IBX5A82D9E049639

Sunday, 22 April 2018

PENDEKATAN KONSELING


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konselor dalam menangani suatu masalah, tidak akan dapat terlepas dari pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam proses konseling. Tanpa didukung oleh penguasaan pendekatan konseling yang memadai, bantuan yang diberikan konselor kepada konseli tidak akan berjalan efektif.
Pendekatan konseling ini muncul seiring dengan perkembangan kehidupan yang semakin kompleks, sibuk, dan terus berubah. Hal tersebut membuat beberapa masalah, khususnya dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan, khususnya di sekolah masalah-masalah yang muncul banyak dialami oleh siswa, misalnya masalah belajar, masalah pribadi, masalah sosial, maupun masalah psikologis siswa. Hal tersebut membuat beberapa masalah yang dapat menggangu proses pendidikan itu sendiri. Selain itu masalah tersebut jika tidak dapat diatasi dengan baik, benar dan tepat oleh seorang konselor, maka dapat menghambat perkembangan kehidupan siswa itu sendiri.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam dunia pendidikan, salah satu di antaranya adalah dengan mencari dan memberikan solusi pada siswa itu sendiri. Permasalahan-permasalahan dalam pendidikan tiap sekolah bahkan tiap anak berbeda-beda, oleh karena itu dibutuhkan solusi yang berbeda pula. Sehingga beberapa pendekatan tentang konseling ini bermunculan. Praktik konseling tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, maka dari itu muncul istilah konselor. Konselor memberikan solusi pada masalah-masalah yang diharapkan dapat membantu dalam dunia pendidikan.
Pengertian pendekatan menurut istilah bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2002) adalah (1) proses, perbuatan, cara mendekati; (2) usaha dalam rangka aktivitas  penelitian untuk mengadakan hubungan  dengan yang diteliti. Memahami tentang pengertian pendekatan itu sendiri, maka penerapan pendekatan dalam proses konseling adalah proses perbuatan seseorang (konselor) untuk berhubungan dengan konseli yang dilakukan  secara dekat dalam rangka untuk menggali permasalahan dengan metode yang terencana secara cermat agar memperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan. Sangat urgen kiranya seorang konselor memahami pendekatan konseling ini untuk kemudian dapat mengaplikasikannya di sekolah. Oleh karena itu, sebagai calon konselor penulis tertarik membahas pendekatan-pendekatan konseling dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana pendekatan behavioral dalam konseling?
2.      Bagaimana pendekatan psikoanalisis dalam konseling?
3.      Bagaimana pendekatan kognitif dalam konseling?
4.      Bagaimana pendekatan humanistik dalam konseling?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
1.      Agar mahasiswa memahami pendekatan behavioral dalam konseling.
2.      Agar mahasiswa memahami pendekatan psikoanalisis dalam konseling.
3.      Agar mahasiswa memahami pendekatan kognitif dalam konseling.
4.      Agar mahasiswa memahami pendekatan humanistik dalam konseling.









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendekatan Behavioral
1.      Pandangan Tentang Manusia
Behavioral merupakan pendekatan klinis yang dapat digunakan untuk menangani bermacam-macam gangguan, dalam bermacam-macam setting khusus, dan dengan bermacam-macam kelompok populasi (Sugianto, 2014). Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku manuisa yang menekankan pada pentingnya pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling (Rosjidan dalam Komalasari, dkk., 2011: 152). Sedangkan pengertian behavioral/ behavioral itu sendiri adalah suatu pandangan teoritis yang beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas (Chaplin, 2002: 54). Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari dan proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar (Rosjidan dalam Komalasari, dkk., 2011: 152).
2.      Konsep Dasar Konseling Behavioral
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya (Sudrajat, 2008).
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku (Komalasari, dkk., 2011: 154).
Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling (Sudrajat, 2008).
3.      Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Adapun asumsi tingkah laku bermasalah menurut pandangan behavioral adalah sebagai berikut (Sudrajat, 2008) :
a.       Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
b.      Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
c.       Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
d.      Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
4.      Tujuan Konseling
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli, yang diantaranya untuk (Komalasari, dkk, 2011: 156):
a.       Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
b.      Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif.
c.       Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari.
d.      Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
e.       Konseli belajar perlaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif, memperkuat seta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
f.        Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
5.      Deskripsi Proses Konseling Behavioral
Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut. Konselor aktif (Sudrajat, 2008):
a.       Merumuskan masalah yang dialami konseli dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atau tidak.
b.      Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling.
c.       Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
6.      Deskripsi langkah-langkah Konseling Behavioral
Menurut Rosjidan (dalam Komalasari, 2011: 157) konseling behavioral memiliki empat tahap yaitu:
a.       Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan konseli (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong konseli untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
b.      Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan konseli menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan konseli mendifinisikan masalah yang dihadapi konseli; (b) Konseli mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan konseli mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan konseli : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan konseli; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d) kemungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan konseli membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
c.       Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
d.      Evaluation-termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
7.      Teknik-Teknik Konseling Behavioral
Beberapa teknik konseling behavioral adalah sebagai berikut (Sugianto, 2014)
a.       Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih konseli yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
b.      Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan konseli dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan konseli untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
c.       Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan konseli agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
d.      Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada konseli, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada konseli tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.


B.       Pendekatan Psikoanalisis
1.      Pandangan Tentang Manusia
Aliran Freud memandang manusia sebagai makhluk deterministik. Menurut Freud, tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional, motivasi bawah sadar (unconsciousness motivation), dorongan (drive) biologis dan insting, serta kejadian psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan. Instink merupakan pusat dari pendekatan yang dikembangkan Freud. Walaupun pada dasarnya menggunakan istilah libido yang mengacu pada energy seksual, ia mengembangkan istilah ini  menjadi energi seluruh instink kehidupan. Insting-insting ini bertujuan sebagai pertahanan hidup dari individu dan manusia, berorientasi pada pertumbuhan , perkembangan dan kreativitas. Freud juga mengemukakan manusia memiliki insting mati (death instincts), yaitu insting yang berhubungan dengan dorongan agresif (aggressive drive) dan insting hidup (life instincts) (Komalasari, dkk., 2011: 59).
2.      Konsep Dasar Konseling Psikoanalasis
Manusia memiliki gambaran jiwa yang dapat dianalogikan seperti gunung es (Corey dalam Komalasari, dkk., 2011: 61). Kesadaran (consciousness) yaitu berisikan ide-ide atau hal-hal yang disadari. Prakesadaran (subconciousness) yaitu berisikan ide-ide atau hal-hal yang tidak disadari yang sewaktu-waktu dapat dipanggil  ke kesadaran. Ketidaksadaran (unconsciousness) yaitu berisikan dorongan-dorongan yang sebagian besar sudah ada  sejak lahir yaitu dorongan seksual dan agresi dan sebagian lagi berasal dari pengalaman masa lalu yang pernah terjadi pada tingkat kesadaran dan bersifat traumatis, sehingga perlu ditekan dan dimasukan dalam ketidaksadaran (Komalasari, dkk., 2011: 61).
Menurut pandangan psikoanalasis (dalam Komalasari, dkk., 2011: 62) struktur atau organisasi kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu sebagai berikut:


a.       Id
Id merupakan sistem utama kepribadian. Id merupakan aspek biologis yang mempunyai energi  yang dapat mengaktifkan ego dan superego. Id berisi segala sesuatu yang secara psikologis diturunkan, telah ada sejak lahir termasuk insting yaitu insting mempertahankan hidup (life instinct) merupakan dorongan seksual atau libido dan dorongan  untuk mati (death instinct) merupakan dorongan agresi (marah, menyerang orang lain, berkelahi). Dorongan-dorongan untuk memuaskan hawa nafsu manusia berrsumber dari id. Energi yang meningkat dari id sering menimbulkan ktegangan dan rasa tidak enak. Id tidak dapat mentolerir peningkatan energy yang dirasakan sebagai suatu ketegangan pada diri seseorang. Id memiliki prinsip kenikmatan (pleasure principle). Id akan berusaha menyalurkan ketegangan dengan segera dan mengembalikan keseimbangan agar kembali pada keadaan tenang dan menenangkan.
b.      Ego
Ego merupakan bagian yang memiliki kontak dengan realitas  dunia luar. Ego bertindak sebagai eksekutif yang mengatur, mengontrol, dan meregulasi kepribadian. Ego dapat dianalogikan sebagai polisi lalu lintas (traffic cop) untuk id, superego dan dunia. Tugas utama ego adalah memediasi antara insting dan lingkungan sekitar. Ego berfungsi untuk mewujudkan kebutuhan pada dunia nyata  dan mampu membedakan apa yang ada pada dalam diri dan luar diri yang disebut dengan proses sekunder.
c.       Superego
Superego berperan sebagai pengatur agar ego bertindak sesuai moral masyarakat. Super ego merupakan perwujudan nilai-nilai dan prinsip moral serta cita-cita tradisional masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa super ego berfungsi merintangi dorongan seksual dan agresifitas yang bertentangan dengan moral dan agama.
System Id, Ego dan Superego saling berinteraksi. Jika Ego gagal menyalurkan kehendak Id menurut batasan realita dan nilai-nilai moral, ia akan dihukum dengan kecemasan. Menurut Freud terdapat tiga kecemasan yang dapat dialami individu yaitu kecamasan realitas, kecemasan moral dan kecemasan neurotik.
3.      Perkembangan Kepribadian
Psikoanalisis memiliki pendekatan yang unik dalam melihat perkembangan kepribadian manusia. Freud mengemukakan perkembangan psikoseksual yang merupakan dasar pemahaman terhadap permasalah yang dialami oleh konseli. Dalam pendekatan psikoanalisis terdapat lima fase perkembangan psikoseksual yaitu (Komalasari, dkk., 2011: 69):
a.       Fase oral (0-1 tahun) organ pertama yang menjadin daerah erogen adalah mulut, maka perkembangan seksual itu dimulai pada fase oral. Anak  memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber pada mulutnya melalui menghisap dan menggigit.
b.      Fase anal (1-3 tahun) organ kedua yang menjadi daerah erogen adalah anus, dan perkembangan seksual normal pindah dari fase oral ke fase anal.  pusat kenikmatan terletak pada daerah anus yaitu melalui menahan dan mengeluarkan terutama pada saat buang air besar.
c.       Fase phallic (3-5 tahun) dimana anak mulai memindahkan pusat kepauasan pada daerah kelamin, anak mulai tertarik perbedaan anatomi laki-laki dan perempuan serta pembentukan identitas seksual. Pada anak laki-laki masa phallic ini dikenal sebagai oedipus complex yang menempatkan ibu sebagai objek cinta bagi anak-anak lakinya. Sedangkan pada anak perempuan masa phallic disebut juga dengan electra complex dimana anak perempuan mencari cinta dan penerimaan ayah.
d.      Fase laten (5-12 tahun) selama periode ini berbagai kekangan seksual berkembang. Salah satu meksnisme yang digunakan untuk mengalihkan energi seksual disebut sublimasi atau pemindahan libido kepencarian tujuan dan buaya baru. Faase ini juga disebut sebagai masa tenang dimana minat seksual digantikan oleh minat pada sekolah, teman bermain, olahraga dan berbagai aktifitas yang baru bagi anak.
e.       Fase genital (12 tahun ke atas)
Pada tahap ini dimulai pada saat mestruasi atau pubertas, diaman alat-alat reproduksi seksual mulai matang dan energi psikis libido diarahkan untuk hubungan heteroseksual.
4.      Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Pribadi yang tidak sehat/ tingkah laku bermasalah menurut pendekatan psikoanalisis adalah pribadi yang tidak bisa mengontrol sistem id, ego dan superego (Sudrajat, 2008).
5.      Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling dalam pola pikir psikoanalisis adalah membuat kesadaran hal-hal yang tidak disadari konseli. Hal-hal yang terdapat level ketidaksadaran dibawa ke level kesadaran. Ketika hal-hal yang telah ditekan di alam ketidaksadaran dimunculkan kembali, maka masalah tersebut dapat diatasi secara lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode (Thompson dalam Komalasari, 2011: 77).
6.      Deskripsi Proses Konseling Psikoanalisis
Adapun dalam proses konseling psikoanalisis konselor memiliki fungsi sebagai berikut (Sudrajat, 2008):
a.       Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
b.      Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal konseli, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga konseli dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis (Sudrajat, 2008).
7.      Deskripsi langkah-langkah Konseling Psikoanalisis
a.       Menciptakan hubungan kerja dengan konseli.
b.      Tahap krisis bagi konseli yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.
c.       Tilikan terhadap masa lalu konseli terutama pada masa kanak-kanaknya.
d.      Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri.
e.       Pengembangan hubungan transferensi konseli dengan konselor.
f.        Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
g.      Menutup wawancara konseling (Sudrajat, 2008).
8.      Teknik-Teknik Konseling Psikoanalisis
Adapun teknik-teknik konseling psikoanalisis adalah (Komalasari, dkk., 2011: 78):
a.       Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan konseli untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga konseli mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Konseli diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar konseli mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.
b.      Analisis mimpi, konseli diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
c.       Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan konseli, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi konseli. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar konseli tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
d.      Analisis resistensi, resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan konseli terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian konseli untuk menafsirkan resistensi
e.       Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, konseli diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh konseli dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya konseli bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.

C.      Pendekatan Kognitif
1.      Pandangan Tentang Manusia
Pendekatan kognitif adalah konseling yang berfokus pada wawasan yang menekankan pengakuan dan mengubah pikiran negatif dan keyakinan maladaptif. Inti dari Konseling kognitif kognitif didasarkan pada alasan teoritis bahwa cara manusia merasa dan berperilaku ditentukan oleh bagaimana mereka memandang dan menstruktur pengalaman mereka (Corey, 2009). Menurut Weishaar (dalam Corey, 2009) asumsi teoritis konseling kognitif adalah 1) bahwa komunikasi internal manusia dapat diakses oleh introspeksi, 2) bahwa kepercayaan konseli memiliki makna yang sangat pribadi, dan 3) bahwa makna ini dapat ditemukan oleh konseli daripada yang diajarkan atau ditafsirkan oleh konseli. DeRubeis & Beck (dalam Corey, 2009) menyatakan bahwa teori dasar konseling kognitif adalah untuk memahami hakikat dari peristiwa emosional atau gangguan perilaku adalah mutlak untuk fokus pada isi kognitif dari reaksi individu. Tujuannya adalah untuk mengubah cara konseli berpikir dengan menggunakan pikiran-pikiran otomatis mereka untuk mencapai skema inti dan mulai memperkenalkan gagasan restrukturisasi skema. Hal ini dilakukan dengan mendorong konseli untuk mengumpulkan dan mempertimbangkan bukti untuk mendukung keyakinan mereka.
2.      Pribadi Sehat dan Bermasalah
Pribadi yang sehat adalah individu yang sadar akan kognisinya dimana individu tersebut dapat menguji hipotesis secara sistematis dan jika individu menemukan asumsi-asumsi yang tidak tepat, mereka segera dapat menggantinya dengan keyakinan yang lebih fungsional yang mengarahkan pada pembentukan emosi dan perilaku yang lebih positif. Sebaliknya untuk pribadi yang dikatakan bermasalah adalah individu yang tidak dapat menguji hipotesis secara sistematis,  tidak mampu menemukan asumsi-asumsi yang tidak tepat sehingga emosi dan perilakunya cenderung negatif (Seligman, 2006).
3.      Tujuan Konseling
Menurut Sharf (dalam wahyu, 2014) tujuan dasar dari konseling kognitif adalah untuk menghilangkan bias atau distorsi dalam berpikir sehingga individu dapat berfungsi lebih efektif. Distorsi kognitif konseli ditantang, diuji, dan dibahas untuk membawa perasaan, perilaku, dan pemikiran ke arah yang lebih positif.
4.      Deskripsi Proses Pendekatan Kognitif
Salah satu perbedaan utama praktek konseling kognitif dengan konseling rasional emotif perilaku adalah penekanan pada hubungan terapeutik (Corey, 2009). Ellis memandang konselor sebagai guru dan tidak berpikir bahwa hubungan pribadi yang hangat dengan konseli sangat penting. Sebaliknya, Beck menekankan bahwa kualitas hubungan terapeutik adalah dasar untuk penerapan konseling kognitif. Beck percaya bahwa konselor yang efektif mampu menggabungkan empati dan sensitivitas, serta kompetensi teknis. Kondisi konseling yang dijelaskan oleh Rogers dalam pendekatan konseling berpusat pribadi dipandang oleh konselor kognitif sebagai suatu unsur yang sangat penting, tapi tidak cukup untuk menghasilkan efek konseling yang optimal.

5.      Deskripsi langkah-langkah Pendekatan Kognitif
Tahap-tahap konseling kognitif terdiri dari 10 tahap (Seligman, 2006). Adapun kesembilan tahap tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Membangun agenda yang bermakna untuk konseli.
b.      Menentukan dan mengukur intensitas mood seseorang.
c.       Mengidentifikasi dan mereview masalah yang ditunjukkan.
d.      Membangkitkan ekspektasi konseli dalam perlakuan.
e.       Mengajarkan konseli tentang konseling kognitif dan peran dari konseli.
f.        Menggali informasi tentang kesulitan konseli dan mendiagnosisnya.
g.      Menentukan tujuan konseling.
h.      Memberikan tugas dan tugas rumah kepada konseli.
i.        Merangkum sesi konseling.
j.        Meminta umpan balik dari konseli.
6.      Teknik-Teknik Pendekatan Kognitif
Secara umum, teknik-teknik yang digunakan dalam konseling kognitif digunakan untuk mengubah kognisi konseli yang tidak realistik menjadi lebih realistik. Beberapa teknik tersebut menurut Seligman (2006) antara lain:
a.       Penjadwalan kegiatan. Teknik yang memberi kesempatan pada konseli untuk mencoba perilaku dan cara-cara berpikir baru dan mendorong mereka untuk tetap aktif meskipun merasa tidak nyaman teknik ini sangat efektif jika digunakan untuk konseli yang mengalami depresi dan kecemasan.
b.      Imajeri mental dan emosional. Teknik ini dapat digunakan untuk membantu konseli memimpikan dan mencoba cara-cara baru dalam merasa dan berpikir.
c.       Modeling tertutup dan modeling terbuka. Suatu teknik yang digunakan untuk melatih konseli secara mental bentuk-bentuk perilaku baru yang lebih efektifdan menciptakan suatu model kognitif bagi dirinya sendiri untuk membentuk perilaku tersebut dengan baik.
d.      Penghentian pikiran. Teknik ini efektif untuk membantu konseli yang terus-menerus memiliki pikiran negatif tentang dirinya dan menyalahkan dirinya bagi kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
e.       Diversions atau distraction. Teknik ini dapat membantu individu mengurangi pikiran negatif yang mereka alami.
f.        Self talk. Teknik di mana konseli mengulang-ulang perkataan positif dan menyenangkan dalam pikirannya. Contohnya, “aku dapat melakukannya”, “aku pasti berhasil”.
g.      Afirmasi. Afirmasi memiliki hubungan dengan self talk. Afirmasi adalah slogan pendek yang positif dan menguatkan.
h.      Systematic assessment of alternatives. Ini adalah sebuah strategi untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan atau memilih suatu hal.
i.        Reframing dan relabeling. Teknik yang digunakan untuk membantu konseli membentuk atau mengembangkan pikiran lain yang berbeda tentang dirinya.
j.        Bermain peran. Bermain peran dapat menyediakan seseorang untuk mengaktualisasikan beberapa pikiran baru mereka.
k.      Biblioterapi. Teknik yang efektif jika digunakan untuk membantu konseli memodifikasi pikiran-pikiran mereka dengan cara memberikan bacaan yang berisikan cerita tentang orang-orang yang berhasil dalam menangani masalah mereka.

D.      Pendekatan Humanistik
1.      Pandangan Tentang Manusia
Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Manusia adalah makhluk dengan julukan “the self determining being” yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling tepat. Pendekatan eksistensial humanistik berfokus pada manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia (Corey, 2010).
2.      Konsep Dasar Konseling Humanistik
Menurut Willis (dalam Sudrajat, 2008) manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
a.       Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri.
b.      Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
3.      Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan (Sudrajat, 2008).
4.      Tujuan Konseling
a.       Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya.
b.      Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
c.       Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
d.      Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya (Willis dalam Sudrajat, 2008).

5.      Deskripsi Proses Konseling Humanistik
a.       Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.
b.      Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
c.       Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
d.      Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam hubungan konseling.
e.       Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor (Corey, 2010).
6.      Teknik-Teknik Konseling Humanistik
Konseling humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa diambil dari beberapa teori konseling lainnya separti teori Gestalt dan Analisis Transaksional. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseli bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia memaknainya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah (Corey, 2010):
a.       Membina hubungan baik (good rapport)
b.      Membuat konseli bisa menerima dirinya dengan segala potensi dan keterbatasannya.
c.       Merangsang kepekaan emosi konseli Membuat konseli bisa.
d.      Mencari solusi permasalahannya sendiri.
e.       Mengembangkan potensi dan emosi positif konseli.
Menurut Willis (dalam Sudrajat, 2008) teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragementlimited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari dan proses belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar. Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli. Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut dan konselor bersifat aktif. Tahap konseling behavioral yaitu assessment, goal setting, Technique implementation, dan Evaluation-termination. Beberapa teknik konseling behavioral adalah latihan asertif, disentisisasi sistematis, pengkondisian aversi, pembentukan tingkah laku model, dan lain sebagainya.
2.      Pendekatan Psikoanalisis memandang manusia sebagai makhluk deterministik. Menurut Freud, tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional, motivasi bawah sadar (unconsciousness motivation), dorongan (drive) biologis dan insting, serta kejadian psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan. Menurut pandangan psikoanalasis struktur atau organisasi kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, ego dan superego. Dalam pendekatan psikoanalisis terdapat lima fase perkembangan psikoseksual yaitu fase oral, anal, Phallic, laten, dan genital. Pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang tidak bisa mengontrol sistem id, ego dan superego. Tujuan utama konseling dalam pola pikir psikoanalisis adalah membuat kesadaran hal-hal yang tidak disadari konseli. Adapun teknik-teknik konseling psikoanalisis adalah asosiasi bebas, analisis mimpi, interpretasi, analisis resistensi, analisis transferensi, dan lain sebagainya.
3.      Pendekatan kognitif adalah konseling yang berfokus pada wawasan yang menekankan pengakuan dan mengubah pikiran negatif dan keyakinan maladaptif. Pribadi yang dikatakan bermasalah adalah individu yang tidak dapat menguji hipotesis secara sistematis,  tidak mampu menemukan asumsi-asumsi yang tidak tepat sehingga emosi dan perilakunya cenderung negatif. Tujuan dasar dari konseling kognitif adalah untuk menghilangkan bias atau distorsi dalam berpikir sehingga individu dapat berfungsi lebih efektif. Secara umum, teknik-teknik yang digunakan dalam konseling kognitif digunakan untuk mengubah kognisi konseli yang tidak realistik menjadi lebih realistik, seperti penjadwalan kegiatan, imajeri mental dan emosional, modeling, penghentian pikiran, diversions, self talk, afirmasi, dan lain sebagainya.
4.      Pendekatan humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan. Konseling humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseli bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia memaknainya.








DAFTAR PUSTAKA

Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Corey, Geral. 2009. Theory and Practice of Counselling and Psychotherapy (Terjemahan). Semarang: UNS Press.
Corey, Geral. 2010. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Komalasari, dkk. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. Indeks.
Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psychotherapy (Terjemahan). Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pendekatan Konseling Behavioral. [Online]. Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-behavioral/, diakses pada 3 November 2015.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pendekatan Konseling Humanistik. [Online]. Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/14/konseling-humanistik/, diakses pada 3 November 2015.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pendekatan Konseling Psikoanalsis. [Online]. Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/pendekatan-konseling-psikoanalisis/, diakses pada 3 November 2015.
Sugianto, Akhmad. 2014. Teori Pendekatan Behavioral. [Online]. Tersedia: http: //akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-behavioral. html, diakses pada 3 November 2015.
Wahyu. 2014. Cognitive Therapy. [Online]. Tersedia: https://konselorwahyu. wordpress.com/2014/03/31/cognitive-therapy/, diakses pada 3 November 2015.

No comments:

Post a Comment

you say