IBX5A82D9E049639

Sunday, 22 April 2018

TERAPI MODALITAS KEPERAWATAN “REALITY THERAPY”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat.
Reality therapy berbeda dengan psikiatri konvensional dan psikoanalisis dimana  fokus  pada  apa  yang disebut  Glasser dengan tiga  R yaitu Realisme, Responsibility dan Right atau Wrong, tidak  melalui fokus pada gejala-gejala dari gangguan mental (Glasser, 1990).
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena, dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengondisian operan yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser meraih popularitas adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak berbelit-belit. Terapi Realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut Terapi Realitas, akan sangat berguna apabila menganggap idenntitas dalam pengertian “ identitas keberhasilan “ lawan “ identitas kegagalan“. Dalam pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan. Keterlibatan dengan orang lain dan dengan bayangan diri, yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil.
Maka jelaslah bahwa Terapi Realitas tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang telah ditetapkannya

B.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari terapi realita
2.      Untuk mengetahui tujuan terapi realitas
3.      Untuk mengetahui proses konseling terapi realitas
4.      Untuk mengetahui teknik-teknik dalam konseling terapi realitas
5.      Untuk mengetahui cara pengambilan keputusan model terapi realitas
6.      Untuk mengetahui kebaikan dan kelemahan terapi realitas
7.      Untuk mengetahui ciri- ciri terapi realitas
8.      Untuk mengetahui fungsi dan peranan terapis
9.      Untuk mengetahui indikasi terapi realita
10.  Untuk mengetahui tahap-tahap konseling realitas





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Reality therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi  dan konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960, reality therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy (Seligman  L & Reichenberg, 2010).
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat
Reality  therapy yang  dicetuskan oleh  William  Glasser  ini didasarkan pada  teori  yang menekankan  bahwa  manusia  merupakan  makhluk  sosial  dan setiap perilaku yang  dikerjakan  ada  tujuannya. Oleh  karena  itu  manusia tergantung  dari  perilaku  mereka  sendiri  dan  bukan  karena keluarga mereka, lingkungan  mereka  atau  konflik  saat usia anak-anak. Sebaliknya  perilaku dipandang   sebagai   pilihan, dan penggunaan secara luas untuk terapi konseling, evaluasi  serta  pendidikan dimana reality  therapy berusaha  untuk menghindari  pemaksaan dan hukuman serta mengajarkan tanggung jawab (Wubbolding, 2002).

B.     Tujuan Terapi Realitas
1.      Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2.      Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.      Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.      Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.      Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.

C.    Proses Konseling Terapi Realitas
Konselor berperan sebagai:
1.      Motivator, yang mendorong konseli untuk:
a.       menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan
b.      merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkan dirinya sendiri.
2.      Penyalur tanggung jawab, sehingga:
a.       keputusan terakhir berada di tangan konseli
b.      konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
c.       Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya  akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
d.      Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
e.       Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya

D.    Teknik-Teknik Dalam Konseling Terapi Realitas
1.      Menggunakan role playing dengan konseli
2.      Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
3.      Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4.      Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5.      Membuat model- model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6.      Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
7.      Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
8.      Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.






E.     Cara Pengambilan Keputusan Model Terapi Realitas
Berdasarkan pemikiran tersebut maka signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam pelayan konseling , antara lain:
1.      Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling. Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna, pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak signifikan.
Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh Tuhan. Perubahan perilaku ditekankan agar orang percaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi.
2.      Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah. Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu dalam pelayanan konseling bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk Bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon pengampunan dan tidak menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku keberdosaannya
3.      Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi Realitas menolak mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi kenyataan sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman buruk di masa lampau . Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini, acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
4.      Terapi Realitas menolak alasan pembenaran terhadap perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling. Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus ditolak. Contoh,seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumah tangga sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
5.      Pemikiran Terapi Realitas yang memfokuskan upaya pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk menyekolahkan anak - anaknya kerap tidak mau menerima dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain (donatur,dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang lain.
6.      Melalui Terapi Realitas konseli dibantu untuk merubah cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
7.      Oleh karena Terapi Realitas juga menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling nouthetis sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa. Konfrontasi diharapkan dapatmengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.

F.     Kebaikan dan Kelemahan Terapi Realitas
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kebaikan dan kelemahannya sebagai berikut:
a.       Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan Therapy Realita ,secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b.      Manusia hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Tuhan.
c.       Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting.
d.      Manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius . Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.

G.    Ciri- Ciri Terapi Realitas
Dalam menentukan terapi realitas, sekurang-kurangnya ada delapan ciri untuk menentukan, yaitu:
1.      Terapi realitas menolak tentang konsep penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkahlaku yang sepesifik adalah akibat dari tidak bertanggung jawaban.
2.      Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Juga terapi realitas tidak bergantung pada pemahman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
3.      Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak dapat dirubah, maka yang bisa dirubah untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
4.      Terapi realtas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Ia menempatkan pokok kepentingan pada peran klien dalam menilai kualitas tingkahlakunya sendiri dalam menentukan apa yang membuat kegagalan yang dialaminya. Jika klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadi perubahan positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik dari pada gaya mereka sekarang yang tidak relatif.
5.      Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realita menghimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memerankan peran sebaagai ayah atau ibu klien.
6.      Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketidak sadaran. Terapi realita menekankan pada kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak dapat mendapatkan yang diinginkannya, dan bagai mana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkahlaku yang berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realitis.
7.      Terapi realitis menghapus hukum. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukum guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana melakukan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik. Glasser menganjurkan membiarkan mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah lakunya.
8.      Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara yang tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.

H.    Fungsi dan Peranan Terapis
Tugas dasar terapis adalah melibatkan diri dengan klien, dan membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien, dia memaksa mereka itu untuk memutus apakah mereka akan atau tidak akan menempuh “jalan yang bertanggung jawab”. Terapis tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para klien, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis bertindak sebagai pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkahlakunya sendiri.
Terapis harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungan dengan klien. Ia harus mengajari klien bahwa tujuan terapi tidak diarahkan kebahagiaan. Terapi realitas berasumsi bahwa klien bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri dan kunci utama menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu terapis tidak menerimapengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan klien menyalahkan apa pun atau siapapun di luar dirinya atas ketidak bahagiaannya pada saat sekarang.



I.       Indikasi Terapi Realita
a.       Klien dengan diagnosa halusinasi
b.      Klien dimensia
c.       Klien yang kebingungan
d.      Klien yang tidak kenal dirinya
e.       Klien yang salah mengenal orang lain, tempat, dan waktu.

J.      Tahap-Tahap Konseling Realitas
Proses konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson, et. Al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahap dalam Konseling Realita.
a.       Tahap 1: Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)
Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubunganyang sedang di bangun, konselor harus dapat melibatkan diri pada konseli dengan memperlibatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia menjani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif.
b.      Tahap 2: Fokus pada Perilaku Sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan pada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut.
c.       Tahap 3: Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita; akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.
d.      Tahap 4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada tahap ini, respon-respon konselor diantaranya menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realitas, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau dapat terjadi/dicapai , bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, dll.
e.       Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak meyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dan permasalahan yang sedang dihadapinya.
f.        Tahap 6: Membuat komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
g.      Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanaknnya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan.
h.      Tahap 8: Tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Reality therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi  dan konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960, reality therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy (Seligman  L & Reichenberg, 2010).
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Latipun. 2006. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press
Gantina. Eka dan Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks
Corey, Gerlad. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco, 1988
Gunarsa, Singgih D., Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Palmer, Stephen, Konseling dan Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

No comments:

Post a Comment

you say