangtua, catatan-catatan harian siswa, data dari
pengamatan sehari-hari, dan sebagainya. Dengan mempersiapkan banyak data,
konselor akan kaya pemahaman untuk membantu konseli.
3.
Persiapan ruang konseling
1.
Konselor harus mempunyai ruang
khusus untuk konseling. Ruang konseling tidak sama dengan ruang kerja pribadi.
2.
Ruang konseling harus terasa
nyaman dan membuat kerasan. Jika memungkinkan, ruang konseling bisa diberi
tambahan hiasan dinding, bunga, dan sebagainya.
3.
Ruang konseling didesain agar
pembicaraan yang dilakukan tidak mudah didengar oleh orang lain yang berada di
luar ruang konseling.
4.
Kursi dan meja untuk konseling
diatur sedemikian rupa sehingga membuat konselor dan konseli merasa nyaman.
Perbedaan penekanan
bidang yang ditangani konseling dan psikoterapi:
Konseling
|
Psikoterapi
|
·
Suportif dan edukatif
·
Vokasional
·
Pemberian dorongan
·
Masalah yang situasional
·
Pemecahan masalah
·
Dalam situasi yang sadar
·
Orang yang normal
·
Saat ini dan yang akan
datang
·
Jangka pendek
·
Akibat tekanan lingkungan
·
Menyusun rencana yang
rasional
·
Mencegah masalah penyesuaian
yang lebih berat
·
Mengatasi problem kehidupan
sehari-hari
|
·
Rekonstruktif
·
Emosional perilaku
·
Pemberian dorongan (dalam
kondisi kritis)
·
Masalah emosional yang
berat, neurotic
·
Rekonstruksi kepribadian
·
Alam yang tidak sadar
·
Orang yang patologis
·
Masa lalu
·
Jangka panjang
·
Konflik emosional
·
Menyembuhkan masalah-masalah
yang berat
·
Mengerti berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari
·
Mengatasi problem kehidupan
sehari-hari
|
(Hansen,
J.C., Stevic, R.R, dan Ricard W.W. (1977). Counselling:
Theory and Process.3th edition. New York: Allyn and Bacon
Inc. p.13)
12.
Kondisi Psikologis dalam
Konseling
Secara umum kondisi psikologis merupakan
keadaan, situasi yang bersifat kejiwaan. Konseling merupakan profesi bantuan (helping
profession) yang diberikan oleh konselor kepada klien yang berlangsung
dalam suatu kondisi psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi psikologis ini
akan mempengaruhi proses dan hasil konseling.
Pelayanan
konseling berlangsung dalam suatu kondisi psikologis tertentu yang dibina
konselor dan difokuskan untuk memfasilitasi klien agar dapat melakukan
perubahan perilaku ke arah yang lebih maju (progressive) sebagai hasil
konseling. Jadi kondisi psikologis yang dimaksud di sini adalah kondisi
psikologis yang menunjang proses konseling.
Surya (2003:43-48) mengemukakan beberapa
kebutuhan psikologis yang terkait dengan proses konseling, yaitu: memberi dan
mencapai prestasi, memiliki harapan, dan memiliki ketenangan.
Kebutuhan-kebutuhan psikologis ini harus diperhatikan konselor dalam membina
hubungan konseling. Konselor professional selalu menciptakan kondisi tersebut
sebagai factor yang menunjang proses konseling.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa ragam kondisi psikologis yang menunjang proses konseling
adalah sebagai berikut:
1.
Keamanan dan kebebasan
psikologis.
2.
Ketulusan dan kejujuran
konselor.
3.
Kehangatan dan penuh
penerimaan.
4.
Perasaan konselor yang
berempati.
5.
Perasaan konselor yang
menyenangkan.
6.
Perasaan mencapai prestasi.
7.
Membangun harapan klien.
8.
Memiliki ketenangan.
2.
MACAM-MACAM KONSELING
Berikut ini disajikan beberapa pendekatan
konseling yang lazim digunakan dalam membantu masalah anak.
1.
Konseling Pendidikan
Pendidikan merupakan institusi pembinaan
anak didik yang memiliki latar belakang social budaya dan psikologis yang
beraneka ragam. Dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan banyak anak didik
yang menghadapi masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Masalah yang dihadapi sangat beraneka ragam, diantaranya masalah
pribadi, sosial, ekonomi, agama dan moral, belajar, dan vokasional.
Masalah-masalah
tersebut seringkali menghambat kelancaran proses belajar, meskipun masalah yang
dihadapi tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan akademik. Penyelenggara
pendidikan, khususnya tenaga pendidikan bertanggung jawab membina anak didiknya
sehingga berhasil sebagaimana yang diharapkan, termasuk mereka yang mengalami
masalah.
Konseling
pada latar pendidikan ini telah banyak dikenal di Indonesia. Di Amerika, klinik
konseling juga didirikan di sekolah dan pusat-pusat pendidikan pada awal
perkembangan konseling, misalnya di Pennsylvania University pada tahun 1896.
2.
Konseling Vokasional
Konseling vokasional dapat pula disebut
dengan carir counseling atauemployment
counseling. Konseling ini selain berkaitan dengan usaha membantu dalam
penempatan tenaga kerja juga membantu klien yang memiliki masalah-masalah yang
berhubungan dengan pekerjaan, misalnya dalam hubungan dengan pejabat di
atasnya, dan penyesuaian dengan pekerjaan baru.
Konseling
vokasional ini menduduki fungsi yang sangat penting dalam rekrutmen dan
penempatan tenaga kerja sebuah perusahaan atau departemen. Departemen Tenaga
Kerja Amerika juga menggunakan konseling vokasional untuk menempatkan para
veteran Perang Dunia II pada bidang-bidang yang lebih tepat.
Mengingat
pentingnya konseling vokasional ini, National
Employment Counselor Association menetapkan
dasar-dasar kompetensi yang harus dimiliki seorang konselor, yaitu:
1.
Relationship skills
2.
Individual and group
assessment skills
3.
Group counseling
4.
Development and use of the
careerrelated information
5.
Occupational plan development
and implementation
6.
Placement skills
7.
Community relation skills
8.
Work load management and intra
office relationship skills
9.
Professional development
skills (Gibson
dan Mitchell, 1983:94)
Di masyarakat industry, konseling
vokasional ini semakin dibutuhkan baik bagi industry untuk peningkatan usaha-usahanya
dan bagi pekerja untuk peningkatan penyesuaian kerja dan prestasi kerja.
3.
Konseling Keluarga dan
Perkawinan
Konseling yang berkenaan dengan
masalah-masalah keluarga, meliputi hubungan antar anggota keluarga (ayah, ibu,
anak), peranan dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Konseling ini
berangkat dari asumsi bahwa semua anggota keluarga terlibat di dalam problem
yang dihadapi, karena itu seharusnya kerja sama perlu untuk mendapatkan
solusinya. Sebagian para ahli terapi keluarga mempertimbangkan bahwa problem
seorang anggota keluarga disebabkan oleh hubungannya dalam keluarga, sementara
yang lain melihat problem seorang anggota keluarga sebagai neorotik dari
seluruh anggota keluarga.
Hidup
berkeluarga berarti melakukan penyesuaian baru, terutama yang berhubungan
dengan tanggung jawab sebagai suami istri. Dalam banyak hal, membangun keluarga
tidak semudah yang dibayangkan oleh para remaja. Banyak situasi yang harus
diselesaikan dengan cara yang amat rumit termasuk perceraian.
Konseling
perkawinan dan keluarga bermaksud membantu menyelesaikan masalah-masalah
psikologis yang dihadapi kedua belah pasangan, sehingga dalam menjalankan
fungsi-fungsi keluarga mereka lebih dapat diterima kedua belah pihak dan dapat
membangun keluarga secara lebih baik.
Yang
perlu diperhatikan oleh konselor, tujuan dalam konseling perkawinan dan
keluarga bukan sebagaimana diduga banyak orang yaitu mempertahankan perkawinan,
tetapi untuk membantu pasangan atau anggota keluarga belajar perilaku baru dan
membuat keputusan yang tepat.
Dalam
konseling ini konselor dapat mereferal kliennya ke pihak lain yang dipandang
lebih menguasai persoalannya jika masalah yang dihadapi berada di luar
kewenangan konselor. Layanan referral ini diharapkan dapat membantu
menyelesaikan masalah secara lebih tepat. Namun demikian, sebagaimana dalam
konseling pada umumnya, konseling ini juga memberikan keleluasaan kepada klien
untuk membuat keputusan sendiri, sedangkan konselor lebih bertindak sebagai
fasilitator.
4.
Konseling Agama
Konseling agama (religion counseling)
digunakan untuk membantu klien yang mengalami masalah-masalah yang berhubungan
dengan agama, misalnya keragu-raguan akan nilai-nilai agama, kebimbangan dalam
mengikuti aliran-aliran keagamaan, terjadinya konflik keyakinan keagamaan dengan
pola pemikiran dan sebagainya.
Konseling
agama tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penganut agama lain agar masuk dalam
agama yang dianut konselor. Konseling agama biasanya dilakukan terhadap klien
yang seagama dengan konselor, dan diselenggarakan untuk membantu orang-orang
yang bermasalah keagamaan.
5.
Konseling Rehabilitasi
Konseling rehabilitasi merupakan konseling
yang dilakukan terhadap orang-orang yang sedang dalam proses rehabilitasi.
Rehabilitasi berarti proses mempercepat sosialisasi atau berfungsi secara wajar
dari keadaan sebelumnya, misalnya rehabilitasi setelah bertahun-tahun mengalami
perawatan medis, rehabilitasi karena menjalankan hukuman, dan sebagainya.
Seseorang
yang di penjara misalnya membutuhkan pelayanan konseling. Konseling tersebut
bermaksud membantu klien agar tidak mengalami masalah-masalah setelah keluar
dari penjara (lembaga pemasyarakatan). Sebagian orang yang di penjara mengalami
perasaan yang tidak diinginkan, seperti rasa tertekan, malu kepada masyarakat
atau cemas tidak diterima oleh lingkungan sosialnya nanti.
Konseling
rehabilitasi ini juga dimaksudkan membantu klien yang cacat secara fisik, untuk
mengembalikan persepsi dan emosi sehingga memandang dirinya secara positif dan
dapat berbuat lebih tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki.
6.
Konseling Individual
Konseling individual atau disebut juga
konseling perorangan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh konselor kepada konseli yang sedang mengalami suatu
masalah, yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konseli. Dengan
demikian, sasaran layanan konseling individual adalah subyek yang diduga
memiliki masalah tertentu dan membutuhkan pertolongan konselor untuk
mengatasinya.
Layanan
konseling individual dilakukan melalui kegiatan tatap muka (face to face)
antara konselor dengan konseli, yang terjalin dalam bentuk hubungan
professional yang khas. Tujuan dan fungsi utama dari layanan konseling
individual adalah teratasinya masalah yang diderita konseli, mencakup: bidang
pribadi, bidang social, bidang karier dan bidang belajar.
Hubungan
konselor-konseli dibangun atas dasar saling percaya diantara kedua belah pihak,
dengan mengedepankan asas confidential (kerahasiaan) atas segala data
tentang konseli yang terungkap dalam proses konseling. Proses konseling
individual dilakukan mengacu pada berbagai teori, prosedur, tahapan dan teknik
tertentu, baik yang bersifat umum maupun khusus.
Konseling individual cocok untuk digunakan ketika:
1.
Konseli mengalami krisis
masalah yang complicated.
2.
Masalah yang dibicarakan
memiliki tingkat kerahasiaan tinggi, yang harus dilindungi.
3.
Berkaitan dengan upaya hasil
tes kepribadian konseli yang bersangkutan.
4.
Konseli merasa ketakutan atau
tidak nyaman untuk membicarakan masalahnya dalam situasi kelompok/kelas.
5.
Konseli tertolak di lingkungan
kelompoknya.
6.
Topik yang dibicarakan
berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual.
7.
Konseli membutuhkan perhatian
dan pengakuan tersendiri.
Konseling berpusat pada person (person
centered counseling) dikembangkan oleh Carl Person Rogers, salah seorang
psikolog klinis yang sangat menekuni bidang konseling dan psikoterapi.
Berdasarkan
sejarahnya, teori konseling yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa
pengetahuan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive
counseling (1940).
Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang
saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive
counseling.
Pada
tahun1951 Rogers mengubah namanya menjadiclient centered counseling sehubungan
dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya
reflektif terhadap perasaan klien. Enam tahun berikutnya, pada tahun 1957
Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada
person (person centered), yang memandang klien sebagai patner dan perlu
adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun konselor dan keduanya perlu
mengemukakan pengalamannya pada saat hubungan konseling berlangsung.
7.
Konseling Kelompok
Ditinjau dari jumlah klien yang dibantu,
konseling dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu konseling individual dan
konseling kelompok. Keonseling individual berarti konseling yang diberikan
kepada seorang klien, sedangkan konseling kelompok dilakukan terhadap beberapa
klien.
Konseling
kelompok (group counseling) merupakan salah satu bentuk konseling dengan
memanfaatkan kelompok untuk membantu, member umpan balik (feedback) dan
pengalaman belajar. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan
prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic).
Berdasarkan
pengertian di atas, maka konseling kelompok secara prinsipil adalah sebagai
berikut:
1.
Konseling kelompok merupakan
hubungan antara (beberapa) konselor dengan beberapa klien;
2.
Konseling kelompok berfokus
pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari;
3.
Dalam konseling kelompok
terdapat faktor-faktor yang merupakan aspek terapi bagi klien;
4.
Konseling kelompok bermaksud
memberikan dorongan dan pemahaman kepada klien, untuk memecahkan masalah yang
dihadapi klien.
Pendekatan kelompok sebenarnya sangat
banyak. Beberapa bentuk intervensi psikososial yang menggunakan pendekatan
kelompok adalah bimbingan kelompok, psikoterapi kelompok, dan kelompok diskusi
terfokus. Pendekatan-pendekatan kelompok tersebut dapat dibedakan menurut
jenisnya, sebagai berikut:
1.
Psikoterapi Kelompok
Psikoterapi kelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh
psikoterapis terhadap klien untuk mengatasi disfungsi kepribadian dan
interpersonalnya dengan menggunakan interaksi emosional dalam kelompok kecil.
Karena itu psikoterapi kelompok lebih memfokuskan pada ketidaksadaran,
menangani pasien yang mengalami gangguan “neurotik” atau problem emosional
berat lain, dan biasanya dilakukan untuk jangka waktu panjang.
2.
Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan
untuk membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari. Konseling kelompok umumnya ditekankan untuk proses remedial dan
pencapaian fungsi-fungsi secara optimal. Konseling kelompok mengatasi klien dalam
keadaan normal, yaitu sedang tidak megalami gangguan fungsi-fungsi kepribadian.
Pada umumnya konseling diselenggarakan untuk jangka pendek atau menengah.
3.
Kelompok Latihan dan
Pengembangan
Kelompok latihan dan pengembangan merupakan pendidikan kesehatan
mental dan bukan kelompok terapeutik. Biasanya digunakan untuk melatih
sekelompok orang yang berkeinginan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan tertentu, misalnya peningkatan keterampilan sosialnya, cara
kehidupan kesendirian, menghadapi pensiun dan hari tua, orang tua tanpa patner,
dan sebagainya. Tujuannya secara umum bersifat antisipatif dan pencegahan
terhadap kemungkinan timbulnya hambatan jika hal tersebut benar-benar dialami.
4.
Diskusi Kelompok Terfokus
Diskusi kelompok terfokus (focus group discusion) merupakan
kegiatan diskusi, tukar pikiran beberapa orang mengenai topic-topik khusus yang
telah disepakati oleh anggota kelompok. Topik-topik yang dibicarakan menjadi
bahan yang diminati dan disepakati oleh anggota kelompok. Peserta diskusi tidak
harus memiliki masalah sebagaimana topic yang dibicarakan, tetapi ada minat
untuk berpartisipasi dalam diskusi.
8.
Konseling Psikoanalisis
Peletak dasar teori psikoanalisis
(psychoanalytic) adalah Sigmund Shlomo Freud, seorang ahli saraf, yang menaruh
perhatian pada ketidaksadaran. Kepribadian manusia terbesar berada pada dunia
ketidaksadaran dan merupakan sumber energy perilaku manusia yang sangat
penting.
Letak
keunggulan psikoanalisis dalam konseling menurut Freud adalah sangat efektif
untuk menyembuhkan klien/pasien yang hysteria, cemas, obsesi neurosis. Namaun
demikian kasus-kasus sehari-hari dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisis
ini untuk mengatasinya (Hansen, 1982).
Freud
mengembangkan sejumlah teori kepribadian. Teori-teori kepribadian yang dikemukakan
Freud diantaranya: teori topografi, struktural, genetic, dan dinamika. Keempat
macam teori tersebut memiliki relevansi dengan proses konseling psikoanalisis,
sehingga dipandang perlu untuk dijelaskan secara garis besarnya sebagai
berikut:
Teori topografi merupakan teori
psikoanalisis yang menjelaskan tentang kepribadian manusia yang terdiri dari
sub-subsistem. Bagi Freud kepribadian itu berhubungan dengan alam kesadaran (awareness).
Alam kesadaran terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu alam sadar (conscious/Cs),
alam prasadar (preconscious/Pcs), dan alam bawah sadar (unconscious/Ucs).
Alam
sadar adalah
bagian kesadaran yang memiliki fungsi mengingat, menyadari dan merasakan
sesuatu secara sadar. Alam sadar ini memiliki ruang yang terbatas dan saat individu
menyadari berbagai rangsangan yang ada di sekitar kita.
Alam
prasadar adalah
bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan dan perasaan yang berfungsi
mengantarkan ide, ingatan, dan perasaan tersebut ke alam sadar jika kita
berusaha mengingatkannya kembali. Alam prasadar ini bukanlah bagian dari alam
sadar, tetapi bagian lain yang biasanya membutuhkan waktu beberapa saat untuk
menyadari sesuatu.
Alam
bawah sadar adalah
bagian dari dunia kesadaran yang terbesar dan sebagai bagian terpenting dari
struktur psikis, karena segenap pikiran dan perasaan yang dialami sepanjang
hidupnya yang tidak dapat disadari lagi akan tersimpan di dalamnya. Perilaku
manusia sebagian besar didorong oleh perasaan dan pikiran yang tersimpan di
dalam unconscious ini.
Freud
beranggapan bahwa kepribadian manusia tersusun secara structural. Dalam dunia
kesadaran (awareness) individu terdapat pada subsistem struktur
kepribadian yang berinteraksi secara dinamis. Subsistem itu adalah id, ego dan
superego. Teori struktural berarti penjelasan tentang interaksi antara tiga
elemen struktur peralatan mental (mental apparatus) yaitu id, ego dan
superego (Brenner, 1996).
Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
1.
Anti rasionalisme.
2.
Mendasari tindakannya dengan
motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
3.
Manusia secara esensial
bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif.
4.
Semua kejadian psikis
ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
5.
Kesadaran merupakan suatu hal
yang tidak biasa dan bukan merupakan proses mental yang berciri biasa.
Konseling psikoanalisis bertujuan untuk:
1.
Menolong individu mendapatkan
pengertian yang terus menerus tentang mekanisme penyesuaian dirinya.
2.
Membentuk kembali struktur
kepribadian konseli dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari
menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan
pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata,
didiskusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian konseli bisa
direkonstruksi lagi.
9.
Konseling Behavior
Dilihat dari sejarahnya, konseling
behavior tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset perilaku belajar pada
binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke 19) dengan teorinya classical
conditioning. Berikutnya adalah Skinner yang mengembangkan teori belajar
operan, dan sejumlah ahli yang secara terus menerus melakukan riset dan
mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil eksperimennya (Hackmann, 1993).
Ahli
behavioral yang berjasa mengembangkan konseling cukup banyak diantaranya adalah
Wolpe, Lazarus, Bandura, Krumboltz, Rachman, dan Thoresen.
Dalam pandangan behavioral, kepribadian
manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku. Perilaku dibentuk berdasarkan
hasil dari segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan
sekitarnya. Tidak ada manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki
pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan
cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Pandangan
dualism sebagaimana yang berkembang: jiwa raga, mental fifik, sikap perilaku,
dan sebagainya; bagi behavioral adalah tidak valid, tidak dapat dikenali dan
dikendalikan di laboratorium. Untuk itu memahami kepribadian individu tidak
lain adalah perilakunya yang tampak.
Sesuai dengan namanya, pendekatan
konseling ini berangkat dan didasari aliran Behaviorisme yaitu salah satu
aliran psikologi yang mengkaji perilaku individu dari setiap aktivitas individu
yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri
individu. Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk
melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan
mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam
lingkungan. Teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorime terutama
banyak dihasilkan melalui berbagai eksperimen terhadap binatang, yang kemudian
diterapkan untuk manusia untuk kepentingan konseling. Karakteristik konseling
Behavioral adalah:
1.
Berfokus pada perilaku yang
tampak dan spesifik.
2.
Memerlukan kecermatan dalam
perumusan tujuan konseling.
3.
Mengembangkan prosedur
perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli.
4.
Penilaian yang obyektif
terhadap tujuan konseling.
Konseling behavioral mengasumsikan tentang perilaku bermasalah,
sebagai berikut:
1.
Perilaku bermasalah adalah
perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat,
yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2.
Perilaku yang salah hakekatnya
terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
3.
Manusia bermasalah itu
mempunyai kecenderungan merespon perilaku negative dari lingkungannya. Perilaku
maladaptif terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan
dengan tepat.
4.
Seluruh perilaku manusia
didapat dengan cara belajar dan juga perilaku tersebut dapat diubah dengan
menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Tujuan utama konseling Behavioral adalah
berusaha menghapus/menghilangkan perilaku maladaptif (masalah) untuk digantikan
dengan perilaku baru yaitu perilaku adaptif yang diinginkan konseli. Oleh
karena itu, tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang
spesifik: diinginkan oleh konseli; konselor mampu dan bersedia membantu
mencapai tujuan tersebut; konseli dapat mencapai tujuan tersebut; dan dirumuskan
secara spesifik. Konselor dan konseli bersama-sama (bekerja sama)
menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
Proses
konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar
tersebut. Dalam hal ini, konselor aktif:
1.
Merumuskan maslah yang dialami
konseli dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atau tidak.
2.
Memegang sebagian besar
tanggung jawab atas kegiatan konseling, khusunya tentang teknik-teknik yang
digunakan dalam konseling.
3.
Mengontrol proses konseling
dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
10.
Konseling Humanistik
Konseling Humanistik berakar dari kalangan
eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun
1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark
Moustakas mendirikan sebuah asosiasi professional yang berupaya mengkaji secara
khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat,
individualitas dan sejenisnya. Humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi
manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan
menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan
menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan
dan pemak
Dalam hal ini, James Bugental (1964)
mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari humanistik, yaitu:
1.
Keberadaan manusia tidak dapat
direduksi ke dalam komponen-komponen;
2.
Manusia memiliki keunikan
tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
3.
Manusia memiliki kesadaran
akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain;
4.
Menusia memiliki
pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya, dan
5.
Manusia memiliki kesadaran dan
sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
11.
Konseling Rational Emotif
Behavior
Albert Ellis adalah peletak dasar
konseling rasional emotif behavior atau lebih tepatnya disebut Rational
Emotive Behavioral Therapy (REBT).
Adalah klinisi yang memulai mengembangkan teorinya sejak 1955. Dia menyusun
REBT berdasarkan hasil pengamatannya bahwa banyak anak yang tidak mencapai
kemajuan karena dia tidak memiliki pemahaman yang tepat dalam hubungannya
dengan peristiwa-peristiwa yang dialami.
Ellis
berpandangan bahwa REBT merupakan terapi yang sangat komprehensif, yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi, kognisi, dan perilaku.
Dia termasuk ahli terapi yang berseberangan dengan penganut humanistik.
Untuk memahami dinamika kepribadian dalam
pandangan REBT, perlu memahami konsep-konsep dasar yang dikemukakan Ellis.
Menurut Ellis (1994) ada tiga hal yang terkait dengan perilaku, yaitu antecedent
event (A), belief (B),
dan emotional consequence (C),
yang kemudian dikenal dengan konsep A-B-C.
Antecedent
event (A)
merupakan peristiwa pendahulu yang berupa fakta, peristiwa, perilaku, atau
sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi
masuk bagi calon karyawan dapat merupakan antecedent
event bagi
seseorang. Prinsipnya segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu
adalahantecedent event.
Belief (B)
adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap
suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang
rasional (rational belief atau
rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrational beliefatau iB).
Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang
tepat, masuk akal, bijaksana, dan karena itu produktif. Sedangkan keyakinan
yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang
salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
Emotional
consequence (C),
merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam
bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecedent
event (A).
Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh
beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rasional (rB)
atau yang tidak rasional (iB).
Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki
kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan
berperilaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika
berpikir dan berperilaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau
emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional.
Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal,
dan irasional.
Berpikir
irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang
tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari
verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara
berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang
tepat. Perasaan dan pikiran negative serta penolakan diri harus dilawan dengan
cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat,
serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
12.
Konseling Realitas
William Glasser adalah psikiater yang
mengembangkan konseling realitas (reality therapy) pada 1950-an. Pengembangan
konseling realitas ini karena merasa tidak puas dengan praktik psikiatri yang
ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi pada
Freudian, karena hasilnya terasa tidak memuaskan (Colvin, 1980).
Teori
yang dikembangkan Glasser ini dengan cepat memperoleh popularitas di kalangan
konselor, baik untuk kasus individual maupun kelompok dalam berbagai bidang,
misalnya sekolah lembaga kesehatan mental maupun petugas-petugas sosial lain.
Banyak hal yang positif dari teori konseling realitas ini, misalnya mudah
dimengerti, nonteknis, didasarkan atas pengetahuan masyarakat, efisien waktu,
sumber daya dan usaha-usaha yang dilakukan konselor.
Konseling realitas merupakan suatu bentuk
hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan
langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan konselor di sekolah dalam rangka
mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses,
dengan cara member tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan. Konseling
realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari
terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghaadapi
kenyataan tanpa merugikan siapapun. Konseling realitas lebih menekankan masa
kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada
masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat
memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Glasser berpandangan bahwa semua manusia
memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku
manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan
fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan
kebutuhan psikologis manusia menurut Glasser yang mendasar ada dua macam yaitu:
(1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) kebutuhan akan penghargaan
(George dan Cristiani, 1990). Kedua kebutuhan psikologis itu dapat digabung
menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas (identity).
Hakekat manusia menurut William Glasser adalah:
1.
Bahwa manusia mempunyai
kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga
menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannya.
2.
Setiap orang memiliki
kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu
menjadi kemampuan aktual. Karenanya dia dapat menjadi seorang individu yang
sukses.
3.
Setiap potensi harus
diusahakan untuk berkembang dan konseling realitas berusaha membangun anggapan
bahwa setiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri.
Konseling realitas memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Menolak adanya konsep sakit
mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggung
jawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2.
Berfokus pada perilaku nyata
guna mencapai tujuan yang akan datang dengan penuh optimisme.
3.
Berorientasi pada keadaan yang
akan datang dengan focus pada perilaku sekarang yang mungkin diubah,
diperbaiki, dianalisis, dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa
diubah, tetapi diterima apa adanya sebagai pengalaman yang berharga.
4.
Tidak menegaskan transfer
dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan
mencarikan alternative-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata
dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli.
5.
Menekankan aspek kesadaran
dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus
dikerjakan dan diinginkan oleh konseli. Tanggung jawab dan perilaku nyata yang
harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan
disadarinya.
6.
Menghapuskan adanya hukuman
yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan, tetapi yang ada
sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan
dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7.
Menekankan konsep tanggung
jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui
perwujudan perilaku nyata.
Tujuan utama konseling realitas adalah:
1.
Menolong individu agar mampu
mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam
bentuk nyata.
2.
Mendorong konseli agar berani
bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan
dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.
Mengembangkan rencana-rencana
nyata dan realitik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.
Perilaku yang sukses dapat
dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan
menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.
Konseling ditekankan pada
disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
13.
Konseling Gestalt
Pendekatan konseling ini berpandangan
bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap
individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ
seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu
koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong ke arah keseluruhan
dan integrasi pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Setiap individu memiliki
kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk
mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas
atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini
adalah:
1.
tidak dapat dipahami, kecuali
dalam keseluruhan konteksnya;
2.
merupakan bagian dari
lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya
itu;
3.
actor bukan reactor;
4.
berpotensi untuk menyadari
sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya;
5.
dapat memilih secara sadar dan
bertanggung jawab;
6.
mampu mengatur dan mengarahkan
hidupnya secara efektif.
Dalam hubungannya dengan perjalanan
kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali
“sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena
itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang. Dalam pendekatan
ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan
kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan mejadi terlalu
terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.
Dalam
pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished
business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkap seperti
dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa,
rasa diabaikan. Meski pun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan
dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan
di dalam kesadaran, perasaan –perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang
dan dibawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan
yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu
akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak
terungkapkan itu.
14.
Konseling Traumatik
Konseling traumatik adalah upaya konselor
untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi
sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang
dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin.
Muro
dan Kottman (1995) menyebutkan bahwa tujuan konseling traumatik adalah:
1.
Berpikir realistis, bahwa
trauma adalah bagian dari kehidupan,
2.
Memperoleh pemahaman tentang
peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma,
3.
Memahami dan menerima perasaan
yang berhubungan dengan trauma serta
4.
Belajar keterampilan baru
untuk mengatasi trauma.
Ada empat keterampilan yang harus dimiliki
oleh konselor dalam konseling traumatik, yaitu:
1.
Pandangan yang realistik,
2.
Orientasi yang holistik,
3.
Fleksibiltas, dan
4.
Keseimbangan antara empati dan
ketegasan.
Hendaknya, konselor memiliki pandangan
yang realistic terhadap peran mereka dalam membantu orang yang mengalami
trauma. Keterampilan ini berguna bagi konselor untuk memahami kelemahan dan
kelebihannya dalam membantu orang yang mengalami trauma.
Konselor
konseling traumatik dalam bekerja harus holistik. Kondisi trauma pada diri
klien bukan harus dihadapi secara berlebihan atau sebaliknya. Dalam konseling
traumatik, konselor harus menerima berbagai baantuan dari berbagai pihak demi
kesembuhan klien. Kadang-kadang klien lebih tepat dirujuk pada psikiatri untuk
disembuhkan dengan pendekatan medis. Mungkin juga klien lebih tepat dirujuk
pada ulama atau pendeta untuk memenuhi kebutuhan aspek spiritualnya.
Dengan
memperhatikan kondisi klien secara holistik, konselor dituntut untuk dapat
bekerja sama dengan berbagai ahli yang ada di masyarakat untuk membantu
kesembuhan klien.
Konseling traumatik memerlukan
fleksibilitas. Karena keterbatasan-keterbatasan yang ada, konseling traumatik
mungkin lebih fleksibel dalam pelaksanaannya. Karena keterbatasan tempat,
mungkin konseling melalui telepon akan lebih tepat. Karena keterbatasan waktu,
ada kemungkinan terjadi perubahan waktu dalam konseling. Kemungkinan konseling
di rumah klien terjadi daripada di kantor konselor. Perpanjangan waktu dalam
setiap sesi konseling mungkin saja terjadi. Melibatkan keluarga dalam sesi
konseling mungkin saja terjadi dan konselor memberikan sugesti pada klien juga
bisa terjadi.
Dalam konseling traumatik, konselor tidak
banyak waktu untk melakukan konfrontasi, berlama-lama, nondirektif, interpretasi
perilaku dan mimpi, serta tidak terlalu mempermasalahkan terjadinya
transferensi ataupun center
transferensi antara
klien dan konselor. Kondisi trauma menuntut konselor untuk bertindak cepat
menangani klien.
Konseling traumatik membutuhkan
keseimbangan yang kuat antara empati dan ketegasan. Konselor harus mampu
melihat kapan dia harus empati dan kapan dia harus tegas dalam mengarahkan
klien untuk kesembuhan klien. Jika konselor terlalu hanyut dengan perasaan
klien, mmaka konselor akan mengalami kesulitan dalam membantu klien. Begitu
juga jika konselor tidak tepat waktunya dalam memberikan arahan yang tegas pada
klien maka konseling akan lebih efektif.
Empati
ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan
berpikir bersama klien. Empati ada dua macam, yaitu empati primer dan empati
tingkat tinggi. Empati primer adalah suatu bentuk yang hanya memahami perasaan,
pikiran, keinginan, dan pengalaman klien. Tujuannya agar klien terlibat
pembicaraan dan terbuka pada konselor. Adapun empati tingkat tinggi adalah
keikutsertaan konselor dalam merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan
dipikirkan kliennya.
Adapun
ketegasan untuk mengarahkan klien adalah kemampuan konselor untuk mengatakan
kepada klien agar klien berbuat sesuatu atau dengan kata lain mengarahkannya
agar klien melakukan sesuatu.
Dilihat dari tujuan, konseling traumatik
lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan
mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru.
Proses
konseling traumatik terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik.
Proses konseling traumatik adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan member
makna bagi klien yang mengalami trauma dan member makna pula bagi konselor yang
membantu mengatasi trauma kliennya.
15.
Terapi Kognitif-Behavioral (Cognitive-Behavioral
Therapy)
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) atau Cognitive-Behavioral
Therapy (CBT)
merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu konseli agar
dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat
memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara memodifikasi pola pikir dan perilaku
tertentu.
Pendekatan
kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan atau
bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain (misalnya, hidup
saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup saya). Selain
itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan konseli agar dapat
memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa kehidupan
dan tidak hanya sekedar berupaya mengatasi penyakit atau gangguan yang sedang
dialaminya.
Dengan
kata lain, konseling kognitif memfokuskan pada kegiatan mengelola dan memonitor
pola piker konseli sehingga dapat mengurangi pikiran negatiff dan mengubah isi
pikiran agar dapat diperoleh emosi yang lebih positif. Sedangkan konseling
Behavioral memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang dilakukan konseli,
menentukan bentuk imbalan (rewards) yang dapat mendorong konseli untuk
melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan,
guna mencegah konseli melakukan tindakan yang tidak dikehendaki.
16.
Konseling Karier
Proses psikologis yang digunakan oleh
seorang professional (konselor) yang membantu seorang individu (klien) yang
relative normal dalam menjelajahi, memahami dan menerima dirinya agar dia dapat
membuat keputusan dan pilihan yang rasional, dan berbuat atas dasar pilihan
tersebut yang menyangkut seluruh gaya hidupnya dalam kaitannya dengan
lingkungannya.
Dalam
konseling karier seperti konseling pada umumnya, konselor harus mampu
mengidentifikasi dan merespon secara tepat terhadap sikap, tingkah laku
pikiran, perasaan yang dinyatakan klien. Lalu konselor membantu klien dalam
mendapatkan, memproses, menerapkan informasi diri dari informasi dunia kerja
yang diperlukan untuk membantu pengambilan perencanaan itu.
1.
Self expression rapport
2.
Self understanding and self
exploration
3.
Decision making
4.
Development a goal plan of
action to implementation of the decision
5.
Floow-up plan of action
(career counseling)
17.
Konseling Direktif
Aliran konseling yang dipelopori E.G.
Williamson, yang disebut juga clinical
counseling. Pendekatan ini berakar dari aliran behaviorisme. Tujuan
konseling di sini dititikberatkan secara spesifik pada perubahan tingkah laku
yang dapat diamati. Oleh karena itu, teknik direktif ini merupakan konseling
tingkah laku (behavior counseling) yang terarah.
Konselor
memberikan arah bantuan kepada perubahan tingkah laku, konselor lebih aktif
daripada klien dalam proses pemecahan masalah. Konselor yang menetapkan
langkah-langkah yang harus dilakukan klien, sedangkan klien hanya menjalankan
proses belajar yang diarahkan oleh konselor.
18.
Konseling Non-Direktif
Di dalam pendekatan ini konselor
berkonsentrasi untuk menunjukkan empati dengan klien, tidak member interpretasi
sebelumnya terhadap problem klien, tidak memberikan nasehat langsung, tidak
membimbing apa yang klien kemukakan, tidak memberikan penilaian apa yang
dikatakan klien. Fokusnya adalah untuk memberi bantuan kepada klien untuk menjernihkan
atau memperjelas pikirannya sehingga mereka dapat mengatasi problemnya.
19.
Konseling Ekletik
Teori ini merupakan pendekatan gabungan
atau campuran antara non-direktif dan direktif. Pemilihan teknik konseling yang
digunakan oleh konselor dalam proses konseling yang akan dipengaruhi oleh
keyakinan dan gaya kepribadian yang paling cocok dengan pendekatan atau teknik
tertentu. Pendekatan ekletik ini menggunakan teori belajar, teori pengembangan
karier, sosiologi, ekonomi, dan teori membuat keputusan, tugas-tugas
perkembangan untuk mencapai tujuan.
Mengingat
keunikan, keragaman dan kompleksitas masalah yang dihadapi setiap konseli, maka
dalam praktiknya upaya pemecahan masalah konseli seringkali tidak bisa
diselesaikan melalui satu pendekatan tertentu secara eksklusif. Oleh karena
itu, konselor dapat memilih dan mengkombinasikan berbagai pendekatan yang ada
untuk diterapkan dalam membantu menyelesaikan masalah konseli. Pendekatan
konseling semacam ini dikenal dengan sebutan konseling ekletik.
Pendekatan konseling ekletik berarti
konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu
teori secara eksklusif. Ekletikisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki
keterbatasan konsep, prosedur dan teknik. Karena itu ekletikisme “dengan sengaja”
mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan diri klien.
Konseling
ekletik dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integrative.
Perkembangan pendekatan ini sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika
F.C.Thorne menyumbangkan pemikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi
semua metode konseling yang ada (Gilliland dkk, 1984).
Konseling ekletik pertama kali digagas
oleh Frederick Thorne dlam bukunya yang berjudul Principles
of Personality Counseling (1950).
Thorne menganalisis sumbangan-sumbangan pikiran dari berbagai aliran dalam
Psikologi Konseling dan mencoba mengintegrasikan unsur-unsur positif dari
masing-masing aliran dalam suatu sistematika baru dan terpadu, baik dalam segi
teoritis maupun praktis.
Ahli-ahli
ekletik lainnya adalah Brammer dan Shostrom (1982) sejak 1960 yang
mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling”,
dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja yang lebih luas, yang tidak
terbatas pada satu pendekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang intergratif
dari berbagai pendekatan.
Pada
akhir 1960-an hingga 1977, R.Carkhuff juga telah mengembangkan konseling
ekletik, dengan cara melakukan testing dan riset secara komprehensif,
sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan
konseling ekletik di antaranya G.Egan (1975) dengan istilah systemic
helping, Prochaska (1984) dengan nama integrative
ecletic.
Konseling ekletik sebagaimana dikembangkan
Thorne dianggap sesuai untuk diterapkan terhadap orang-orang yang tergolong
normal, yaitu tidak menunjukkan gejala-gejala kelainan dalam kepribadiannya
atau gangguan kesehatan mental yang berat.
Dalam konseling ekletik, peran konselor,
tahapan dan teknik konseling yang diterapkan menjadi sangat fleksibel. Konselor
bisa bertindak sebagai psikoanalisis, mitra konseli, pelatih, motivator, dan
peran-peran lainnya, tergantung pada kombinasi pendekatan yang dipilihnya.
Demikian juga dalam tahapan dan teknik yang digunakan dalam konseling. Dalam
hal ini, selain diperlukan kejelian dalam memilih dan mengkombinasikan
pendekatan dan teknik yang dianggap paling tepat, dan konselor itu sendiri
memiliki kemampuan untuk mengoperasikan teknik-teknik dari pendekatan yang
dipilihnya.
Meski
tidak memiliki akar teori tertentu, teknik konseling ekletik ini telah diakui
sebagai salah satu teknik dalam konseling dan mungkin termasuk salah satu
teknik yang paling sering digunakan oleh para konselor di lapangan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
bahwa ekletik berusaha mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai
dengan keadaan klien. Berangkat dari cara pandang ekletik yang demikian,
Capuzzi dan Gross (1991) mengemukakan bahwa dalam penerapannya ada tiga macam
aliran konseling, yaitu formalism atau puritisme, sinkretisme, dan ekletikisme;
yaitu:
1.
Formalisme atau Puritisme
Penganut formalism ini akan “menerima atau tidak sama sekali”
sebuah teori. Dia setuju dengan teori tertentu sehingga seluruh kerangka
teoretiknya secara bulat tanpa ada kritik sedikit pun. Teori yang tidak disetujui
akan ditolaknya keseluruhannya. Dengan demikian penganut formalisme akan
menerima apa adanya tanpa kritik.
2.
Sinkretisme
Pandangan ini beranggapan bahwa setiap teori adalah baik, efektif,
dan positif. Kalangan sinkretisme akan menerapkan teori-teori yang dipelajari,
tanpa perlu melihat kerangka dan latar belakang teori itu dikembangkan.
Dihubung-hubungkan teori-teori itu tanpa ada system yang jelas dan teratur.
Penganut sinkretisme akan mencampur aduk teori yang satu dengan yang lain
sesuai dengan kehendaknya sendiri.
3.
Eklektikisme
Penganut pandangan eklektik akan menyeleksi berbagai pendekatan
yang ada. Prinsipnya setiap teori memiliki kelemahan dan keunggulan. Suatu
teori dapat diterapkan sesuai dengan masalah klien dan situasinya. Konselor
menyeleksi teori-teori yang ada dan membawa ke dalam kerangka kerja
prinsip-prinsip teoritik dan prosedur praktis.
20.
Konferensi Kasus
Konfrensi kasus merupakan kegiatan
pendukung bimbingan dan konseling untuk membahas permasalahan konseli. Dalam
suatu pertemuan, yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan
keterangan, kemudahan dan komitmen bagi teratasinya permasalahan konseli.
Memang, tidak semua masalah yang dihadapi konseli harus dilakukan konferensi
kasus. Tetapi untuk masalah-masalah yang tergolong pelik dan perlu keterlibatan
pihak lain tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk dilaksanakan.
Melalui
konferensi kasus, proses penyelesaian masalah konseli dilakukan tidak hanya
mengandalkan pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara
kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pihak yang dianggap kompeten dan
memiliki kepentingan dengan permasalahan yang dihadapi konseli.
Kendati
demikian, pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Artinya,
tidak semua pihak bisa disertakan dalm konferensi kasus, hanya mereka yang
dianggap memiliki pengaruh dan kepentingan langsung dengan permasalahan konseli
yang boleh dilibatkan dalam konferensi kasus. Begitu juga, setiap pembicaraan
yang muncul dalam konferensi kasus bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui
oleh para peserta konferensi.
Konferensi kasus bukanlah sejenis “siding
pengadilan” yang akan menentukan hukuman bagi konseli. Misalkan, konferensi
kasus untuk membahas kasus narkoba yang dialami siswa tertentu. Keputusan yang
diambil dalam konferensi bukan bersifat “mengadili” siswa yang bersangkutan,
yang ujung-ujungnya siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi
konferensi kasus harus bisa menghasilkan keputusan bagaimana cara terbaik, agar
siswa tersebut bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.
Secara umum, tujuan dilaksanakan kegiatan
konferensi kasus yaitu untuk mengusahakan cara yang terbaik bagi pemecahan
masalah yang dialami konseli, sedangkan secara khusus konferensi kasus
bertujuan:
1.
Mendapatkan konsistensi, kalau
konselor ternyata menemukan berbagai data/informasi yang dipandang saling
bertentangan atau kurang serasi satu sama lain (cross check data).
2.
Mendapatkan consensus dari
para peserta konferensi dalam menafsirkan data yang cukup komprehensif dan
pelik yang menyangkut diri konseli guna memudahkan pengambilan keputusan.
3.
Mendapatkan pengertian,
penerimaan, persetujuan dan komitmen peran dari para peserta konferensi tentang
permasalahan yang dihadapi konseli beserta upaya mengatasinya.
21.
Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah atau home
visit adalah
salah satu jenis kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling yang
dilakukan konselor dalam rangka mengumpulkan dan melengkapi data atau informasi
tentang konseli, dengan cara mengunjungi rumah konseli. Seperti halnya dalam
konferensi kasus, tidak semua masalah yang dihadapi konseli harus dilaksanakan
kegiatan home
visit. Home
visitdilakukan jika konselor perlu melengkapi dan memvalidasi data yang
berkaitan dengan latar belakang kehidupan keluarga konseli, yang tidak bisa
terungkap melalui teknik pengumpulan data lainnya. Melalui home
visit, proses penyelesaian masalah konseli bisa dilakukan secara
kolaboratif dengan melibatkan peran orang tua/keluarga.
Terdapat beberapa alasan penggunaan home
visit, yaitu:
1.
Hanya sebagian kecil waktu
konseli berada di sekolah dan selebihnya berada di rumah. Untuk melengkapi data
tentang konseli perlu mengetahui kehidupan keluarga di mana konseli itu tinggal
dan banyak melakukan kegiatan sesudah pulang sekolah.
2.
Tidak sedikit masalah yang
timbul di sekolah, berasal dari rumah.
3.
Orang tua memiliki peran
penting dalam membantu mengatasi masalah siswa.
Secara umum, tujuan dilaksanakan kegiatan home
visit adalah:
1.
Memperoleh data penting
tentang latar belakang kehidupan konseli dan keluarganya, baik berupa data baru
atau mengecek akurasi data yang telah diperoleh melalui teknik lain.
2.
Memahami lebih dalam
lingkungan kehidupan konseli sehari-hari di rumah.
3.
Mendiskusikan masalah konseli
bila memerlukan kerja sama dengan orang tua/wali.
4.
Membangun hubungan antara
lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat.
3.
KONSELOR
Konselor dalam istilah bahasa Inggris
disebut Counselor atau Helpermerupakan
petugas khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling (counseling).
Dalam konsep counseling
for all, di dalamnya terdapat kegiatan bimbingan (guidance). KataCounselor tidak
bisa dipisahkan dari kata Helping. Counselor menunjuk
pada orangnya sedangkan helping menunjuk
pada profesinya atau bidang garapannya. Jadi konselor adalah seorang yang
memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling, ia sebagai tenaga
professional.
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa
konselor sebagai pendidik yang merupakan salah satu tenaga kependidikan yang berpartisipasi
dalam menyelenggarakan pendidikan. Selanjutnya menurut Buku Standar Kompetensi
Konselor Indonesia (2005:4), konselor adalah tenaga professional bimbingan dan
konseling (guidance and counseling) yang harus memiliki sertifikasi dan
lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional bagi masyarakat. Tenaga
professional ini disiapkan dan dihasilkan oleh program studi bimbingan dan
konseling, jenjang S1, S2 dan S3, termasuk pembinaan profesi di dalamnya.
Konselor sebagai tenaga professional dalam
bidang bimbingan dan konseling (guidance and counseling) merupakan
tenaga khusus yang memiliki karakteristik atau ciri-ciri dalam aspek
kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
1.
Karakteristik Kepribadian
Karakteristik kepribadian konselor dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu karakteristik umum dan khusus. Karakteristik
umum berkaitan dengan kedudukan konselor sebagai tenaga pendidik, sedangkan
karakteristik khusus berhubungan dengan kualitas pribadi yang dapat
memperlancar perannya sebagai helper (pembimbing).
2.
Karakteristik Pengetahuan
Dilihat dari aspek pengetahuan (knowledge)
konselor adalah tenaga ahli dalam bidang pendidikan dan psikologis (psikopedagogis).
Ia memiliki pengetahuan luas tentang teori-teori psikologi, konseling, dan
pendidikan, sehingga dapat mengembangkan dan menerapkannya dalam pelayanan
konseling kepada klien.
3.
Karakteristik Keterampilan
Konselor sebagai tenaga professional
memiliki keterampilan (skill) yang memadai dalam memberikan pelayanan
konseling. Keterampilan konselor ini meliputi:
1.
Keterampilan dalam menciptakan
dan membina hubungan konseling kepada klien (helping relationship).
Dalam hubungan konseling, konselor mampu menciptakan suasana yang
hangat, simpatik, empati, yang didukung sikap dan perilaku konselor yang tulus
dan ikhlas untuk membantu klien, jujur dan bertanggung jawab, terbuka, toleran,
dan setia.
2.
Keterampilan dalam menerapkan
wawancara konseling. Menurut Hosking (1978:12)
dan Brammer (1979) terdapat beberapa keterampilan dasar wawancara konseling
yang harus dikuasai oleh konselor yaitu:
1.
Keterampilan penampilan,
2.
Keterampilan membuka
percakapan,
3.
Keterampilan membuat
paraphrasing atau paraphrase,
4.
Keterampilan
mengidentifikasikan perasaan,
5.
Keterampilan merefleksi
perasaan,
6.
Keterampilan konfrontasi,
7.
Keterampilan memberi
informasi,
8.
Keterampilan memimpin,
9.
Keterampilan
menginterprestasi, dan
10.
Keterampilan membuat
ringkasan.
4.
Karakteristik Pengalaman
Di samping karakteristik pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, menjadi konselor professional juga memerlukan pengalaman
kerja dalam menjalankan praktik konseling baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
Kompetensi
inti konselor (common comperencies) adalah seperangkat pengetahuan,
sikap, dan keterampilan bersama yang dikuasai konselor dalam setting manapun.
Setiap setting bimbingan dan konseling (guidance and counseling)
menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat
memberikan pelayanan dalam setting tersebut.
Kompetensi konselor merujuk kepada
penguasaan konsep, penghayatan dan perwujudan nilai serta penampilan ppribadi
yang bersifat membantu (helping personal) dan unjuk kerja professional
yang akuntabel. Kompetensi konselor dibangun dari landasan filosofis tentang
hakekat manusia dan kehidupannya sebagai makhluk Allah Yang Maha Kuasa, makhluk
pribadi, dan warga Negara yang berbasis budaya Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan bimbingan dan
konseling di Indonesia dewasa ini serta mengacu kepada Undang-undang RI Nomer
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) konselor adalah
pendidik. Dalam kapasitas sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi
sebagai pendidik psikologis (psychological educator atau psychoeducator),
dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya, ia
berperan memfasilitasi perkembangan peserta didik.
Kompetensi
inti konselor Indonesia telah dirumuskan dan ditetapkan sebagai kesepakatan
bersama oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagai standart
kompetensi konselor Indonesia (SKKI) yang terdiri dari 7 butir kompetensi; 27
butir sub kompetensi, dan 107 butir indicator kompetensi. Ketujuh butir
kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Menguasai konsep dan praksis
pendidikan;
2.
Memiliki kesadaran dan
komitmen etika professional;
3.
Menguasai konsep dan praksis
assessment;
4.
Menguasai konsep dan praksis
bimbingan dan konseling;
5.
Memiliki kemampuan mengelola
program bimbingan dan konseling; dan
6.
Menguasai konsep dan praksis
riset dalam bimbingan dan konseling.
Di dalam proses konseling, semua aspek
tersebut saling terkait, sehingga tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Seorang
konselor professional akan lebih berhasil dalam memberikaan pelayanan konseling
kepada kliennya, bila dibandingkan dengan konselor yang belum professional
(konselor pemula). Hal ini disebabkan oleh karena konselor professional
memiliki perangkat pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang lebih luas
tentang konseling, serta lebih mempunyai sifat-sifat kepribadian yang mantap,
seperti: kewibawaan, kehangatan, kestabilan emosi, simpatik, empati, kejujuran,
tanggung jawab, dan dapat dipercaya.
Di
pihak lain, seorang klien memiliki keunikan tertentu yang berbeda dengan klien
lainnya, sehingga bila konselor tidak mampu memahami hal ini, ia tidak akan
mempu menciptakan hubungan konseling yang efektif. Seorang konselor
professional harus mampu memanfaatkan segala kondisi yang menunjang proses
konseling dan menghindari factor-faktor yang dapat menghambat konseling. Di
antara kondisi yang menunjang adalah menciptakan keamanan dan kebebasan
psikologis, ketulusan dan kejujuran, kehangatan dan penuh penerimaan, empati,
perasaan yang menyenangkan, perasaan mencapai prestasi, memiliki harapan dan
ketenangan. Di samping itu, konselor professional juga harus mampu menghindari
perilaku yang merugikan diri seperti: berbohong, tidak bertanggung jawab, tidak
berwibawa, egois, amarah, rendah diri, cemburu, motivasi yang rendah untuk
membantu klien, yang dapat disebabkan oleh rendahnya penguasaan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman.
Konselor professional harus dapat memilih
metode atau pendekatan-pendekatan konseling yang tepat dan mampu menerapkannya
dalam layanan konseling, sehingga ia dapat membawa klien ke arah jalan dimana
klien dapat mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki pola piker positif (positive
thinking).
Dewasa
ini perkembangan konseling di Indonesia diarahkan pada suatu bentuk pelayanan
professional dalam lingkup sekolah, karier, industry, keluarga, dan masyarakat
luas (counseling for all), dimana konselor harus memahami ilmu filsafat,
psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan, agar ia dapat memberikan
pelayanan konseling secara profesiona. Jadi jelas bahwa untuk menjadi konselor
professional harus juga memahami psikologi konseling.
4.
KLIEN
Klien dalam istilah bahasa Inggris disebut
Client adalah individu yang memperoleh pelayanan konseling. Dalam konseling
pada setting persekolahan, yang dimaksud klien adalah peserta didik yang
mendapatkan pelayanan konseling, sedangkan dalam konseling pada setting di luar
sekolah (counseling for all), yang dimaksud klien adalah seorang atau
sekelompok orang sebagai anggota masyarakat, yang memperoleh pelayanan
konseling.
Menurut terminologi konvensional, dimana
konseling dipandang sebagai jantungnya pelayanan bimbingan yang bersifat
penyembuhan (curative), klien didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok
orang individu yang mengalami masalah, sehingga mereka membutuhkan bantuan
konseling agar dapat menghadapi, memahami, dan memecahkan masalahnya.
Dalam
terminologi modern siapa saja yang memperoleh pelayanan konseling disebut
klien. Klien tersebut bisa berstatus sebagai peserta didik, pegawai perusahaan
atau lembaga pemerintah ataupun swasta, ibu rumah tangga, ayah, pemuda/remaja,
orang dewasa, dan lansia (lanjut usia). Mereka secara sadar membutuhkan
pelayanan konseling.
Klien adalah individu yang memiliki
keunikan tertentu. Keunikan tersebut mencakup: keunikan kebutuhan, keunikan
kepribadian, keunikan intelegensi, keunikan bakat, keunikan motif dan motivasi,
keunikan minat, keunikan perhatian, keunikan sikap, dan keunikan kebiasaan,
yang secara khas mempengaruhi perilakunya.
Pada
dasarnya setiap individu menghadapi permasalahan dalam hidupnya dalam jenis dan
intensitas yang berbeda. Di antara masalah individu tersebut, beberapa masalah
bisa dipecahkan sendiri tanpa intervensi konselor, sedangkan masalah lainnya
masih belum bisa diselesaikan sehingga mereka membutuhkan bantuan konselor.
Pada umumnya masalah emosi klien yang cara penyelesaiannya membutuhkan bantuan
konseling adalah: (1) masalah kecewa, (2) masalah frustasi, (3) masalah
kecemasan, (4) masalah stress, (5) masalah depresi, (6) masalah konflik, dan
(7) masalah ketergantungan. Di antara keenam masalah ini dapat dialami klien
secara bersamaan, misalnya di samping klien mengalami masalah kecewa, ia juga menderita
masalah frustasi, kecemasan, begitu juga masalah yang lain.
Jika dilihat dari pihak orang yang akan
dibantu, proses konseling ini membatasi beberapa hal (Winkell, 1991:67), yaitu:
1.
Orang harus sudah mencapai
umur tertentu sehingga bisa sadar dengan tugas-tugasnya. Kesadaran itu dapat
terwujud dalam hal mengetahui secara reflektif. Tanpa kesadaran, pelayanan
tidak akan tercapai.
2.
Orang harus bisa menggunakan
pikiran dan kemauan sendiri sebagai manusia yang berkehendak bebas serta harus
bebas dari keterikatan yang keterlaluan pada perasaan-perasaannya sendiri
sehingga tidak terbawa pada perasaan-perasaannya sendiri.
3.
Orang harus rela memanfaatkan
pelayanan bimbingan dalam proses konseling. Dengan kata lain, pelayanan
bimbingan tidak dapat dipaksakan. Oleh karena itu, seseorang harus yakin bahwa
ia sudah mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
4.
Harus ada kebutuhan objektif
untuk menerima pelayanan bimbingan. Subyek harus menyadari bahwa ia harus
menghadapi masalah dan mendapatkan pelayanan bimbingan sepenuhnya.
5.
PSIKOLOGI KONSELING
Brammer dan Shostrom (1982:10)
mendefinisikan psikologi konseling is a
synthesis of many related trends found in the guidance, mental hygiene,
psychometrics, social casework, and psychotherapy movement.
Psikologi konseling adalah sintesis dari berbagai kecenderungan yang berkaitan
dalam gerakan bimbingan, kesehatan mental, psikometri, kasus-kasus sosial, dan
psikoterapi. Sintesis adalah paduan berbagai hal sehingga merupakan kesatuan
yang selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:845).
Dilihat
dari proses konseling (counseling process), psikologi konseling adalah
cabang kekhususan dari psikologi yang mengkaji berbagai aspek yang terlibat
dalam proses konseling. Aspek-aspek itu meliputi karakteristik, konseling,
konselor, klien dan masalahnya, berbagai kondisi yang menunjang dan menghambat
konseling, serta metode atau pendekatan-pendekatan dalam konseling.
Psikologi
konseling sebagai ilmu pengetahuan (scientific) secara umum bertujuan untuk
mengembangkan penggunaan teori-teori psikologi dalam layanan konseling kepada
klien. Teori-teori psikologi tersebut di antaranya adalah teori psikologi
Freudian, teori psikologi Behavioristik, dan teori psikologi Humanistik.
Secara khusus, tujuan psikologi konseling
adalah untuk melakukan pengkajian secara sistematis, logis, dan obyektif
terhadap variabel-variabel konseling. Variabel-variabel konseling ini, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Hakikat, tujuan,
prinsip-prinsip, dan asas-asas konseling.
2.
Karakteristik dan kompetensi
konselor professional.
3.
Karakteristik klien dan
masalah-masalahnya.
4.
Pengembangan kondisi
psikologis yang menunjang berlangsungnya proses konseling.
5.
Upaya mengatasi
hambatan-hambatan dalam proses konseling.
6.
Pengkajian dan pengembangan
teori-teori psikologi untuk diterapkan ke dalam pelayanan konseling.
7.
Pengkajian dan pengembangan
teknologi dalam konseling.
Seperti pada ilmu-ilmu lain, psikologi
konseling juga memiliki bidang kaji tertentu, di antaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Hakikat, tujuan,
prinsip-prinsip, dan asas-asas konseling.
2.
Karakteristik dan kompetensi
konselor professional.
3.
Karakteristik klien dan
masalah-masalahnya.
4.
Kondisi psikologis yang
menunjang berlangsungnya proses konseling.
5.
Hambatan-hambatan dalam proses
konseling.
6.
Teori-teori psikologi untuk
diterapkan ke dalam pelayanan konseling.
7.
Penggunaan teknologi dalam
konseling.
Ketujuh bidang tersebut merupakan aspek
yang saling berkaitan dalam proses konseling. Artinya kekurangpahaman konselor
pada salah satu atau beberapa bidang kaji konseling, dapat menghambat proses
konseling, dan sebaliknya bila konselor menguasainya, maka konseling yang
dibinanya dapat berlangsung secara efisien dan efektif.
Psikologi
konseling sebagai ilmu pengetahuan (scientific) memiliki hubungan erat
dengan sosiologi dan antropologi. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk social
yang ditandai adanya hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Hubungan
antar manusia merupakan kebutuhan manusia bersama, sehingga tidak ada satu pun
manusia yang sanggup hidup sendiri. Manusia, dimanapun berada tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya.
Pengembangan
psikologi konseling secara ilmiah mencakup aktivitas yang dilakukan secara
sistematis tanpa prasangka dan menyusun deskripsi yang cermat dan obyektif,
sehingga orang mampu memberikan jawaban yang terpercaya dan tepat terhadap
tantangan masalah-masalah teoritis dan praktis.
Dilihat dari waktu pelaksanaannya, metode
pengembangan psikologi konseling dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu
metode longitudinal dan
metodecross-sectional.
1.
Metode Longitudinal
Metode longitudinal merupakan
metode pengembangan yang dilakukan dalam kurun waktu relatif lama untuk
mencapai suatu hasil yang diharapkan. Aktivitas pengembangan dilakukan hari
demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Karena itu bisa dilihat dari
aspek perjalanan pengembangan, metode ini digunakan untuk mengembangkan
psikologi konseling secara vertikal (kedalaman).
Contoh:
konselor hendak mengembangkan penerapan teori-teori konseling tertentu seperti
teori gestalt, cognitive
behavioral therapy, interaksional, atau transaksional untuk
membantu klien yang menderita depresi. Untuk dapat mengembangkan penerapan
teori tersebut, konselor harus melakukan rangkaian kegiatan konseling kepada
seorang klien yang membutuhkan waktu cukup lama.
2.
Metode Cross-sectional
Berbeda dengan metode longitudinal,
metode cross-sectional merupakan
metode pengembangan yang tidak membutuhkan waktu terlalu lama, dengan kata lain
hanya menggunakan waktu yang relatif singkat dapat diperoleh data-data yang
banyak dengan menggunakan sampel lebih dari satu klien. Jadi metode ini
digunakan untuk mengembangkan psikologi konseling secara horizontal.
Desain pengembangannya bisa eksperimen dan
noneksperimen. Bila digunakan desain eksperimen, peneliti harus melakukan treatment (pemberian
perlakuan), misalnya treatmentnya berupa penerapan teori konseling cognitive
behavioral therapy atau
teori lain seperti gestalt,
trait and factor untuk
membantu klien yang menderita kecemasan dengan mengendalikan variabel-variabel
lain yang diduga mempengaruhi hasil treatment tersebut.
Bila
digunakan desain noneksperimen, peneliti tidak memberikan treatmentatau
pemberian perlakuan, tetapi ia cukup mengumpulkan data-data secara teliti dari
beberapa klien dengan menggunakan metode-metode tertentu dan hasilnya
dianalisis serta diinterpretasi secara obyektif. Metode yang dapat digunakan
antara lain metode instropeksi, ekstrospeksi, kuesioner, interviu, dokumentasi,
sosiometri, biografi, kelompok, dan testing.
6.
TEORI PSIKOLOGI DALAM KONSELING
Berikut teori-teori psikologi dalam
konseling yaitu teori Psikoanalisis, teori Behavioristik, dan teori Humanistik.
1.
Teori Psikoanalisis
Psikologi Freudian atau lebih dikenal
dengan Psikoanalisis diperkenalkan oleh Sigismund (Sigmund) Schlomo Freud (1856-1939).
Freud merupakan tokoh paling berpengaruh terhadap perkembangan psikologi
ilmiah.
Istilah
psikoanalisis mempunyai tiga arti penting yaitu (a) teori tentang kepribadian
dan psikopatologi, (b) metode terapi untuk gangguan kepribadian, dan (c) teknik
untuk menginvestigasi pemikiran dan perasaan individu yang tidak disadari
(Ziegler & Hjelle, 1994:86).
1.
Pandangan tentang manusia
Freud memandang manusia secara
deterministik. Hal ini mengartikan bahwa manusia sangat ditentukan (disetir)
oleh tekanan-tekanan irasional, motivasi yang tidak disadari, dorongan
biologis, dorongan naluri serta kejadian psikoseksual pada usia enam tahun
pertama dalam kehidupan (Corey, 1986:12).
Dalam
teori Freud, jiwa manusia diibaratkan seperti gunung es (iceberg) yang
mengambang di lautan luas. Hal ini tampak (yang mengambang) merupakan kesadaran
manusia, sedangkan yang terbenam di bawah laut adalah ketidaksadaran manusia.
Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia hanya mengerti sedikit
tentang kesadarannya, sedangkan hal yang tidak disadarinya jauh lebih besar.
Teori
freud menunjukkan suatu system kepribadian manusia yang terdiri dari id, ego,
dan super ego. Kinerja system ini tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Mereka selaras dalam diri manusia yang disebut proses.
2.
Manusia Sehat / Tidak Sehat
1.
Manusia sehat
Freud menyatakan bahwa pribadi orang sehat adalah mereka yang
dapat mengadakan integrasi
antara id dan ego. Dalam hal ini fungsi ego dapat berjalan
sebagaimana mestinya dan tidak dikuasai oleh id.
2.
Manusia tidak sehat
Orang yang tidak sehat adalah mereka yang mempunyai mekanisme
pertahanan diri (defence mechanism). Perlu diketahui bahwa mekanisme pertahanan
diri yang dimiliki oleh manusia merupakan sesuatu yang tidak disadari dan merupakan
rasa bersalah atau penghukuman diri (Arlow & Brenner dalam Hansen, 2000).
Adapun jenis pertahanan diri antara lain adalah sebagai berikut:
·
Formasi reaksi
Merupakan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar.
Jika perasaan yang ada dapat menimbulkan suatu ancaman, maka individu akan
menampakkan perilaku yang berlawanan untuk menyangkal perasaan yang bisa
menimbulkan ancaman tersebut.
·
Identifikasi
Individu bertindak atau menanggapi suatu sirkumtansi yang
diprakirakan atau dianggap seakan-akan sama dengan yang pernah dialaminya, atau
seseorang menyamakan dirinya dengan orang lain, kelompok lain atau nilai-nilai
tertentu. Identifikasi ini sering muncul pada orang-orang yang memiliki
kelemahan dalam konsep diri atau mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri
dengan kelompok tertentu atau disebabkan oleh kesulitan mereka dalam menerima
diri sendiri (George & Cristiani, 1990:43).
Sebagai contoh,
seseorang tidak bisa menerima dirinya bahwa dia tidak dapat bermain bola dengan
baik, maka dia akan mengatakan bahwa dia adalah anggota dari suatu klub sepak
bola terkenal. Pernyataan tersebut sebenarnya adalah untuk menyatakan
statusnya.
·
Introjeksi
Seorang individu menempatkan keinginan-keinginannya terhadap obyek
atau individu, seakan-akan benda atau individu tersebut adalah miliknya tanpa
memperhatikan apakah benda atau individu tersebut ada atau tidak.
·
Kompensasi
Seorang individu melakukan suatu tindakan tertentu (biasanya
negative) karena apa yang dia inginkan tidak bisa didapatkannya. Sebagai contoh,
seorang anak yang tidak pernah mendapatkan perhatian positif dari gurunya, maka
dia akan mengembangkan suatu perilaku yang negative.
·
Penyangkalan
Perlawanan terhadap kecemasan dengan cara ‘menutup mata” terhadap
kejadian yang ada. Misalnya, seorang individu takut terhadap kematian orang
tuanya, maka dia menyangkal bahwa orang tuanya telah mati. Penyangkalan ini
muncul karena individu tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Hjelle dan Ziegler
(1994:107) menyatakan bahwa salah satu ungkapan yang dinyatakan oleh
orang-orang ini adalah ‘ini tidak dapat terjadi pada diri saya”. Mekanisme
pertahanan diri ini dapat ditemui pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak
matang.
·
Proyeksi
Mengalihkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego
kepada orang lain atau lingkungan (Hjelle & Ziegler, 1994:104), dengan
demikian, seorang individu dapat menjelekkan atau mengutuk orang lain karena
dia yang melakukan tindak kejahatan tertentu.
Sebagai contoh, siswa
SMA gagal dalam ujian akhir. Maka dia akan mengatakan bahwa soal-soal ujian
yang diberikan sudah bocor atau panitia ujian tidak fair.
·
Rasionalisasi
Individu membuat alasan-alasan yang menurutnya dapat “diterima”
oleh akal sehat. Dia membuat suatu pemalsuan diri, sehingga kenyataan
sebenarnya yang pahit tidak terlalu menyakitkan egonya.
Sebagai contoh, siswa
yang gagal masuk ujian menjadi akuntan, maka selanjutnya dia akan menyatakan
dirinya bahwa dia tidak akan menjadi akuntan.
·
Represi
Suatu tindakan pencegahan terhadap pemikiran atau perasaan yang
tidak menyenangkan. Perasaan atau pemikiran yang tidak menyenangkan ini ditekan
(repressed) ke dalam alam bawah sadar. Freud (dalam Hjelle dan Ziegler,
1994:104) sering menyebutnya dengan “motivated forgetting”.
·
Regresi
Merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri dimana
seseorang yang mengalami kecemasan atau ketakutan (id terancam) akan
memunculkan perilaku-perilaku yang lazim dilakukan anak kecil seperti menangis,
merusak barang, berbicara seperti anak kecil, memberontak, melawan kekuasaan,
ngebut dan mengendarai kendaraan secara serampangan (Hjelle & Ziegler
Hjelle & Ziegler, 1994:106).
3.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling terapi psikoanalisis
adalah mengembalikan fungsi ego agar dapat lebih kuat (Cottone, 1992:104) atau
membuat hal-hal yang tidak disadari oleh klien menjadi hal yang disadari
sepenuhnya. Proses terapeutik difokuskan pada pengalaman-pengalaman masa
kanak-kanak. Pengalaman masa lalu direkonstruksi kembali, dianalisis dan
ditafsirkan.
Dengan
demikian klien diajak untuk bisa menyadari apa yang telah dilakukan dulu dan
merasakannya, dengan kata lain, perasaan dan ingatan yang berkaitan dengan
pemahaman diri menajdi hal yang lebih penting.
4.
Teknik Konseling
Beberapa teknik yang digunakan dalam
terapi psikoanalisis adalah sebagai berikut:
1.
Penafsiran
Penafsiran merupakan suatu prosedur dasar yang dipergunakan untuk
mengadakan analisis terhadap teknik asosiasi bebas, mimpi-mimpi,
hambatan-hambatan dan tranferensi. Dalam penafsiran ini, terapis mencoba untuk
menerangkan tentang suatu kejadian atau tingkah laku yang diwujudkan ke dalam
mimpi, hambatan-hambatan dan yang ditujukan kepada terapis itu sendiri
(transferensi).
2.
Analisis mimpi
Teknik ini dilaksanakan dengan cara membuat klien tidur dan
bermimpi. Teknik ini merupakan suatu prosedur yang penting untuk menyingkap
hal-hal yang berada di alam bawah sadar klien. Selama proses tidur, pertahanan
diri klien biasanya mulai lemah dan perasaan-perasaan yang telah lama ditekan
akan dapat muncul dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan Freud meyakini bahwa mimpi
merupakan refleksi konflik dari tekanan-tekanan dalam kepribadian manusia
(Corey, dalam Koswara, 1988; Cottone, 1992).
3.
Asosiasi bebas
Teknik asosiasi bebas dilakukan karena ada alasan bahwa seringkali
terjadi kegagalan pada saat terapis berusaha untuk menghipnotis klien. Teknik
ini merupakan teknik utama dalam pendekatan psikoanalisis. Dalam proses ini,
pertama kali yang dilakukan oleh terapis adalah meminta klien untuk rileks atau
duduk di kursi. Klien diminta untuk mengkosongkan pikirannya dari kegiatan
sehari-hari. Kemudian klien diminta untuk mengungkapkan apa saja yang lewat di
benaknya pada saat itu juga. Apapun yang direspons dalam pikirannya itu harus
dikatakan, walaupun apa yang dikatakannya itu menyakitkan tidak logis, remeh
dan lain sebagainya (Hjelle & Ziegler, 1994).
Melalui asosiasi bebas,
klien dapat memanggil pengalaman-pengalaman masa lalu dan bisa melepaskan emosi
yang berkaitan dengan situasi traumatik. Dengan demikian, asosiasi bebas dapat
menjadi katarsis bagi klien, walau katarsis ini bersifat sementara, tetapi jika
klien merasa “nyaman” maka secara tidak langsung akan mempermudah jalannya
terapi.
2.
Teori Behavioristik
Aliran ini pada awalnya diperkenalkan oleh
John B. Watson (1878-1958). Pada dasarnya, aliran ini mencoba untuk mengilmiahkan
semua perilaku manusia yang pada akhirnya memunculkan paradigm bahwa semua
perilaku manusia hanya dapat diamati, sehingga dapat dilakukan penilaian secara
obyektif.
Tokoh
aliran behavioristik sangat banyak, diantaranya adalah Edward Thorndike, Clark
Hull, John Dolard, Bandura, Kazdin, Pavlov, Neal Miller, dan BF Skinner. Hanya
saja, sampai saat ini banyak karya Skinner yang masih dipergunakan untuk
membantu klien melalui proses terapi konseling.
1.
Operant Conditioning
Teori Operant Conditioning diperkenalkan
oleh BF Skinner. Skinner dalam Cottone (1992:159) menyatakan bahwa
kondisi-kondisi tertentu seringkali mengontrol seseorang untuk berperilaku, hal
ini terjadi baik di rumah, di sekolah, di rumah sakit bahkan di penjara
sekalipun. Seorang terapis akan mengubah perilaku klien sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan dia akan menciptakan kondisi tersebut.
Seorang terapis yakin dapat mengubah perilaku individu karena dia yakin dapat
mengkontrol kondisi yang diinginkan.
1.
Pandangan tentang manusia
Skinner & Ziegler (1994:297) menyatakan penolakannya terhadap
otonomi yang dimiliki oleh manusia, yang menyatakan bahwa perilaku manusia pada
dasarnya sangat bergantung pada factor-faktor internal seperti ketaksadaran,
sifat dan lain-lain (seperti pada teori psikoanalisis). Skinner meyakini bahwa
perilaku yang dimiliki manusia adalah sebagai hasil dari pengkondisian
lingkungan di mana manusia berada.
2.
Manusia Sehat / Menyimpang
Dalam aliran behavioristik tidak ada batasan yang jelas mengenai
pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini
mengakui bahwa perilaku maladaptive adalah seperti perilaku adaptif, yaitu
dipelajari (Chamblers & Goldstein, dalam Gilliland, 1989:157).
Maladjustment yaitu
perilaku yang menyimpang dari norma sosial, keberadaannya dapat dipengaruhi
oleh waktu, budaya, kelas sosial dan situasi tertentu. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa suatu perilaku yangmaladjustment di
suatu daerah bisa jadi sebagai hal yang dapat diterima di daerah lain. Hal yang
dapat membedakannya adalah kemampuan orang untuk dapat melakukan penyesuaian
diri dan mendapatkan pengakuan dari lingkungan dimana dia berada (Ullman &
Krasner, dalam Gilliland, 1989:160). Jadi, jika seseorang tidak dapat melakukan
penyesuaian diri, maka dia mengalami permasalahan pribadi.
3.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling dalam terapi behavioristik adalah mengubah atau
menghapus perilaku dengan cara BELAJAR perilaku
baru yang lebih dikehendaki. Hubungan antara konselor dengan klien lebih
sebagai hubungan antara guru dan murid. Hal ini dikarenakan konselor lebih
berperan aktif dalam usaha mengubah perilaku klien. Konselor lebih banyak
mengajarkan tingkah laku baru klien sesuai dengan hokum belajar (law of
learning).
4.
Teknik Konseling
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan
konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian
pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian
tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai
dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi.
Beberapa teknik yang
dipergunakan dalam pendekatan behavioristik adalah sebagai berikut:
1.
Self-management
Istilah self-management mengacu pada harapan agar klien dapat
lebih aktif dalam proses terapi. Cormier & Cormier dalam Sutijono &
Soedarmadji (2005:55) menyatakan bahwa keaktifan ini ditunjukkan untuk mengatur
atau memanipulasi lingkungan sesuai dengan perilaku apa yang akan dibentuk.
2.
Disensitisasi Sistematik
Teknik ini diperkenalkan oleh Joseph Wolpe’s yang merupakan
perpaduan beberapa teknik seperti memikirkan sesuatu, menenangkan diri
(relaksasi) dan membayangkan sesuatu. Dalam pelaksanaannya, konselor berusaha
untuk menanggulangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi oleh klien. Teknik
ini dipergunakan apabila klien merasa takut dengan hal tertentu seperti takut
menghadapi ujian, takut menghadapi operasi, takut naik pesawat terbang, dll.
Selain itu Walker (1996) menyatakan bahwa strategi disensitisasi sistematis
dapat diberikan kepada individu yang mengalami phobia seperti acrophobia,
agoraphobia, dan claustrophobia.
3.
Latihan Asertif
Latihan asertif (assertive training) merupakan teknik yang
seringkali dipergunakan oleh penganut aliran behavioristik. Teknik ini sangat
efektif jika dipakai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan
rasa percaya diri, pengungkapan diri atau ketegasan diri.
Corey (1986:189)
menyatakan bahwa latihan asertif akan sangat berguna bagi mereka yang mempunyai
masalah tentang:
1.
Tidak mampu mengungkapkan
kemarahan atau rasa tersinggung.
2.
Menunjukkan kesopanan yang
berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
3.
Memiliki kesulitan untuk
mengatakan ‘tidak”.
4.
Kesulitan untuk mengungkapkan
afeksi dan respons-respons positif lainnya.
5.
Merasa tidak punya hak untuk
memiliki perasaan-perasaan dan pikirannya sendiri.
4.
Memberi Contoh (modeling)
Pemberian contoh merupakan teknik yang sering dilakukan oleh
konselor. Keuntungan memberikan contoh adalah klien tidak merasa ketakutan
terhadap obyek yang dihadapinya. Bandura dalam Corey (1986:188) menyatakan
bahwa semua pengalaman yang didapat dari hasil belajar dapat dilakukan dengan
cara melakukan pengamatan secara langsung atau tidak langsung kepada obyek
berikut konseluensinya.
Dengan pemberian contoh,
klien akan belajar dari orang lain yang menjadi obyek. Klien akan belajar dari
sisi negative dan positif yang dimiliki oleh obyek. Jika obyek memperoleh
banyak sisi negative terhadap suatu kejadian, maka klien belajar untuk tidak
mendekati sisi negative obyek yang dicontoh.
2.
Rational Emotive Therapy
Pendekatan Rational
Emotive Therapy (RET)
dikembangkan oleh Albert Ellis. Pada tahun 1955, Ellis mencoba untuk
mengkombinasikan teori-teori humanistic, philosophi dan behavioral.
Penggabungan ini pada akhirnya memunculkan pendekatan atau teori Rational
Emotive Therapy (RET).
Pada tahun 1956, RET menjadi terapi yang pertama kali mempergunakan cara
berpikir yang rasional. Alhasil, Ellis disebut sebagai bapak RET juga sebagai
kakek dari terapi kognitif-behavioral. George & Cristiani (1990:83)
menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada proses berpikir klien yang
dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan psikologis dan emosional.
Pendekatan RET lebih diorientasikan pada
kognisi, perilaku dan aksi yang lebih mengutamakan berpikir, menilai,
menentukan, menganalisis, sangat direktif dan sangat perhatian terhadap
pemikiran daripada perasaan. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa kognisi,
emosi dan perilaku berinteraksi secara signifikan dan mempunyai hubungan sebab
akibat yang resiprokal (Ellis, dalam Corey 1986:209).
Salah satu pandangan pendekatan ini adalah
bahwa permasalahan yang dimiliki seseorang bukan disebabkan oleh lingkungan dan
perasaannya, tetapi lebih pada system keyakinan dan cara memandang lingkungan
di sekitarnya. Lebih khusus lagi, gangguan emosi yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi keyakinan, bagaimana dia menilai dan bagaimana dia
menginterpretasikan apa yang terjadi padanya. Jika emosi seseorang terganggu,
maka akan terganggu pula pola piker yang dimilikinya, dengan demikian akan
timbul pola piker yang irasional.
(1). Pandangan tentang Manusia
Pandangan RET
menyatakan bahwa manusia didominasi oleh prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa
emosi dan pemikiran (thinking and feeling) berinteraksi di dalam jiwa.
Manusia normal akan berpikir, merasa dan bertindak secara simultan.
2.
Pribadi Sehat / Tidak Sehat
Pribadi Sehat
Menurut pendekatan RET,
pribadi sehat mempunyai cirri memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan diri.
Ciri-ciri orang yang teraktualisasikan dirinya adalah sebagai berikut:
1.
Mempunyai minat diri terhadap
sesuatu;
2.
Mempunyai minat social;
3.
Mempunyai arah diri;
4.
Toleransi terhadap orang lain
yang berbeda perilaku;
5.
Fleksibel terhadap perubahan
dan tidak bersifat kaku;
6.
Mampu menerima ketidakpastian;
7.
Komitmen terhadap sesuatu di
luar dirinya;
8.
Berpikir secara ilmiah;
9.
Menerima diri tanpa syarat
tertentu;
10.
Mampu mengambil resiko;
11.
Mempunyai hedonisme untuk
jangka waktu yang lama;
12.
Tidak bersifat utopian;
13.
Mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap frustasi;
14.
Bertanggungjawab terhadap
gangguan mental.
Selain hal yang telah disebutkan, orang sehat menurut RET adalah
mereka yang mempunyai daya kreativitas, memelihara diri, peka terhadap indra,
memperhatikan orang lain, dan mampu belajar dari kesalahan yang telah
diperbuat.
Pribadi tidak sehat
Ellis dalam Corey
(1986:209) menunjukkan bahwa kesalahan berperilaku yang dimunculkan oleh
seseorang lebih disebabkan karena pandangan yang salah dari seseorang terhadap
sesuatu. Selanjutnya Ellis (dalam George & Cristiani, 1990:83) menyatakan
bahwa pribadi yang menyimpang mengacu pada sebelas ide yang tidak rasional (eleven
irrational idea/thinking), yaitu:
1.
Tuntutan untuk selalu dicintai
dan didukung orang-orang terdekat (significant others).
Hal ini merupakan pemikiran irasional, karena hal itu tidak mungkin dicapai.
Jika seseorang melakukan hal itu, maka dia akan merasa tidak aman dan akan
merasa kalah.
2.
Tuntutan kompetensi dan
kemampuan secara sempurna di semua bidang. Hal
ini malah tidak mungkin. Jika klien melakukan hal tersebut, maka sering muncul
rasa rendah diri, merasa selalu gagal sehingga individu tidak bisa menikmati
aktivitasnya.
3.
Tuntutan untuk meenghukum dan
menyalahkan orang lain. Hal ini sangat irasional,
karena seringkali klien tidak memiliki standard untuk menentukan baik dan buruk
sesuatu hal. Adalah sangat wajar jika orang lain melakukan kesalahan atas
perilaku yang dibuatnya. Ketidakmampuan untuk dapat menerima kesalahan orang
lain, akan menyebabkan klien mengalami masalah pribadi.
4.
Tidak senang atas kejadian
yang tidak diharapkan. Klien tidak menyadari bahwa
keadaan lingkungan di sekitar klien selalu tidak seperti yang diharapkan.
Perubahan-perubahan seringkali terjadi di sekitar kita, klien akan mengalami
“sakit” jika dia tidak belajar untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi
di sekitarnya.
5.
Tuntutan penyebab eksternal.
Pada saat ini individu merasa bahwa kejadian-kejadian di luar dirinya dapat
menyakitkan atau membahayakan dirinya. Hal ini tidak akan terjadi jika individu
tidak bereaksi secara berlebihan terhadap kejadian-kejadian yang timbul di
sekitarnya.
6.
Perhatian pada hal-hal yang
berbahaya. Hal ini menunjukkan bahwa individu jika ada sesuatu yang
membahayakannya (walau remeh), individu akan memikirkan permasalahan itu secara
terus menerus bahkan pola pikirnya justru menambah masalah tersebut menjadi
semakin rumit.
7.
Lari dari kesulitan dan
tanggung jawab. Hal
ini disebut sebagai irasional, karena individu cenderung untuk lari dari
masalah daripada berusaha untuk memecahkan masalah tersebut.
8.
Keharusan untuk bergantung.
Manusia hidup pasti bergantung pada lingkungannya atau orang lain, tetapi bukan
berarti menjadi alas an bagi individu untuk terus bergantung pada orang lain.
Ketergantungan akan memunculkan individu cenderung tidak mandiri dan tidak
dapat mengekspresikan diri.
9.
Kejadian saat ini ditentukan
oleh perilaku masa lalu dan tidak bisa diubah.
Walaupun masa lalu bisa mempengaruhi saat ini, tetapi bukan berarti akan
berdampak pada perilaku saat ini. Orang yang hanya terpaku pada permasalahan
masa lalu akan menimbulkan pribadi-pribadi yang tidak bisa berkembang /
stagnasi.
10.
Terlalu hanyut / peduli pada
permasalahan orang lain. Hal ini dikatakan sebagai
sesuatu yang irrasional karena tidak semua permasalahan orang lain berhubungan
dengan kita, sehingga kita tidak perlu memikirkan permasalahan orang lain
secara serius.
11.
Tuntutan jawaban yang selalu
benar dan persis atas suatu masalah. Hal ini dikatakan
sebagai irasional karena tidak semua jawaban yang diberikan oleh individu lain
atau lingkungan selalu betul. Pencarian jawaban yang sempurna akan memunculkan
kecemasan sebab individu selalu merasa tidak puas sehingga selalu mencari
jawaban-jawaban yang telah hilang.
2.
Tujuan Konseling
Tujuan konseling dalam terapi Rasional Emotif adalah sebagai
berikut:
1.
Mendemonstrasikan kepada klien
bahwa verbalisasi diri (self verbalitization) merupakan sumber gangguan
emosi.
2.
Menunjukkan kepada klien bahwa
verbalisasi diri adalah tidak logis dan tidak rasional.
3.
Mengeluarkan pemikiran
sehingga verbalisasi diri dapat lebih logis dan efisien, dan tidak berhubungan
dengan emosi negative dan perilaku kekalahan diri.
Dalam melaksanakan terapi RET, Ellis dalam Cottone, (1992:114)
berpendapat bahwa terapi dapat dilihat sebagaimana mana dunia pendidikan,
sehingga fungsi terapis dapat diibaratkan seperti guru (teacher) dan
klien sebagai orang yang belajar (learner). Dengan kata lain bahwa
pendekatan ini lebih menekankan perilaku konselor untuk mendemonstrasikan
ide-ide yang irasional yang menjadi dasar perilaku klien, sehingga nantinya
akan menghilangkan stress atau tekanan pada diri klien.
2.
Teknik Konseling
Dalam pendekatan RET, sebagaimana dalam pendekatan Humanistik
perlu dibangun adanya hubungan baik (rapport) dan hubungan kolaboratif.
Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa dalam penciptaan rapport maka
perlu adanya kondisi penerimaan tanpa syarat, empati dan keaslian diri terapis. Walen,
DiGuiseppe dan Wessler (dalam Corey, 1986:219) menyatakan bahwa rapportyang
baik akan memaksimalkan perolehan hasil dalam konseling.
Sesuai dengan usaha
konselor untuk mengubah diri klien secara langsung, maka terapis mempergunakan
beberapa teknik konseling sebagai berikut:
1.
Terapi kognitif
Dalam teknik ini yang utama adalah mempersoalkan keyakinan
irasional (Bir) yang dimiliki klien. Hanya saja, dalam pelaksanaannya
dipergunakan prosedur verbal. Setelah itu, terapis berusaha untuk mengajari
klien agar dapat berhubungan dengan pernyataan diri (self-statement).
2.
Humor
Penggunaan humor dalam konseling telah diaplikasikan dalam berbagai
setting seperti di sekolah dasar, pada konseling karier, treatment kelompok
pasien yang mengidap depresi, terapi keluarga, dan terapi analitik (Goldin dan
Bordan, 1999; Roller & Lancaster, dalam Golding dan Bordan, 1999).
Lebih lanjut, humor
dapat dipergunakan untuk menciptakan rapport dan
sebagai teknik untuk membuka diri klien, dimana konselor dapat menunjukkan
adanya ketidaksempurnaan atau kelemahan yang sebaiknya bisa diterima oleh
setiap manusia. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa tertawa adalah suatu cara
“menunjuk hidung sendiri” terhadap ketidakmampuan dan ketidak mengertian
terhadap perilaku yang ada saat ini.
3.
Teknik emotif
Teknik ini dipergunakan untuk membantu klien dalam
mengidentifikasi emosi dan keyakinan, serta menemukan kesulitan melakukan
verbalisasi. Pada saat tertentu, ada klien yang mampu mengenal perasaan dan
kognitifnya, tetapi dia tidak dapat mempergunakannya dalam kejadian-kejadian
tertentu. Dalam hal ini teknik yang bisa dipergunakan, yaitu: bermain peran (role
playing), bahasa emosional yang diubah (emotionally changed language),
teknik perilaku.
3.
Teori Humanistik
Pandangan psikologi yang ketiga dan sangat
bertolak belakang dengan dua pendekatan terdahulu adalah aliran humanistik.
Aliran humanistik seringkali disebut sebagai “kekuatan ketiga (third force)
dalam bidang psikologi. Hal ini dikarenakan aliran ini berusaha untuk menolak
anggapan-anggapan yang dilontarkan oleh aliran psikoanalisis yang menyatakan
bahwa manusia itu hasil ciptaan dari instink dan konflik intrapsikis dan aliran
behavioristik yang menyatakan bahwa manusia itu sebagai korban dari lingkungan.
Berbeda dengan dua aliran terdahulu,
aliran humanistik meyakini bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang baik.
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa manusia itu mempunyai kemampuan
untuk terus berkembang, mengarahkan diri, kreatif dan dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri. Jelasnya, menurut aliran ini, manusia mempunyai kemampuan
untuk menentukan arah hidupnya sendiri dengan penuh kesadaran dan kebebasan.
Aliran humanistik dperkenalkan oleh Abraham Harold Maslow dan banyak diikuti
oleh ahli lain seperti Carl Rogers, Fromm, Gordon Alport dan Kelly.
1.
Abraham Harold Maslow
(1890-1970)
1.
Pandangan tentang Manusia
Pendekatan humanistik yang diperkenalkan Maslow mempunyai tujuan
untuk mempelajari berapa banyak potensi yang kita miliki untuk perkembangan dan
pengungkapan diri manusia secara penuh (Schultz, 1991:88). Sesuai dengan hal
tersebut, Maslow selalu berhubungan dengan orang yang sehat. Dia tidak mau
memandang manusia di sekelilingnya sebagai orang yang tidak sehat (neurotis)
sebagaimana yang diungkapkan oleh Freudian.
Maslow mempunyai
anggapan bahwa mereka yang sehat selalu menuntut terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Sejalan dengan hal itu, Maslow
mengembangkan suatu identifikasi kebutuhan dasar manusia. Adapun hirarki
kebutuhan dasar manusia itu adalah sebagai berikut:
1.
Kebutuhan fisiologis (physiological
needs)
2.
Kebutuhan akan rasa aman (safety
needs)
3.
Kebutuhan sosial (social
needs)
4.
Kebutuhan akan harga diri (esteem
needs)
5.
Kebutuhan aktualisasi diri (self
actualization needs)
2.
Pribadi Sehat / Tidak Sehat
Pribadi sehat
Pribadi yang sehat
adalah mereka yang dapat mengaktualisasikan diri secara penuh. Adapun beberapa
ciri orang yang teraktulisasikan dirinya adalah sebagai berikut:
1.
Mengamati realitas secara
efisien;
2.
Penerimaan umum atas kodrat,
orang lain dan diri sendiri;
3.
Spontanitas, kesederhanaan dan
kewajaran;
4.
Focus pada masalah-masalah di
luar diri mereka;
5.
Kebutuhan akan privasi dan
independensi;
6.
Berfungsi secara otonom;
7.
Apresiasi yang senantiasa
segar;
8.
Pengalaman-pengalaman mistik
atau “puncak”;
9.
Minat sosial;
10.
Hubungan antar pribadi;
11.
Struktur watak demokratis;
12.
Perbedaan antara sarana dan
tujuan, antara baik dan buruk;
13.
Perasaan humor yang tidak menimbulkan
permusuhan;
14.
Kreativitas;
15.
Resistensi terhadap
inkultrasi.
Pribadi tidak sehat
Pribadi yang tidak
sehat menurut pandangan Maslow adalah mereka yang mempunyai motivasi defisit
atau deficit motivation (D-deficiency).
Secara umum, orang-orang ini mempunyai frustasi, rasa tidak puas dan ketegangan
yang tinggi. Lebih lanjut, Maslow memberikan istilah penyimpangan-penyimpangan
ini dengan istilah metapathologi (Hjelle & Ziegler, 1994:459)
Metapatology ini akan
muncul jika seseorang tidak terpuaskan salah satu kebutuhan dasarnya. Dengan
kata lain Maslow mengatakan bahwa salah satu indikasi yang menyebabkan
timbulnya metapatologi adalah tidak terpenuhinya gaya hidup seseorang (dalam
Ziegler & Hjelle, 1994:459).
2.
Person Centered Therapy
Pendekatan Person Centered Therapy
merupakan bagian dari aliran psikologi humanistic yang dikembangkan oleh Carl
Rogers pada wal tahun 1940-an. Sebagai bagian dari psikologi humanisktik, maka
pendekatan ini muncul karena adanya reaksi dan orientasi reduksionistik dalam
teori Psikoanalisa dan Behavioristik (DeCarvalho dalam Hansen, 2000). Lebih
lanjut, perkembangan pendekatan humanistic yang berakar di Amerika menekankan
pada kebebasan, subyektivitas, berkembang searah dengan kaum eksistensialis dan
digabungkan dengan pola piker optimistik rakyat Amerika.
1.
Pandangan tentang Manusia
Dalam teori Rogers, dia memaparkan suatu konsepsi dasar tentang
hakikat manusia yaitu:
1.
Organisme,
merupakan keseluruhan individu (the total individual);
2.
Medan phenomenal,
merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience); dan
3.
Self,
merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari
pola-pola pengamatan dan penilaian sadar dari “I” atau “Me”.
2.
Pribadi Sehat / Tidak Sehat
Pribadi sehat
Rogers berpendapat
bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu
proses, “suatu arah buka suatu tujuan” (Schultz, 1991:50). Hal ini mempunyai
makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak manusia
dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah
selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis, tetapi lebih pada usaha
untuk terus menjadi sesuatu (becoming).
Secara umum, rogers mendefinisikan pribadi yang sehat dengan
tanda-tanda adanya keselarasan (congruence) antara apa yang dipikirkan
dengan apa yang dilakukan, adanya konsep diri (self-concept) yang
merupakan pemahaman terhadap potensi dan kelemahannya, serta adanya keselarasan
antara diri (self) dengan diri yang diaktualkan (actual-self).
Beberapa cirri pribadi sehat menurut Rogers dalam Corey (1986;
Schultz, 1991:51-54; Hjelle & Ziegler, 1994:507-509) antara lain sebagai
berikut:
1.
Terbuka dengan pengalaman baru
(opennees to experience)
2.
Percaya pada diri sendiri (trust
in themselves)
3.
Mempergunakan sumber-sumber
dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation)
4.
Keinginan untuk terus tumbuh (willingness
to continue growing)
Pribadi tidak sehat
Menurut Rogers, pribadi
tidak sehat adalah mereka yang mengalami ketaksejajaran (incongruence)
antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang ada. Rogers
dalam Gilliand (1989) menyatakan bahwa jika persepsi seseorang terhadap
pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjustment atau vulnerability akan
muncul.
3.
Tujuan Konseling
Klien datang ke ruang konseling dalam keadaan yang incongruence.
Keadaan ini terjadi akibat adanya kesenjangan antara cara pandang diri (self-concept)
dengan pengalaman yang sebenarnya terjadi (actual experience), atau
adanya kesenjangan antara self-concept dengan
apa yang ingin dicapai (ideal self-concept).
Dalam proses konseling, klien diajak untuk dapat memahami dirinya
sesuai dengan kenyataan yang ada. Memang, sering terjadi klien yang datang ke
ruang konseling dengan membawa keyakinan diri yang tidak dapat diubah dan
seringkali menyalahkan orang lain atau dengan membawa gangguan psikologis. Pada
saat ini konselor berusaha untuk menggali permasalahan dan perasaan yang
dimiliki oleh klien. Dengan penggalian ini, diharapkan klien akan dapat
menyadari dan kemudian memiliki permasalahan yang ada dalam dirinya.
Setelah klien sadar dan memiliki apa yang ada dalam dirinya, maka
konselor kemudian mengadakan revisi konsep
diri yang dimiliki oleh klien. Revisi ini didasarkan pada pengalaman perasaan
yang dimiliki oleh klien selama proses konseling berjalan. Lebih lanjut, Rogers
menyatakan bahwa tujuan konseling adalah membantu klien agar menjadi manusia
yang berfungsi seutuhnya (fully functioning person).
3.
Gestalt Therapy
Terapi ini dikenalkan oleh Frederick
(Fritz) Salomon Perls (1963-1970). Gestalt dalam bahasa Jerman mempunyai arti
bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau
keparipurnaan (Schultz, 1991:171). Lebih lanjut, Simkin dalam (Gilliland, 1989:92)
menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau
konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan
adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh.
Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Tujuan
dasar konseling dalam terapi ini adalah untuk meraih kesadaran (awareness)
terhadap apa yang sedang dialami oleh klien dan kemudian klien bertanggung
jawab terhadap apa yang dirasakan, dipikirkan dan dikerjakan. Untuk itu, maka
terapi ini lebih mengutamakan keadaan di sini, dan saat ini (here and now).
Terapi Gestalt menolak pencarian alasan
tentang sebab-sebab terjadinya suatu perilaku, pemikiran atau perasaan yang
terjadi, tetapi lebih mengutamakan untuk meminta individu untuk mencoba suatu
aktivitas baru yang telah didesain untuk meningkatkan kesadaran. Dengan
demikian, klien akan mengalami sendiri apa yang dilihatnya, apa yang
dirasakannya dan apa yang diinterpretasikannya, sehingga klien dalam keadaan aktif
dan tidak menunggu terapis untuk meningkatkan kesadarannya (Yontef, dalam
Gilliland, 1989:98). Lebih lanjut, Perls dkk dalam Cottone (1992:140)
menyatakan bahwa, terapi Gestalt tidak mengutamakan adanya penerimaan social
seperti pada behavioristik atau improvisasi hubungan interpersonal seperti
dalam humanistic, tetapi lebih pada bagaimana individu dapat memperoleh
kesadaran dan berfungsi secara efektif.
1.
Pandangan tentang Manusia
Bagaimana pendekatan Person
Centered, Gestalt memandang pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai
suatu fenomena yang unik, dimana Perls mengembangkan terapi Gestalt ini dengan
mempergunakan prinsip-prinsip humanistik.
2.
Manusia Sehat / Tidak Sehat
Manusia sehat
Dalam terapi Gestalt
diberikan beberapa cirri kepribadian yang sehat. Adapun ciri kepribadian
seseorang yang sehat adalah seperti diuraikan berikut ini:
1.
Mampu mengatur diri sendiri
Pendekatan Gestalt percaya bahwa seseorang ditakdirkan untuk mampu
mengatur dirinya sendiri dalam menghadapi situasi-situasi atau permasalahan-permasalahan
yang belum selesai. Orang yang sehat mampu mengatur diri mereka sendiri, tanpa
adanya campur tangan dari pihak luar.
2.
Bertanggung jawab
Sesuai dengan uraian di atas, seseorang dikatakan sehat apabila
mereka dapat mempertanggungjawabkan serta mengambil resiko yang akan terjadi
sebagai hasil dari perbuatannya. Tanggungjawab ini muncul akibat adanya
kesadaran diri di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
3.
Memiliki kematangan
Dalam terapi Gestalt, orang dikatakan sehat apabila mereka
mempunyai kematangan. Kematangan ini didasarkan pada kesadaran seseorang
terhadap diri dan lingkungannya.
4.
Memiliki keseimbangan diri
Orang yang sehat, salah satu cirinya adalah memiliki keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara dirinya saat ini, dengan
keseimbangan lingkungan di sekitarnya.
Manusia tidak sehat
Passons dalam George
dan Cristiani (1990:69) menyatakan secara umum permasalahan manusia
dikelompokkan menjadi enam area yaitu kesenjangan akan kesadaran, kesenjangan
akan tanggung jawab, kehilangan kontak dengan lingkungan, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan tugas “Gestalt”, tidak memiliki kebutuhan, dan melakukan dikotomi
pribadi.
Dalam terapi Gestalt diberikan beberapa ciri kepribadian yang
menyimpang. Adapun ciri-ciri kepribadian seseorang yang menyimpang adalah
sebagai berikut:
1.
Introjections
Mempunyai arti penggabungan image sebuah obyek atau individu ke
dalam psyche;
penyimpanan perasaan dalam image suatu obyek atau seseorang ketimbang dalam
obyek atau orang yang sesungguhnya; menempatkan keinginan terhadap obyek atau
individu ke dalam psyche;
dan bertindak seakan-akan benda atau individu tersebut adalah miliknya tanpa
memperhatikan apakah benda atau orang tersebut ada atau tidak ada. Hal ini
mengakibatkan orang yang melakukan introjeksi tidak bisa membedakan antara
“saya” dan “bukan saya” (Gilliland dkk, 1989:95).
2.
Projection
Proyeksi ini mempunyai arti suatu mekanisme pertahanan diri dimana
seseorang mengatribusikan motif-motif dalam dirinya kepada orang lain (Harper,
1981). Biasanya seseorang melakukan proyeksi ini dengan cara menuduh orang lain
melakukan atau menjadi apa yang sebenarnya diinginkannya.
Orang yang takut
mengatakan bahwa orang lain agresif, orang yang berpegang teguh pada norma
moral mengutuk pelanggaran susila anak-anak muda, orangtua menyerang anak-anak
muda yang berambut gondrong, dan menuduh mereka sebagai orang yang homoseksual
(Schultz, 1991). Orang yang melakukan proyeksi akut disebut sebagai paranoia
(Gilliland, 1989).
3.
Retroflection
Berisi tentang diri seseorang yang mempunyai keinginan untuk
menjadi sesuatu, tetapi dialihkan pada orang lain. Sebagai contoh, saat kita
mengalami kesakitan, kita seringkali mengarahkan agresi yang kita takuti itu
kepada orang lain. Agresi yang dilakukan untuk “menghilangkan” rasa sakit itu
dilakukan oleh seseorang dengan tidak sadar, dengan demikian perilaku itu jauh
dari kesadaran.
4.
Confluence
Suatu tingkatan kepribadian seseorang yang tidak dapat
mempratekkan lingkaran antara dirinya dengan lingkungan (mencakup orang lain);
atau suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat mentolerir perbedaan dengan
orang lain.
3.
Tujuan Konseling
Terapi Gestalt berusaha untuk membantu seseorang agar dapat
menerima dan memiliki kembali (reowning) suasana saat ini. Gestalt membantu
individu agar dapat berada dalam kondisi saat ini dan di sini (here and now).
Mereka bisa berpijak dalam suasana aman pada momen kehidupan sekarang.
Lebih lanjut, dikatakan
oleh Perls bahwa sasaran terapi adalah menjadikan klien tidak bergantung kepada
orang lain, menjadikan klien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan
banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya, dengan kata lain ajaran Perls
adalah kosongkan pikiran Anda dan
capailah kesadaran.
Dalam terapi Gestalt terdapat beberapa hal yang perlu kita
perhatikan terlebih dulu. Menurut terapi Gestalt seseorang dapat berhubungan
dengan permasalahannya secara efektif jika mereka mempergunakan kesadarannya
terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, klien diasumsikan
mempunyai kapasitas untuk mendukung dirinya sendiri serta mampu mengambil
tanggung jawab setelah menyelesaikan terapi. Untuk hal tersebut, Gestalt dalam
Corey (1986:122-126) mempergunakan beberapa istilah sebagaimana tersebut di
bawah ini.
Keadaan saat ini (the “Now”)
Dalam terapi Gestalt,
kondisi waktu yang diutamakan adalah kondisi saat ini (now). Dalam hal
ini terapi Gestalt mempunyai pandangan bahwa apa yang telah terjadi adalah masa
lalu dan apa yang akan terjadi itu belum tentu datang. Keadaan yang paling
signifikan dengan masalah klien adalah saat ini.
Urusan yang belum selesai (unfinished bussines)
Konsep lain dari terapi
Gestalt adalah adanya urusan yang belum selesai (unfinished bussines).
Keadaan ini mencakup beberapa perasaan yang tidak diekspresikan oleh seseorang
seperti marah, gusar, benci, sakit, cemas, menyesal, bersalah dan lainnya
(Corey, 1986). Selain itu, adanya urusan yang belum selesai ini akan muncul
jika seseorang mencegah atau mengacaukan keadaan yang menyeluruh tersebut.
Situasi tersebut harus segera diselesaikan agar tercipta keadaan paripurna atau
bulat (Schultz, 1991).
Penghindaran (avoidance)
Penghindaran ini sangat
erat kaitannya dengan urusan yang belum selesai, dimana seseorang mencoba untuk
menghindari urusan yang belum selesai. Dengan kata lain bahwa seseorang akan
berusaha untuk menghindarkan dirinya dalam menghadapi urusan yang belum selesai
dan dari suatu pengalaman emosi yang tidak mengenakkan (Corey, 1986:123). Lebih
lanjut, Perls berusaha untuk menghindari dari suatu pengalaman emosi yang
menyakitkan daripada membuat suatu perubahan yang perlu.
Lapisan Neurosis
Terapi Gestalt
bertujuan untuk membuat seseorang itu menjadi matang. Hanya saja, ada beberapa
hal (lapisan) yang dapat membuat seseorang itu terhambat untuk mencapai kematangan.
Perls dalam Corey (1986:124-125) menyebutkan lapisan-lapisan neurosis itu
adalah:
1.
Kebohongan (the phony)
Merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk bereaksi
terhadap perilaku atau kejadian lain yang menimpa dirinya. Biasanya hal ini
dilakukan dengan cara yang tidak sebenarnya (bohong). Pada saat seseorang
menyadari akaan kebohongan itu, maka pada saat itu pula mereka merasa tidak
enak atau merasa sakit.
2.
Ketakutan (the phobe)
Pada keadaan ini, seseorang merasa takut untuk menerima akibat
dari apa yang telah dilakukannya. Mereka menolak dan tidak dapat menerima
dirinya pada saat harus menghadapi kenyataan yang ada.
3.
Jalan buntu (the impasse)
Jalan buntu ini akan muncul pada saat seseorang tidak dapat
menerima kenyataan yang ada. Pada saat ini seseorang merasa bahwa dirinya tidak
dapat bertahan terhadap kejadian yang menimpanya. Seseorang yang berada dalam
keadaan tertutup pikirannya, seringkali merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa.
4.
Implosive
Pada keadaan seperti ini, seseorang akan mengatakan pada dirinya
sendiri. Mereka akan lebih banyak berbicara pada dirinya sendiri mengenal
ketidakmampuannya atau perasaan bahwa dia ingin mati.
5.
Meledak-ledak (the
explosive)
Pada saat ini seseorang akan menyalurkan seluruh tenaga yang telah
dipendamnya. Wujud dari eskplositas ini biasanya adalah marah, memukul,
membenci, dan lain sebagainya yang bersifat destruktif.
Kontak dan hambatan dalam kontak (contact and resistence to
contact)
Dalam terapi Gestalt,
kontak atau hubungan mempunyai peranan yang sangat penting. Jika seseorang
mengadakan kontak dengan lingkungannya, maka akan terjadi perubahan yang
diinginkan.
7.
PENGGUNAAN TEKNOLOGI
DALAMKONSELING
Pelayanan konseling yang berkembang saat
ini ternyata juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Ada
pergeseran nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan penggunaan
teknologi informasi dalam pelayanan konseling. Individu saat ini seakan tidak
memiliki waktu untuk datang ke ruang konseling. Mereka telah disibukkan dengan
permasalahan kerjanya, yang pada akhirnya mengesampingkan masalah-masalah
pribadinya.
Pelaksanaan konseling saat ini telah
mengalami perubahan-perubahan yang sangat berarti. Perubahan yang terjadi saat
ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi terutama teknologi
informasi. Perkembangan dunia komputer saat ini telah mencapai tahap yang
sangat canggih (sophisticated) dan dapat dinikmati oleh hamper seluruh
lapisan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa saat ini kita hidup dalam
masyarakat teknologi yang mempengaruhi kehidupan kita baik di kantor atau di
rumah (Hansen daalam Pelling, 2002:1).
Dampak perkembangan teknologi informasi
terhadap dunia konseling akan semakin tampak. Teknologi komputer dalam
pelayanan konseling dapat dpergunakan untuk konseling karier (pelling, 2002:2).
Teknologi dalam konseling karier berkaitan erat dengan data atau informasi yang
akurat dalam hubungannya membantu klien membuat keputusan pendidikan dan
kariernya (Harris & Bowlsbey dalam Pelling, 2002;2). Data atau informasi
yang dikumpulkan dapat diperoleh melalui World
Wide Web (www)
dimana “www” didefinisikan sebagai suatu sistem global dari jaringan komputer
yang dirangkai (linked) secara bersama dalam bentuk hypertext yang
memungkinkan pengguna untuk beralih dari satu website kewebsite yang
lain dalam waktu singkat atau melalui email di internet (Guerra dalam Pelling,
2002:3).
Pengenalan siswa terhadap email pada
akhirnya juga berdampak pada proses konseling. Klien seringkali enggan dating
ke ruang konseling, karena selama ini ruang konseling masih menjadi “momok”
bagi kebanyakan siswa. Untuk menjembatani ini, maka siswa atau klien dapat
memanfaatkan teknologi internet untuk melakukan konseling. Klien dapat mengirim
email kepada konselor untuk menyatakan permasalahan yang dimilikinya.
Selanjutnya konselor akan menjawab permasalahan klien tersebut sesuai dengan
kaidah-kaidah konseling.
Lebih lanjut, Offer dan Sampson yang
dikutip Sampson dkk (2005:3) menyatakan bahwa kegiatan konseling saat ini
bergantung pada informasi dan perubahan teknologi yang dikembangkan dalam
website yang ada di internet. Sehingga mereka menyatakan bahwa penggunaan
website untuk konseling memiliki lima fungsi yaitu:
1.
Menyalurkan klien ke layanan
lain sebagaimana yang ditawarkan oleh pusat layanan (off-line),
2.
Mengalihkan klien untuk
mengubah sumber daya yang ada dikarenakan terbatasnya sumber layanan,
3.
Menyediakan klien adanya jasa
on-line, seperti informasi dan penilaian, yang sesuai dengan kebutuhan spesifik
klien,
4.
Menyediakan klien suatu forum
untuk mendiskusikan konseling dan karier dengan para pemakai lain atau dengan
praktisi, dan
5.
Menyediakan klien suatu
pembelajaran jarak jauh yang dikombinasikan dengan jasa on-line atau sumber
pembelajaran yang lain.
Pelaksanaan konseling pada akhir-akhir ini
telah mempergunakan perangkat teknologi yang semakin canggih. Penggunaan ini
pada dasarnya menuntut konselor untuk dapat mengakses berbagai sumber yang
dapat dipergunakan untuk membantu mempertajam dan mengefektifkan siswa dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (VanZandt dan Hayslip, dalam Clark
& Stone, 2005:1).
Indiana State University – ISU dalam Hines
(2002:3) menyatakan beberapa manfaat penggunaan teknologi dalam konseling bagi
konselor adalah sebagai berikut:
1.
Menjadikan konselor sebagai
pribadi yang terlatih, efektif dan efisien dalam mempergunakan computer dan
internet.
2.
Menjadikan konselor sebagai
guru yang efektif dan fasilitator bagi guru, siswa dan orangtua yang memiliki
kepedulian terhadap pendidikan dan sumber-sumber informasi karier.
3.
Menjadikan konselor familier
terhadap trend penggunaan teknologi dalam pendidikan.
4.
Menjadikan konselor memiliki
kemampuan untuk mempergunakan sumber-sumber teknologi lain yang dapat
dipergunakan untuk melakukan proses konseling.
5.
Menjadikan konselor mampu
mengembangkan perencanaan penggunaan teknologi dalam konseling dalam jangka
waktu tertentu.
6.
Menjadikan konselor mampu
untuk mendesain, menciptakan, dan mengevaluasi efektivitas penggunaan internet
dalam konseling.
7.
Dapat melakukan evaluasi
program konseling secara obyektif.
8.
Dapat memahami legalitas dan
implikasi etik.
9.
Dapat memanfaatkan teknologi
secara efektif.
10.
Dapat mempergunakan teknologi
secara efektif dalam usaha pengelolaan dana dan sumber-sumber lain.
RANGKUMAN
1.
Definisi konseling
konvensional lebih bercirikan bahwa pelayanan konseling tidak menggunakan
teknologi informatika, sedangkan definisi konseling modern bercirikan suatu
pelayanan konseling dengan menggunakan teknologi informatika.
2.
Secara umum tujuan konseling
adalah agar klien dapat mengubah perilakunya kea rah yang lebih maju, melalui
terlaksananya tugas-tugas perkembangan secara optimal, kemandirian, dan
kebahagiaan hidup.
3.
Ciri-ciri konseling adalah
konseling sebagai profesi bantuan, sebagai hubungan pribadi, sebagai bantuan
intervensi, untuk masyarakat luas, dan sebagai pelayanan psikopedagogis.
4.
Fungsi konseling meliputi:
fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan, dan
advokasi.
5.
Prinsip-prinsip konseling
meliputi: prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan, permasalahan klien,
program pelayanan, dan tujuan pelaksanaan pelayanan.
6.
Asas-asas konseling, meliputi
asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan,
kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan, dan tutwuri
handayani.
7.
Teknik-teknik konseling, baik
verbal (dengan kata-kata) maupun nonverbal (dengan sikap) dalam proses
wawancara konseling, konselor harus mampu menggali perasaan dan pikiran
konseli.
8.
Terdapat lima teori konseling,
yaitu konseling berpusat pada klien, konseling sifat dan faktor, konseling
behavioristik, terapi emotif rasional, dan ekletik.
9.
Fase-fase untuk mengadakan
wawancara konseling meliputi: hubungan awal, penjelasan masalah, penggalian
masalah, penyelesaian masalah, hubungan akhir, dan tindak lanjut.
10.
Beberapa pendekatan konseling
yang lazim digunakan dalam membantu masalah anak adalah konseling pendidikan,
konseling vokasional, konseling keluarga dan perkawinan, konseling agama,
konseling rehabilitas, konseling individual, konseling kelompok, konseling
psikoanalisis, konseling behavior, konseling humanistic, konseling rasional
emotif behavior, konseling realitas, konseling gestalt, konseling traumatik,
konseling karir, konseling direktif, konseling nondirektif, konseling ekletif,
konseling kesehatan, konseling komunitas, terapi kognitif behavior, konfrensi
kasus,home visit, dan lain-lain.
11.
Konselor adalah seseorang yang
memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling dan sebagai tenaga
professional. Dalam kinerjanya, konselor dibekali dengan produk hokum yaitu
Permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Konselor.
12.
Klien adalah individu yang
memperoleh pelayanan konseling (peserta didik di sekolah, atau anggota
masyarakat di luar sekolah).
13.
Psikologi konseling adalah
sintesis dari berbagai kecenderungan yang berkaitan dalam gerakan bimbingan,
kesehatan mental, psikometri, kasus-kasus social, dan psikoterapi.
14.
Tujuan psikologi konseling,
untuk mengembangkan penggunaan teori-teori psikologi dalam layanan konseling
kepada klien. Teori-teori psikologi tersebut diantaranya teori psikologi
Freudian, teori psikologi Behavioristik, dan teori psikologi Humanistik.
15.
Manusia sehat menurut teori
psikoanalisis (psikologi Freudian/Sigmund Freud) adalah mereka yang dapat mengadakan
integrasi antara id dan ego. Sedangkan manusia tidak sehat adalah mereka yang
mempunyai mekanisme pertahanan diri.
16.
Manusia sehat dan tidak sehat
menurut aliran Behavioristik (J.B Watson/Skinner) tidak ada batasan yang jelas,
hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif (maladjustment)
adalah seperti perilaku adaptif,
yaitu dipelajari.
17.
Manusia sehat menurut Rational
Emotif Therapy (Albert Ellis) adalah mempunyai cirri memiliki kemampuan untuk
mengaktulisasikan diri. Sedangkan pribadi tidak sehat menunjukkan kesalahan
perilaku yang dimunculkan oleh seseorang lebih disebabkan karena pandangan yang
salah dari seseorang terhadap sesuatu.
18.
Manusia sehat menurut teori
Humanistik (Maslow), adalah mereka yang dapat mengaktulisasikan diri secara
penuh. Sedangkan pribadi yang tidak sehat adalah mereka yang mempunyai motivasi deficit.
19.
Pribadi sehat menurut Rogers
(Humanistik/Person Centered Therapy), bukan merupakan keadaan yang ada,
melainkan suatu proses. Sedangkan pribadi tidak sehat adalah mereka yang
mengalami ketaksejajaran antara konsep diri dengan kenyataan yang ada.
20.
Pribadi sehat menurut
Frederick (Humanistik/Gestlat Therapy), adalah mereka yang memiliki cirri
kepribadian: mampu mengatur diri sendiri, memiliki kematangan,
bertanggungjawab, memiliki keseimbangan diri. Sedang manusia tidak sehat adanya
kesenjangan akan kesadaran, kesenjangan akan tanggungjawab, kehilangan kontak
dengan lingkungan, tidak mampu menyelesaikan tugas, tidak memiliki kebutuhan,
dan melakukan dikotomi pribadi.
Kegiatan
konseling saat ini bergantung pada informasi dan perubahan teknologi yang
dikembangkan dalam website yang ada di internet, banyak manfaat yang akan
didapat bagi konselor dan konseli.
No comments:
Post a Comment
you say