HAK ASASI MANUSIA
Dalam Kamus
Besar Bahasa
Indonesia, Hak Asasi
diartikan sebagai
hak dasar
atau hak
pokok seperti
hak hidup
dan mendapatkan
perlindungan.
Hak asasi
mengandung kebebasan
secara mutlak
tanpa mengindahkan
hak-hak dan
kepentingan
orang lain.
HAM atas
dasar yang
paling fundamental yaitu hak
kebebasan dan
hak persamaan
Sejarah Perkembangan HAM
di Dunia
1.Magna
Charta (1215)
2.Revolusi
Amerika
(1776)
3.Revolusi
Prancis
(1789)
4.African
Charter on Human and People Rights (1981)
5.Cairo
Declaration on Human Right in Islam (1990)
6.Bangkok
Declaration (1993)
7.Deklarasi
PBB (Deklarasi
Wina) Tahun
1993
Sejarah Perkembangan Ham
di Indonesia
1.Pada
Masa Pra
Kemerdekaan
2.Pada
Masa Kemerdekaan
a)Pada
Masa Orde
Lama
b)Pada
Masa Orde
Baru
c)Pada
Masa Reformasi
HAM
Dalam Perspektif
Islam
Hak asasi
dalam
Islam berbeda dengan
hak asasi
menurut pengertian
yang umum dikenal,
sebab seluruh
hak merupakan
kewajiban bagi
negara maupun
individu yang
tidak boleh
diabaikan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wa Sallam
bersabda:
“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu.”
(HR. Bukhari
dan
Muslim)
Al-Qur’an dan
Hadits merupakan
sumber ajaran
Islam tentang HAM.
Tonggak sejarah
keberpihakan
Islam terhadap HAM yaitu
pada pendeklarasian
Piagam Madinah
yang dilanjutkan
dengan
Deklarasi Kairo.
Menurut
Ahmad Kosasih, secara
garis besar,
hak asasi
meliputi:
1.Hak
Hidup
2.Hak
Kebebasan Beragama
3.Hak
Atas Keadilan
4.Hak
Persamaan
5.Hak
Mendapatkan Pendidikan
6.Hak
Kebebasan Berpendapat
7.Hak
Kepemiikan
8.Hak
Untuk Mendapat
Pekerjaan
Mengingat sedemikian
tingginya perhatian
Islam terhadap hak-hak
individu atau
hak asasi
seseorang, sampai-sampai
orang mati dalam
keadaan mempertahankan
agama dan darahnya
dipandang sebagai
syahid.
Berikut
Hadits yang
diriwayatkan
oleh H.A
Tirmizi tentang
pandangan tersebut.
“Siapa
yang mati
karena mempertahankan agamanya, maka ia mati syahid.”
“Siapa
yang mati
karena mempertahankan darahnya, maka ia mati syahid.”
“Siapa
yang mati
karena mempertahankan keluarganya, maka ia mati syahid.”
Perbedaan HAM menurut
Islam dan
Barat
Terdapat perbedaan-perbedaan
mendasar antara
konsep HAM dalam
Islam dan
Barat
sebagaimana yang
diterima oleh
perangkat-perangkat
Internasional.
Drs. Ahmad Kosasih
M.A (2003:XXII),
secara filosofis
perbedannya berakar
pada:
1.HAM
Barat bersumber pada
pemikiran filosofis
semata, karena
sepenuhnya produk
otak
manusia,
sedangkan dalam
Islam, bersumber pada
Al-Qur’an dan Sunnah
2.HAM
di Barat dianggap sebagai
perolehan alamiah
sejak lahir.
Sedangkan dalam
pandangan
Islam, HAM merupakan anugerah
dari Tuhan.
3.HAM
Barat lebih bersifat
antrofosentrik,
sedangkan dalam
Islam, HAM bersifat theosentrik.
4.HAM
Barat lebih mengutamakan
hak daripada
kewajiban, sedangkan
dalam
Islam
mengutamakan
keseimbangan
antara hak
dan kewajiban.
Demokrasi
Secara etimologi, Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Abraham Lincoln (1809
1865) mendefinisikan bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.” yang dengan kata lain, di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat
luas dalam mengambil keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.
Asal-usul Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demokratia” yang berarti kekuasaan dari
rakyat, yang merupakan gabungan dari kata “demos” yang berarti rakyat, dan “Kratos”
yang berarti kekuasaan.
Istilah demokrasi dikenal sejak abad ke-5 dan ke-4 SM yang pada awalnya sebagai respons
terhadap pengalaman buruk monarki dan kedidaktoran di Negara-negara kota Yunani kuno
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia, Yunani.
Ketika itu bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Barulah pada 508 SM,
penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal
dari demokrasi modern. Penggagas dari demokrasi pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan,
yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama
dalam kehidupan manusia.
Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap
masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya
tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi.
Demokrasi dalam Prespektif Islam
Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang
sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian
interpretative yang mandiri (ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena
itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam terutama dalam doktrin musyawarah.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam
surat Asy-Syura Ayat 38 :
Demokrasi
Secara etimologi, Demokrasi berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Abraham Lincoln (1809
1865) mendefinisikan bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.” yang dengan kata lain, di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat
luas dalam mengambil keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.
Asal-usul Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demokratia” yang berarti kekuasaan dari
rakyat, yang merupakan gabungan dari kata “demos” yang berarti rakyat, dan “Kratos”
yang berarti kekuasaan.
Istilah demokrasi dikenal sejak abad ke-5 dan ke-4 SM yang pada awalnya sebagai respons
terhadap pengalaman buruk monarki dan kedidaktoran di Negara-negara kota Yunani kuno
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia, Yunani.
Ketika itu bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Barulah pada 508 SM,
penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal
dari demokrasi modern. Penggagas dari demokrasi pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan,
yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama
dalam kehidupan manusia.
Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap
masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya
tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi.
Demokrasi dalam Prespektif Islam
Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang
sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian
interpretative yang mandiri (ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena
itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam terutama dalam doktrin musyawarah.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam
surat Asy-Syura Ayat 38 :
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنفِقُونَ ﴿٣٨
“Dan
orang-orang yang menerima
seruan Tuhannya
dan mendirikan
shalat, sedang
urusan
mereka
(diputuskan)
dengan musyawarat
antara mereka;
dan mereka
menafkahkan
sebagian
dari rezki
yang Kami berikan
kepada mereka.” (QS
Asy-Syura :
38)
Secara garis besar prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam mencakup beberapa hal :
a.Syura’ (Musyawarah)
b.Al’adalah (Keadilan)
c.Al-Musawah (Kesejajaran)
d.Al-Amanah (Sikap dapat dipercaya)
e.Al-Masuliyyah (Tanggung jawab)
f.Al-Hurriyah (Kebebasan)
Perbedaan Demokrasi Menurut Islam dan Barat
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi
(penepatan hukum) berada di tangan rakyat (dilakukan oleh lembaga perwakilannya,
seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan rakyat.
Ketika syara mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh
rakyat sepakat membolehannya.
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sejalan dengan konsep Islam.
Dimana apabila demokrasi itu berdasarkan :
1.Demokrasi tersebut harus berada dalam payung agama.
2.Rakyat diberi kekuasaan untuk menyuarakan aspirasinya.
3.Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama
dalam musyawarah
5.Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihad, bukan pada persoalan
yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
6.Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
No comments:
Post a Comment
you say