BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konselor
dalam menangani suatu masalah, tidak akan dapat terlepas dari
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam proses konseling. Tanpa didukung oleh penguasaan pendekatan konseling yang memadai, bantuan yang diberikan konselor kepada konseli tidak akan berjalan efektif.
Pendekatan
konseling ini muncul seiring dengan perkembangan kehidupan yang semakin
kompleks, sibuk, dan terus berubah. Hal tersebut membuat beberapa masalah,
khususnya dalam dunia pendidikan. Dunia
pendidikan,
khususnya di sekolah masalah-masalah
yang muncul banyak dialami oleh siswa, misalnya masalah belajar, masalah
pribadi, masalah
sosial, maupun masalah psikologis
siswa. Hal tersebut membuat beberapa masalah yang dapat menggangu proses
pendidikan
itu sendiri. Selain itu masalah tersebut jika tidak dapat diatasi dengan baik,
benar dan tepat oleh seorang konselor, maka dapat menghambat perkembangan kehidupan
siswa itu sendiri.
Berbagai
cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam dunia
pendidikan, salah satu di antaranya adalah dengan
mencari dan memberikan solusi pada siswa
itu sendiri. Permasalahan-permasalahan dalam pendidikan tiap sekolah bahkan
tiap anak berbeda-beda, oleh karena itu dibutuhkan solusi yang berbeda pula.
Sehingga beberapa pendekatan
tentang konseling ini
bermunculan. Praktik
konseling tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang, maka dari itu muncul istilah konselor. Konselor
memberikan solusi pada masalah-masalah yang diharapkan dapat membantu dalam
dunia pendidikan.
Pengertian
pendekatan menurut istilah bahasa (Kamus Besar Bahasa
Indonesia; 2002) adalah (1) proses, perbuatan, cara mendekati; (2) usaha dalam
rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan yang
diteliti. Memahami tentang pengertian pendekatan itu sendiri, maka penerapan pendekatan dalam proses konseling adalah proses perbuatan seseorang (konselor) untuk berhubungan dengan konseli yang dilakukan secara dekat dalam rangka untuk
menggali permasalahan dengan metode yang terencana secara cermat agar
memperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan. Sangat urgen kiranya seorang konselor memahami
pendekatan konseling ini untuk kemudian dapat mengaplikasikannya di sekolah.
Oleh karena itu, sebagai calon konselor penulis tertarik membahas
pendekatan-pendekatan konseling dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah:
1.
Bagaimana
pendekatan behavioral dalam konseling?
2.
Bagaimana
pendekatan psikoanalisis dalam konseling?
3.
Bagaimana
pendekatan kognitif dalam konseling?
4.
Bagaimana
pendekatan humanistik dalam konseling?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
1.
Agar mahasiswa memahami
pendekatan behavioral dalam konseling.
2.
Agar mahasiswa
memahami pendekatan psikoanalisis dalam konseling.
3.
Agar mahasiswa
memahami pendekatan kognitif dalam konseling.
4.
Agar mahasiswa
memahami pendekatan humanistik dalam konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Behavioral
1. Pandangan
Tentang Manusia
Behavioral merupakan
pendekatan klinis yang dapat digunakan untuk menangani bermacam-macam gangguan,
dalam bermacam-macam setting khusus, dan dengan bermacam-macam kelompok
populasi (Sugianto, 2014). Pendekatan behavioral didasarkan pada pandangan
ilmiah tentang tingkah laku manuisa yang menekankan pada pentingnya pendekatan
sistematik dan terstruktur pada konseling (Rosjidan dalam Komalasari, dkk.,
2011: 152). Sedangkan pengertian behavioral/ behavioral
itu sendiri adalah suatu
pandangan teoritis yang beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah
laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas (Chaplin,
2002: 54). Pendekatan behavioral berpandangan bahwa setiap
tingkah laku dapat dipelajari dan proses belajar tingkah laku adalah melalui
kematangan dan belajar (Rosjidan dalam Komalasari, dkk., 2011: 152).
2.
Konsep
Dasar Konseling Behavioral
Manusia
adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari
luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap
lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan
macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku
dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum
belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah
laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang
diperolehnya (Sudrajat, 2008).
Manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku (Komalasari,
dkk., 2011: 154).
Karakteristik
konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan
spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli, dan
(d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling (Sudrajat, 2008).
3.
Asumsi
Tingkah Laku Bermasalah
Adapun asumsi tingkah laku bermasalah menurut
pandangan behavioral adalah sebagai berikut (Sudrajat, 2008) :
a. Tingkah
laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau
tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan.
b. Tingkah
laku yang salah hakikatnya terbentuk
dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
c. Manusia
bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam
menanggapi lingkungan dengan tepat.
d. Seluruh
tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
4.
Tujuan
Konseling
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada
pengubahan atau modifikasi perilaku konseli, yang diantaranya untuk
(Komalasari, dkk, 2011: 156):
a.
Menciptakan
kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
b.
Penghapusan hasil
belajar yang tidak adaptif.
c.
Memberi pengalaman
belajar yang adaptif namun belum dipelajari.
d.
Membantu konseli
membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan
mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
e.
Konseli belajar
perlaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif, memperkuat seta
mempertahankan perilaku yang diinginkan.
f.
Penetapan tujuan
dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara
konseli dan konselor.
5.
Deskripsi
Proses Konseling Behavioral
Proses
konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar
tersebut. Konselor
aktif (Sudrajat, 2008):
a. Merumuskan
masalah yang dialami konseli dan menetapkan apakah konselor dapat membantu
pemecahannya atau
tidak.
b. Konselor
memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya
tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling.
c. Konselor
mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
6.
Deskripsi
langkah-langkah Konseling
Behavioral
Menurut Rosjidan (dalam Komalasari, 2011: 157) konseling
behavioral memiliki empat tahap yaitu:
a. Assesment, langkah
awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan konseli (untuk
mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola
hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor
mendorong konseli untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada
waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana
yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
b. Goal setting,
yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari langkah assessment konselor
dan konseli menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling.
Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a)
Konselor dan konseli mendifinisikan masalah yang dihadapi konseli; (b) Konseli
mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c)
Konselor dan konseli mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan konseli : (a)
apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan konseli; (b)
apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d) kemungkinan kerugiannya;
(e) Konselor dan konseli membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan
menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang
akan dicapai, atau melakukan referal.
c. Technique implementation,
yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk
mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
d. Evaluation-termination,
yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
7.
Teknik-Teknik
Konseling Behavioral
Beberapa teknik konseling behavioral adalah sebagai
berikut (Sugianto, 2014)
a. Latihan
Asertif
Teknik ini dugunakan
untuk melatih konseli yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa
tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya
untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung,
kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya.
Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor.
Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
b. Desensitisasi
Sistematis
Desensitisasi sistematis
merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk
menenangkan konseli dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan konseli
untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang
diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang
tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi
sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
c. Pengkondisian
Aversi
Teknik ini dapat
digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kepekaan konseli agar mengamati respon pada stimulus yang
disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak
menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan
munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini
diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan
stimulus yang tidak menyenangkan.
d. Pembentukan
Tingkah laku Model
Teknik ini dapat
digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada konseli, dan memperkuat
tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada konseli
tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model
hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak
dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari
konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
B. Pendekatan
Psikoanalisis
1. Pandangan
Tentang Manusia
Aliran
Freud memandang manusia sebagai makhluk deterministik. Menurut Freud, tingkah
laku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional, motivasi bawah sadar (unconsciousness motivation), dorongan (drive) biologis dan insting, serta
kejadian psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan. Instink merupakan pusat
dari pendekatan yang dikembangkan Freud. Walaupun pada dasarnya menggunakan
istilah libido yang mengacu pada energy seksual, ia mengembangkan istilah ini menjadi energi seluruh instink kehidupan.
Insting-insting ini bertujuan sebagai pertahanan hidup dari individu dan
manusia, berorientasi pada pertumbuhan , perkembangan dan kreativitas. Freud
juga mengemukakan manusia memiliki insting mati (death instincts), yaitu insting yang berhubungan dengan dorongan
agresif (aggressive drive) dan
insting hidup (life instincts) (Komalasari, dkk., 2011: 59).
2.
Konsep
Dasar Konseling Psikoanalasis
Manusia
memiliki gambaran jiwa yang dapat dianalogikan seperti gunung es (Corey dalam Komalasari, dkk., 2011: 61).
Kesadaran (consciousness) yaitu
berisikan ide-ide atau hal-hal yang disadari. Prakesadaran (subconciousness) yaitu berisikan ide-ide
atau hal-hal yang tidak disadari yang sewaktu-waktu dapat dipanggil ke kesadaran. Ketidaksadaran (unconsciousness) yaitu berisikan
dorongan-dorongan yang sebagian besar sudah ada
sejak lahir yaitu dorongan seksual dan agresi dan sebagian lagi berasal
dari pengalaman masa lalu yang pernah terjadi pada tingkat kesadaran dan
bersifat traumatis, sehingga perlu ditekan dan dimasukan dalam ketidaksadaran (Komalasari, dkk., 2011: 61).
Menurut pandangan psikoanalasis (dalam Komalasari,
dkk., 2011: 62) struktur atau organisasi kepribadian terdiri dari tiga sistem
yaitu sebagai berikut:
a. Id
Id
merupakan sistem utama kepribadian. Id merupakan aspek biologis yang mempunyai
energi yang dapat mengaktifkan ego dan
superego. Id berisi segala sesuatu yang secara psikologis diturunkan, telah ada
sejak lahir termasuk insting yaitu insting mempertahankan hidup (life instinct)
merupakan dorongan seksual atau libido dan dorongan untuk mati (death instinct) merupakan dorongan agresi (marah, menyerang orang
lain, berkelahi). Dorongan-dorongan untuk memuaskan hawa nafsu manusia
berrsumber dari id. Energi yang meningkat dari id sering menimbulkan ktegangan
dan rasa tidak enak. Id tidak dapat mentolerir peningkatan energy yang
dirasakan sebagai suatu ketegangan pada diri seseorang. Id memiliki prinsip
kenikmatan (pleasure principle). Id
akan berusaha menyalurkan ketegangan dengan segera dan mengembalikan
keseimbangan agar kembali pada keadaan tenang dan menenangkan.
b. Ego
Ego merupakan bagian yang memiliki
kontak dengan realitas dunia luar. Ego
bertindak sebagai eksekutif yang mengatur, mengontrol, dan meregulasi
kepribadian. Ego dapat dianalogikan sebagai polisi lalu lintas (traffic cop) untuk id, superego dan
dunia. Tugas utama ego adalah memediasi antara insting dan lingkungan sekitar.
Ego berfungsi untuk mewujudkan kebutuhan pada dunia nyata dan mampu membedakan apa yang ada pada dalam
diri dan luar diri yang disebut dengan proses sekunder.
c. Superego
Superego
berperan sebagai pengatur agar ego bertindak sesuai moral masyarakat. Super ego
merupakan perwujudan nilai-nilai dan prinsip moral serta cita-cita tradisional
masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa super ego berfungsi merintangi dorongan
seksual dan agresifitas yang bertentangan dengan moral dan agama.
System Id, Ego dan Superego saling berinteraksi. Jika Ego
gagal menyalurkan kehendak Id menurut batasan realita dan nilai-nilai moral, ia
akan dihukum dengan kecemasan. Menurut Freud terdapat tiga kecemasan yang dapat
dialami individu yaitu kecamasan realitas, kecemasan moral dan kecemasan
neurotik.
3. Perkembangan Kepribadian
Psikoanalisis memiliki pendekatan
yang unik dalam melihat perkembangan kepribadian manusia. Freud mengemukakan
perkembangan psikoseksual yang merupakan dasar pemahaman terhadap permasalah
yang dialami oleh konseli. Dalam pendekatan psikoanalisis
terdapat lima fase perkembangan psikoseksual yaitu
(Komalasari, dkk., 2011: 69):
a. Fase oral (0-1 tahun) organ pertama yang
menjadin daerah erogen adalah mulut, maka perkembangan seksual itu dimulai pada
fase oral. Anak memperoleh kepuasan dan
kenikmatan yang bersumber pada mulutnya melalui menghisap dan menggigit.
b. Fase anal (1-3 tahun) organ kedua yang
menjadi daerah erogen adalah anus, dan perkembangan seksual normal pindah dari
fase oral ke fase anal. pusat kenikmatan
terletak pada daerah anus yaitu melalui menahan dan mengeluarkan terutama pada
saat buang air besar.
c. Fase phallic (3-5 tahun) dimana anak mulai memindahkan pusat kepauasan
pada daerah kelamin, anak mulai tertarik perbedaan anatomi laki-laki dan
perempuan serta pembentukan identitas seksual. Pada anak laki-laki masa phallic ini dikenal sebagai oedipus complex
yang menempatkan ibu sebagai objek cinta bagi anak-anak lakinya. Sedangkan pada
anak perempuan masa phallic disebut juga dengan electra complex dimana anak perempuan mencari cinta dan penerimaan
ayah.
d. Fase laten (5-12 tahun) selama periode ini
berbagai kekangan seksual berkembang. Salah satu meksnisme yang digunakan untuk
mengalihkan energi seksual disebut sublimasi atau pemindahan libido kepencarian
tujuan dan buaya baru. Faase ini juga disebut sebagai masa tenang dimana minat
seksual digantikan oleh minat pada sekolah, teman bermain, olahraga dan
berbagai aktifitas yang baru bagi anak.
e. Fase genital (12 tahun ke atas)
Pada tahap ini dimulai pada saat mestruasi atau pubertas,
diaman alat-alat reproduksi seksual mulai matang dan energi psikis libido diarahkan
untuk hubungan heteroseksual.
4. Asumsi
Tingkah Laku Bermasalah
Pribadi yang tidak sehat/ tingkah
laku bermasalah menurut pendekatan psikoanalisis adalah pribadi yang tidak bisa
mengontrol sistem
id, ego dan superego (Sudrajat, 2008).
5. Tujuan
Konseling
Tujuan utama konseling dalam pola pikir psikoanalisis
adalah membuat kesadaran hal-hal yang tidak disadari konseli. Hal-hal yang
terdapat level ketidaksadaran dibawa ke level kesadaran. Ketika hal-hal yang
telah ditekan di alam ketidaksadaran dimunculkan kembali, maka masalah tersebut
dapat diatasi secara lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode
(Thompson dalam Komalasari, 2011: 77).
6.
Deskripsi
Proses Konseling Psikoanalisis
Adapun dalam proses konseling psikoanalisis konselor memiliki fungsi sebagai berikut (Sudrajat, 2008):
a. Konselor
berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
b. Konselor
bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal konseli, dan bertindak
sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga konseli
dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan
analisis (Sudrajat, 2008).
7.
Deskripsi
langkah-langkah Konseling
Psikoanalisis
a. Menciptakan
hubungan kerja dengan konseli.
b. Tahap
krisis bagi konseli yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan
transferensi.
c. Tilikan
terhadap masa lalu konseli terutama pada masa kanak-kanaknya.
d. Pengembangan
reesitensi untuk pemahaman diri.
e. Pengembangan
hubungan transferensi konseli dengan konselor.
f.
Melanjutkan lagi hal-hal
yang resistensi.
g. Menutup
wawancara konseling (Sudrajat, 2008).
8. Teknik-Teknik
Konseling Psikoanalisis
Adapun teknik-teknik konseling psikoanalisis adalah (Komalasari,
dkk., 2011: 78):
a.
Asosiasi bebas, yaitu
mengupayakan konseli untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam
pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga konseli mudah
mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Konseli diminta mengutarakan apa saja
yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar konseli
mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang
berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga
katarsis.
b.
Analisis mimpi, konseli
diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan
konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik
masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena
pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun
muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya
mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
c.
Interpretasi, yaitu
mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan konseli, baik dalam
asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi konseli. Konselor
menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar konseli tentang makna perilaku yang
termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
d.
Analisis
resistensi, resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan
untuk menyadarkan konseli terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya
(resistensi). Konselor meminta perhatian konseli untuk menafsirkan resistensi
e.
Analisis transferensi.
Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu.
Dalam hal ini, konseli diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan
konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang
oleh konseli dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya konseli
bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral,
objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
C. Pendekatan Kognitif
1. Pandangan
Tentang Manusia
Pendekatan kognitif adalah konseling yang berfokus
pada wawasan yang menekankan pengakuan dan mengubah pikiran negatif dan
keyakinan maladaptif. Inti dari Konseling kognitif kognitif didasarkan pada
alasan teoritis bahwa cara manusia merasa dan berperilaku ditentukan oleh
bagaimana mereka memandang dan menstruktur pengalaman mereka (Corey, 2009).
Menurut Weishaar (dalam Corey, 2009) asumsi teoritis konseling kognitif adalah
1) bahwa komunikasi internal manusia dapat diakses oleh introspeksi, 2) bahwa
kepercayaan konseli memiliki makna yang sangat pribadi, dan 3) bahwa makna ini
dapat ditemukan oleh konseli daripada yang diajarkan atau ditafsirkan oleh
konseli. DeRubeis & Beck (dalam Corey, 2009) menyatakan bahwa teori dasar
konseling kognitif adalah untuk memahami hakikat dari peristiwa emosional atau
gangguan perilaku adalah mutlak untuk fokus pada isi kognitif dari reaksi
individu. Tujuannya adalah untuk mengubah cara konseli berpikir dengan
menggunakan pikiran-pikiran otomatis mereka untuk mencapai skema inti dan mulai
memperkenalkan gagasan restrukturisasi skema. Hal ini dilakukan dengan
mendorong konseli untuk mengumpulkan dan mempertimbangkan bukti untuk mendukung
keyakinan mereka.
2. Pribadi Sehat
dan Bermasalah
Pribadi yang sehat
adalah individu yang sadar akan kognisinya dimana individu tersebut dapat
menguji hipotesis secara sistematis dan jika individu menemukan asumsi-asumsi
yang tidak tepat, mereka segera dapat menggantinya dengan keyakinan yang lebih
fungsional yang mengarahkan pada pembentukan emosi dan perilaku yang lebih
positif. Sebaliknya untuk pribadi yang dikatakan bermasalah adalah individu
yang tidak dapat menguji hipotesis secara sistematis, tidak mampu
menemukan asumsi-asumsi yang tidak tepat sehingga emosi dan perilakunya
cenderung negatif (Seligman, 2006).
3. Tujuan
Konseling
Menurut Sharf (dalam
wahyu, 2014) tujuan dasar dari konseling kognitif adalah untuk
menghilangkan bias atau distorsi dalam berpikir sehingga individu dapat
berfungsi lebih efektif. Distorsi kognitif konseli ditantang, diuji, dan dibahas
untuk membawa perasaan, perilaku, dan pemikiran ke arah yang lebih positif.
4.
Deskripsi
Proses Pendekatan Kognitif
Salah satu perbedaan
utama praktek konseling kognitif dengan konseling rasional emotif perilaku
adalah penekanan pada hubungan terapeutik (Corey, 2009). Ellis memandang
konselor sebagai guru dan tidak berpikir bahwa hubungan pribadi yang hangat
dengan konseli sangat penting. Sebaliknya, Beck menekankan bahwa kualitas
hubungan terapeutik adalah dasar untuk penerapan konseling kognitif. Beck
percaya bahwa konselor yang efektif mampu menggabungkan empati dan
sensitivitas, serta kompetensi teknis. Kondisi konseling yang dijelaskan oleh
Rogers dalam pendekatan konseling berpusat pribadi dipandang oleh konselor
kognitif sebagai suatu unsur yang sangat penting, tapi tidak cukup untuk
menghasilkan efek konseling yang optimal.
5.
Deskripsi
langkah-langkah Pendekatan Kognitif
Tahap-tahap konseling kognitif terdiri dari 10 tahap
(Seligman, 2006). Adapun kesembilan tahap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Membangun agenda yang bermakna untuk
konseli.
b. Menentukan dan mengukur intensitas mood seseorang.
c. Mengidentifikasi dan mereview masalah yang
ditunjukkan.
d. Membangkitkan ekspektasi konseli dalam
perlakuan.
e. Mengajarkan konseli tentang konseling
kognitif dan peran dari konseli.
f.
Menggali
informasi tentang kesulitan konseli dan mendiagnosisnya.
g. Menentukan tujuan konseling.
h. Memberikan tugas dan tugas rumah kepada
konseli.
i.
Merangkum
sesi konseling.
j.
Meminta
umpan balik dari konseli.
6. Teknik-Teknik
Pendekatan Kognitif
Secara umum, teknik-teknik yang digunakan dalam
konseling kognitif digunakan untuk mengubah kognisi konseli yang tidak
realistik menjadi lebih realistik. Beberapa teknik tersebut menurut Seligman
(2006) antara lain:
a.
Penjadwalan
kegiatan. Teknik yang memberi kesempatan pada konseli untuk mencoba perilaku
dan cara-cara berpikir baru dan mendorong mereka untuk tetap aktif meskipun
merasa tidak nyaman teknik ini sangat efektif jika digunakan untuk konseli yang
mengalami depresi dan kecemasan.
b.
Imajeri
mental dan emosional. Teknik ini dapat digunakan untuk membantu konseli
memimpikan dan mencoba cara-cara baru dalam merasa dan berpikir.
c.
Modeling tertutup dan modeling
terbuka. Suatu teknik yang digunakan untuk melatih konseli secara mental
bentuk-bentuk perilaku baru yang lebih efektifdan menciptakan suatu model
kognitif bagi dirinya sendiri untuk membentuk perilaku tersebut dengan baik.
d.
Penghentian
pikiran. Teknik ini efektif untuk membantu konseli yang terus-menerus memiliki
pikiran negatif tentang dirinya dan menyalahkan dirinya bagi
kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
e.
Diversions atau distraction.
Teknik ini dapat membantu individu mengurangi pikiran negatif yang mereka
alami.
f.
Self talk. Teknik di mana konseli mengulang-ulang perkataan
positif dan menyenangkan dalam pikirannya. Contohnya, “aku dapat melakukannya”,
“aku pasti berhasil”.
g.
Afirmasi.
Afirmasi memiliki hubungan dengan self talk. Afirmasi adalah slogan
pendek yang positif dan menguatkan.
h.
Systematic assessment of alternatives. Ini adalah sebuah strategi untuk
membantu seseorang dalam membuat keputusan atau memilih suatu hal.
i.
Reframing dan relabeling.
Teknik yang digunakan untuk membantu konseli membentuk atau mengembangkan
pikiran lain yang berbeda tentang dirinya.
j.
Bermain
peran. Bermain peran dapat menyediakan seseorang untuk mengaktualisasikan
beberapa pikiran baru mereka.
k.
Biblioterapi.
Teknik yang efektif jika digunakan untuk membantu konseli memodifikasi
pikiran-pikiran mereka dengan cara memberikan bacaan yang berisikan cerita
tentang orang-orang yang berhasil dalam menangani masalah mereka.
D. Pendekatan
Humanistik
1. Pandangan
Tentang Manusia
Humanistik
memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan
dirinya. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar,
mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Manusia adalah
makhluk dengan julukan “the self
determining being” yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang
paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling
tepat. Pendekatan eksistensial humanistik berfokus pada manusia. Pendekatan ini
terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia (Corey, 2010).
2.
Konsep
Dasar Konseling Humanistik
Menurut Willis (dalam Sudrajat, 2008) manusia sebagai makhluk
hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia
kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang
bertanggung jawab atas segala tindakannya.
a. Manusia tidak pernah statis, ia selalu
menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani
menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri.
b. Setiap orang memiliki potensi kreatif dan
bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan
yang mengarah pada seluruh bentuk self
expression.
3. Asumsi
Tingkah Laku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang
bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain,
pengalamannya tertekan (Sudrajat, 2008).
4. Tujuan
Konseling
a.
Mengoptimalkan
kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa
adanya.
Saya adalah saya.
b.
Memperbaiki
dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan
individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu
dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
c.
Menghilangkan
hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses
aktualisasi dirinya.
d.
Membantu
individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau
menurut kondisi dirinya (Willis dalam Sudrajat, 2008).
5.
Deskripsi
Proses Konseling Humanistik
a. Adanya hubungan yang akrab antara konselor
dan konseli.
b. Adanya kebebasan secara penuh bagi
individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
c. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima
sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
d. Unsur menghargai dan menghormati keadaan
diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar
yang paling menentukan dalam hubungan konseling.
e. Pengenalan tentang keadaan individu
sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor (Corey, 2010).
6. Teknik-Teknik
Konseling Humanistik
Konseling humanistik tidak memiliki teknik-teknik
yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa diambil dari beberapa teori konseling lainnya separti teori
Gestalt dan Analisis Transaksional. Tugas konselor disini adalah menyadarkan
konseli bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia
memaknainya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah (Corey, 2010):
a.
Membina
hubungan baik (good rapport)
b.
Membuat
konseli bisa menerima dirinya dengan segala potensi dan keterbatasannya.
c.
Merangsang
kepekaan emosi konseli Membuat konseli bisa.
d.
Mencari solusi
permasalahannya sendiri.
e.
Mengembangkan
potensi dan emosi positif konseli.
Menurut Willis (dalam
Sudrajat, 2008) teknik yang
dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana
dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragementlimited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendekatan
behavioral berpandangan bahwa setiap tingkah laku dapat dipelajari dan proses
belajar tingkah laku adalah melalui kematangan dan belajar. Manusia adalah
mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya
dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk
kepribadian. Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau
modifikasi perilaku konseli. Proses konseling adalah proses belajar, konselor
membantu terjadinya proses belajar tersebut dan konselor bersifat aktif. Tahap
konseling behavioral yaitu assessment,
goal setting, Technique
implementation, dan
Evaluation-termination. Beberapa teknik konseling behavioral adalah latihan
asertif, disentisisasi sistematis, pengkondisian aversi, pembentukan tingkah
laku model, dan lain
sebagainya.
2. Pendekatan
Psikoanalisis memandang manusia sebagai makhluk deterministik. Menurut Freud, tingkah
laku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional, motivasi bawah sadar (unconsciousness motivation), dorongan (drive) biologis dan insting, serta
kejadian psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan. Menurut pandangan psikoanalasis struktur atau
organisasi kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu
id, ego dan superego. Dalam
pendekatan psikoanalisis terdapat lima fase perkembangan psikoseksual yaitu
fase oral, anal, Phallic, laten, dan
genital. Pribadi
yang tidak sehat adalah pribadi yang tidak bisa mengontrol sistem id, ego dan superego. Tujuan utama konseling dalam pola pikir psikoanalisis
adalah membuat kesadaran hal-hal yang tidak disadari konseli. Adapun teknik-teknik konseling psikoanalisis adalah
asosiasi bebas, analisis mimpi, interpretasi, analisis resistensi, analisis
transferensi, dan lain
sebagainya.
3. Pendekatan kognitif adalah konseling yang
berfokus pada wawasan yang menekankan pengakuan dan mengubah pikiran negatif
dan keyakinan maladaptif. Pribadi yang dikatakan bermasalah adalah individu
yang tidak dapat menguji hipotesis secara sistematis, tidak mampu
menemukan asumsi-asumsi yang tidak tepat sehingga emosi dan perilakunya
cenderung negatif. Tujuan dasar dari konseling kognitif adalah untuk
menghilangkan bias atau distorsi dalam berpikir sehingga individu dapat
berfungsi lebih efektif. Secara
umum, teknik-teknik yang digunakan dalam konseling kognitif digunakan untuk
mengubah kognisi konseli yang tidak realistik menjadi lebih realistik, seperti
penjadwalan kegiatan, imajeri mental dan emosional, modeling, penghentian pikiran, diversions,
self talk, afirmasi, dan lain
sebagainya.
4. Pendekatan humanistik memandang manusia
sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya. Asumsi ini menunjukkan
bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat
menentukan (hampir) segalanya. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat
menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas
untuk menjadi apa yang ia inginkan. Gangguan jiwa disebabkan karena individu
yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain,
pengalamannya tertekan. Konseling humanistik tidak memiliki teknik-teknik
yang ditentukan secara ketat. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseli
bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia
memaknainya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P.
2002. Kamus Lengkap Psikologi.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Corey, Geral. 2009. Theory
and Practice of Counselling and Psychotherapy (Terjemahan). Semarang: UNS
Press.
Corey, Geral.
2010. Teori dan Praktek Konseling
dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Komalasari, dkk.
2011. Teori dan Teknik Konseling.
Jakarta: PT. Indeks.
Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psychotherapy
(Terjemahan). Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sudrajat, Akhmad.
2008. Pendekatan Konseling Behavioral.
[Online]. Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-behavioral/, diakses pada 3 November 2015.
Sudrajat, Akhmad.
2008. Pendekatan Konseling Humanistik.
[Online]. Tersedia: https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/14/konseling-humanistik/, diakses pada 3 November 2015.
Sudrajat, Akhmad.
2008. Pendekatan Konseling Psikoanalsis.
[Online]. Tersedia:
https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/pendekatan-konseling-psikoanalisis/,
diakses pada 3 November 2015.
Sugianto, Akhmad.
2014. Teori
Pendekatan Behavioral. [Online]. Tersedia: http: //akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-behavioral. html, diakses pada 3 November 2015.
Wahyu. 2014. Cognitive Therapy. [Online]. Tersedia: https://konselorwahyu. wordpress.com/2014/03/31/cognitive-therapy/, diakses pada 3 November 2015.
No comments:
Post a Comment
you say