BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang
difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model
serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan
dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah penerimaan
tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser
mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri konvensional
sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang
menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu
orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan
psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan,
pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat.
Reality therapy berbeda dengan psikiatri
konvensional dan psikoanalisis dimana
fokus pada apa
yang disebut Glasser dengan
tiga R yaitu Realisme, Responsibility
dan Right atau Wrong, tidak melalui
fokus pada gejala-gejala dari gangguan mental (Glasser, 1990).
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi
tingkah laku karena, dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe
pengondisian operan yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser meraih
popularitas adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep
modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak
berbelit-belit. Terapi Realitas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan
psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas
yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan
ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika tingkah
laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut Terapi
Realitas, akan sangat berguna apabila menganggap idenntitas dalam pengertian “
identitas keberhasilan “ lawan “ identitas kegagalan“. Dalam pembentukan
identitas, masing-masing dari kita mengembangkan. Keterlibatan dengan orang
lain dan dengan bayangan diri, yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau
tidak berhasil.
Maka jelaslah bahwa Terapi Realitas tidak
berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas
asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini
menyiratkan bahwa konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri.
Tampaknya, orang menjadi apa yang telah ditetapkannya
B.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari terapi realita
2. Untuk
mengetahui tujuan terapi realitas
3. Untuk
mengetahui proses konseling terapi realitas
4. Untuk
mengetahui teknik-teknik dalam konseling terapi realitas
5. Untuk
mengetahui cara pengambilan keputusan model terapi realitas
6. Untuk
mengetahui kebaikan dan kelemahan terapi realitas
7. Untuk
mengetahui ciri- ciri terapi realitas
8. Untuk
mengetahui fungsi dan peranan terapis
9. Untuk
mengetahui indikasi terapi realita
10. Untuk
mengetahui tahap-tahap konseling realitas
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Reality
therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi
dan konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960, reality
therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy (Seligman L & Reichenberg, 2010).
Terapi
Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang.
Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan
cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Inti Terapi Realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan
dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari
keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai
suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling,
pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga,
perkembangan masyarakat
Reality therapy yang
dicetuskan oleh William Glasser
ini didasarkan pada teori yang menekankan bahwa
manusia merupakan makhluk
sosial dan setiap perilaku
yang dikerjakan ada
tujuannya. Oleh karena itu
manusia tergantung dari perilaku
mereka sendiri dan
bukan karena keluarga mereka,
lingkungan mereka atau
konflik saat usia anak-anak.
Sebaliknya perilaku dipandang sebagai
pilihan, dan penggunaan secara luas untuk terapi konseling, evaluasi serta
pendidikan dimana reality therapy
berusaha untuk menghindari pemaksaan dan hukuman serta mengajarkan
tanggung jawab (Wubbolding, 2002).
B.
Tujuan
Terapi Realitas
1. Menolong
individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong
konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada,
sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan
rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
4. Perilaku
yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang
dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk
mengubahnya sendiri.
5. Terapi
ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran
sendiri.
C.
Proses
Konseling Terapi Realitas
Konselor berperan sebagai:
1.
Motivator, yang mendorong konseli untuk:
a.
menerima dan memperoleh keadaan
nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan
b.
merangsang klien untuk mampu
mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup
selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkan dirinya sendiri.
2.
Penyalur tanggung jawab, sehingga:
a.
keputusan terakhir berada di tangan
konseli
b.
konseli sadar bertanggung jawab dan
objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
c.
Moralist; yang memegang peranan
untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya.
Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas
perilakunya, sebaliknya akan memberi
celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
d.
Guru; yang berusaha mendidik konseli
agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
e.
Pengikat janji (contractor); artinya
peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang
lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya
D. Teknik-Teknik Dalam Konseling Terapi
Realitas
1.
Menggunakan role playing dengan
konseli
2.
Menggunakan humor yang mendorong
suasana yang segar dan relaks
3.
Tidak menjanjikan kepada konseli
maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan
perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
4.
Menolong konseli untuk merumuskan
perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5.
Membuat model- model peranan terapis
sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
6.
Membuat batas-batas yang tegas dari
struktur dan situasi terapinya
7.
Menggunakan terapi kejutan verbal
atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya
yang tak pantas.
8.
Ikut terlibat mencari hidup yang
lebih efektif.
E. Cara Pengambilan Keputusan Model
Terapi Realitas
Berdasarkan pemikiran tersebut maka
signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam pelayan
konseling , antara lain:
1.
Perubahan perilaku. Glasser
beranggapan bahwa perilaku yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli
sebagai penyebab gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling.
Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk percaya pada
kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang bertanggungjawab yang akan
menyediakan baginya makna, pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai
penuntun kepada hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan
dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia tidak
bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk mempertahankan diri terhadap
rasa tidak aman dan tidak signifikan.
Kebutuhan
akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh Tuhan.
Perubahan perilaku ditekankan agar orang percaya tidak menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi.
2.
Berpatokan pada nilai benar dan
salah. Konseling terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan
dewasa ini harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah.
Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu
dalam pelayanan konseling bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh
masalah etika dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk Bertanggung
jawab dengan memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang
dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon
pengampunan dan tidak menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk
melanjutkan perilaku keberdosaannya
3.
Pengalaman masa lalu konseli tidak
boleh dijadikan alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi Realitas
menolak mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal
ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi
kenyataan sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma
bisa dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman
buruk di masa lampau . Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan
kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan
bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam
diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan
baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak
seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun
begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu
(past life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia
dini, acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang
konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh
perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
4.
Terapi Realitas menolak alasan
pembenaran terhadap perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian
dalam konseling. Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding
orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus
ditolak. Contoh,seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak
selayaknya menggunakan alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak
boleh menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumah tangga
sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
5.
Pemikiran Terapi Realitas yang
memfokuskan upaya pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima
keterbatasan dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai
contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk
menyekolahkan anak - anaknya kerap tidak mau menerima dirinya sebagai orang
yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia akan menolak bantuan yang diberikan
dengan tulus oleh pihak lain (donatur,dll.) terhadap dirinya atau keluarganya.
Konseli seperti ini perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri
sendiri dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang
lain.
6.
Melalui Terapi Realitas konseli
dibantu untuk merubah cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan
kukuh. Cara berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung
menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita
acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan
sebagainya.
7.
Oleh karena Terapi Realitas juga
menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling nouthetis
sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan
dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa. Konfrontasi
diharapkan dapatmengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia mengubah perilaku
berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.
F. Kebaikan dan Kelemahan Terapi Realitas
Berdasarkan hasil kajian dan
pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kebaikan dan kelemahannya
sebagai berikut:
a.
Konsep konseling tentang hakikat
manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan Therapy Realita ,secara
umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi
yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b.
Manusia hakikatnya tidak hanya
sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk
religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu
atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Tuhan.
c.
Satu hal yang berbeda secara
mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang
dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber
penentu kepribadian adalah insting.
d.
Manusia itu pada hakikatnya adalah
makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial,
dan makhluk religius . Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga
komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial
selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
G. Ciri- Ciri Terapi Realitas
Dalam
menentukan terapi realitas, sekurang-kurangnya ada delapan ciri untuk
menentukan, yaitu:
1.
Terapi realitas menolak tentang
konsep penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkahlaku
yang sepesifik adalah akibat dari tidak bertanggung jawaban.
2.
Terapi realitas berfokus pada
tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap.
Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting,
terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Juga terapi
realitas tidak bergantung pada pemahman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi
menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
3.
Terapi realitas berfokus pada saat
sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah
tetap dan tidak dapat dirubah, maka yang bisa dirubah untuk masa sekarang dan
masa yang akan datang.
4.
Terapi realtas menekankan
pertimbangan-pertimbangan nilai. Ia menempatkan pokok kepentingan pada peran
klien dalam menilai kualitas tingkahlakunya sendiri dalam menentukan apa yang
membuat kegagalan yang dialaminya. Jika klien menjadi sadar bahwa mereka tidak
akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak
diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadi perubahan positif,
semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih
baik dari pada gaya mereka sekarang yang tidak relatif.
5.
Terapi realitas tidak menekankan
transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi
sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi
terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realita menghimbau agar
para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi
diri sendiri, tidak memerankan peran sebaagai ayah atau ibu klien.
6.
Terapi realitas menekankan
aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketidak sadaran. Terapi realita
menekankan pada kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku
klien sekarang hingga dia tidak dapat mendapatkan yang diinginkannya, dan bagai
mana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkahlaku yang berhasil yang
berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realitis.
7.
Terapi realitis menghapus hukum.
Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukum guna mengubah tingkah laku tidak
efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana
melakukan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan
terapeutik. Glasser menganjurkan membiarkan mengalami konsekuensi-konsekuensi
yang wajar dari tingkah lakunya.
8.
Terapi realitas menekankan tanggung
jawab, yang oleh Glasser didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara yang tidak mengurangi
kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.
H. Fungsi dan Peranan Terapis
Tugas dasar
terapis adalah melibatkan diri dengan klien, dan membuatnya menghadapi
kenyataan. Glasser merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien, dia
memaksa mereka itu untuk memutus apakah mereka akan atau tidak akan menempuh
“jalan yang bertanggung jawab”. Terapis tidak membuat pertimbangan-pertimbangan
nilai dan putusan-putusan bagi para klien, sebab tindakan demikian akan
menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis bertindak
sebagai pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkahlakunya
sendiri.
Terapis
harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungan dengan
klien. Ia harus mengajari klien bahwa tujuan terapi tidak diarahkan
kebahagiaan. Terapi realitas berasumsi bahwa klien bisa menciptakan
kebahagiaannya sendiri dan kunci utama menemukan kebahagiaan adalah penerimaan
tanggung jawab. Oleh karena itu terapis tidak menerimapengelakan atau
pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan klien menyalahkan apa
pun atau siapapun di luar dirinya atas ketidak bahagiaannya pada saat sekarang.
I. Indikasi Terapi Realita
a.
Klien dengan diagnosa halusinasi
b.
Klien dimensia
c.
Klien yang kebingungan
d.
Klien yang tidak kenal dirinya
e.
Klien yang salah mengenal orang
lain, tempat, dan waktu.
J. Tahap-Tahap Konseling Realitas
Proses
konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis,
Thompson, et. Al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahap dalam Konseling
Realita.
a.
Tahap 1: Konselor Menunjukkan
Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)
Pada tahap
ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh
perhatian pada hubunganyang sedang di bangun, konselor harus dapat melibatkan
diri pada konseli dengan memperlibatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang
terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab konseli akan
terbuka dan bersedia menjani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya
terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang
positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif.
b.
Tahap 2: Fokus pada Perilaku
Sekarang
Setelah
konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan pada
konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan
eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia
rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi
tersebut.
c.
Tahap 3: Mengeksplorasi Total
Behavior Konseli
Menanyakan
apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifik
apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita; akar
permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada
perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia
mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang
harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi apa saja yang telah dilakukannya
untuk menghadapi ujian.
d.
Tahap 4: Konseli Menilai Diri
Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki
tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya
tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing
konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli
untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada tahap
ini, respon-respon konselor diantaranya menanyakan apakah yang dilakukan
konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai
benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah
ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli
apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli
saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal
tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realitas, apakah
benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau
dapat terjadi/dicapai , bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, dll.
e.
Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang
Bertanggungjawab
Tahap ketika
konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak meyelesaikan masalah, dan tidak
cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan
yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan
konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dan permasalahan
yang sedang dihadapinya.
f.
Tahap 6: Membuat komitmen
Konselor
mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
g.
Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan
Maaf atau Alasan Konseli
Konseli akan
bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati bersama.
Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli.
Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanaknnya,
permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor.
Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut
dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya
membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan.
h.
Tahap 8: Tindak lanjut
Merupakan
tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan
yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah
ditetapkan belum tercapai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reality
therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi
dan konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960,
reality therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy (Seligman L & Reichenberg, 2010).
Terapi
Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang.
Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan
cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas
adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan
mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri
konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi
Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang
untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas keberhasilan “,
dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling
perkawinan, pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Latipun. 2006. Psikologi Konseling.
Malang: UMM Press
Gantina. Eka dan Karsih. 2011. Teori
dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks
Corey, Gerlad. Teori dan Praktik
Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco, 1988
Gunarsa, Singgih D., Konseling dan
Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Palmer, Stephen, Konseling dan
Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
No comments:
Post a Comment
you say