IBX5A82D9E049639

Monday, 23 April 2018

Konseling Ciri dan Faktor (trait and factor)


Konseling Ciri dan Faktor (trait and factor) digolongkan ke dalam model konseling yang berdimensi kognitif atau rasional. Model konseling ini memecahkan masalah klien secara intelektual, logis dan rasional. Oleh karenanya konseling ini sering disebut “konseling rasional”. Konseling ini melakukan diagnosis untuk menemukan masalah klien, dan oleh karenanya konseling ini sering disebut “konseling klinis”. Konseling Ciri dan Faktor ini juga sering disebut konseling direktif (directive counseling), karena konselor secara aktif membantu klien mengarahkan perilakunya menuju pemecahan masalahnya. Dalam konseling ini kendali pemecahan masalah ditangan konselor, oleh karenanya konseling ini juga sering disebut konseling yang terpusat pada konselor (counselor centered).

Beberapa pendapat mengenai esensi konseling ini telah dikemukakan oleh para ahli model konseling ini, yang kesemuanya itu sepenuhnya menggambarkan bahwa konseling ini betul-betul bersifat direktif. Akan tetapi, kemudian terdapat perubahan pendapat pada diri mereka. Pertanyaan maupun pernyataan kepada klien kemudian, seperti pertanyaan dan pernyataan dari Williamson, Darley; Nampak tidak lagi bersifat direktif atau terpusat pada konselor. Dalam hubungan ini , Rochman Natawidjaja (1978: 73-74) mengutarakan sebagai berikut: “Pertanyaan-pertanyaan mereka yang dikemukakan kemudian, seperti halnya pertanyaan-pertanyaan di atas, tidak lagi mencerminkan sifat “terpusat pada konselor” dari model konseling ini. Hahn dan Kendal, dalam tulisannya yang berjudul “Some comments in Defence of Non-Directive Counseling” yang dimuat dalam Journal of Consulting Psychology, mengemukakan bahwa dewasa ini tidak ada pendekatan yang sifatnya terpusat pada konselor (counselor centered). Konselor professional di manapun mereka pernah mendapat pendidikan, cenderung untuk menempatkan kliennya di pusat proses konseling. Dalam pada itu, tidaklah adil kiranya apabila aliran konseling klinis ini dianggap sebagai pendekatan yang direktif, meskipun memang benar bahwa konselor-konselor dari aliran ini sampai begitu jauh mempertahankan adanya unsur-unsur pengendalian dalam penyelenggaraan wawancara; dan oleh karena itu aliran ini “lebih direktif” sifatnya daripada aliran konseling “terpusat pada klien” (client centered counseling). Dengan kata lain, konseling ini lebih direktif sifatnya daripada Konseling Non-Direktif atau konseling “Client Centered)”.
Teori atau model konseling Ciri dan Faktor (Trait and Factor) ini dipelopori oleh: E.G. Williamson dan J.G. Darley, serta pendukung-pendukung lainnya, seperti: Walter Bingham, Donald G. Paterson, Thurstone, Eysenk, dan Cattel.

Prinsip Dasar
Prinsip dasar konseling ciri dan faktor (trait dan factor), adalah sebagai berikut:
Manusia itu pada dasarnya memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk. Makna hidup itu adalah mencari kebaikan dan menolak keburukan. Oleh karena itu dalam rangka konseling, konselor harus optimis tentang hakikat manusia dan harus percaya bahwa individu itu dapat belajar menyelesaikan masalah-masalahnya teristimewa jika mereka belajar menggunakan kemampuan-kemampuannya.
Manusia tidak dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan kemampuan-kemampuannya tersebut secara penuh tanpa bantuan orang lain.

Dimensi kehidupan yang baik adalah “ekselen” (excellence), dan dengan peranan konselor dalam konseling klien dapat mencapai tingkat ekselen dalam segala hal dari kehidupannya.
Baik buruknya hidup manusia banyak tergantung pada “hubungan” antara manusia dengan alamnya. Dari hubungan dengan alamnya ini ada dua kemungkinan, yakni: (a) individu sendirian dalam ketidakramahan alama, dan (b) alam ramah dan cocok dengan perkembangan individu manusia.

Konsep Dasar/Konsep Kunci
Model konseling “ciri dan faktor” (trait and factor) digolongkan pada kelompok model konseling yang mengutamakan dimensi kognitif atau rasional dalam perlakuannya terhadap klien. Oleh karena itu, implikasi utama dari model konseling ini adalah “penggunaan tes psikologi” sebagai alat yang dipandang valid untuk memperoleh informasi yang obyektif mengenai keadaan diri individu atau klien. Model konseling ini menerangkan kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki seseorang atau klien secara intelektual, logis, dan rasional; demikian pula dalam menerapkan teknik-teknik konseling untuk membantu memecahkan kesulitan klien dilakukan secara rasional pula.

Para ahli dalam model konseling ini banyak memusatkan perhatiannya pada penggunaan atau pengembangan tes psikologi sebagai alat utama untuk memahami sifat-sifat dan kepribadiaan seseorang atau klien. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui tes psikologi, dapat dilakukan analisis dan interpretasi yang cermat dan akurat terhadap ciri-ciri kepribadian individu (klien), seperti: kemampuan intelektual, bakat, minat, sifat-sifat umum meupun sifat-sifat khususnya. Dengan hasil tes psikologi ini dapat diterangkan dan diprediksi kemampuan-kemampuan, faktor-faktor, dan sifat-sifat individualnya; dan dengan demikian dapat pula direncanakan teknik-teknik bimbingan dan konseling yang relevan dan intensif untuk individu (klien) mengembangkan dirinya dalam bidang pendidikan atau pekerjaan yang sesuai.

Meskipun analisis “trait and factor” dalam metodologi bimbingan dan konseling ini bersifat intelektual, logis, dan rasional; namun dasar filsafatnya bukanlah rasionalisme ataupun esensialisme. Dasar filsafat model konseling ini lebih dekat dengan empirisme, mempunyai pandangan yang optimistic bahwa walaupun manusia sudah dibekali dengan pembawaan, namun hal itu sama sekali tidak menentukan. Williamson menyebut dasar filsafatnya adalah personalisme, yang memandang manusia sebagai makhluk individual yang unik dan memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat dikembangkan hingga mencapai tingkat yang ekselen (excellent).

Yang menjadi dasar digunakannya tes psikologi dalam metodologi bimbingan dan konseling menurut pandangan model konseling “ciri dan faktor” (trait and factor), adalah;
Bahwa perkembangan manusia dan kepribadiannya ditentukan oleh faktor-faktor dan sifat-sifat umum (general traits) yang terdapat pada semua orang, dan sifat-sifat khusus (unique traits) yang berebda pada orang yang satu dengan orang lainnya.

Bahwa perilaku manusia terjadi menurut hukum-hukum yang dapat dimengerti melalui hubungan antara berbagai faktor dan sifat yang dimilikinya (Cattel).

Bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh sistem, struktur, dan faktor-faktor psikologis yang dimiliki baik yang bersifat khusus/khas (unique traits) maupun yang bersifat umum (common traits). Oleh karenanya dikemukakan bahwa: ersonality is the more or less stable and enduring organization of a person’s character, temperament, intellect and physique, with determines his unique adjustment to the environment (Eysenk, 1960).

a. Karena setiap individu adalah terorganisir (organized) dan memiliki berbagai potensi dan pola-pola kemampuan yang unik, dank arena kualitas hal-hal tersebutbrelatif menjadi stabil sesudah masa adolesen; maka tes psikologi dapat diandalkan secara obyektif untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik tersebut.

b. Kepribadian dan pola-pola minat individual mempunyai korelasi dengan perilaku kerja teretntu. Konsekuensinya, diperlukan identifikasi mengenai karakteristik perilaku kerja yang berhasil yang dapat digunakan sebagai informasi dalam membantu pengembangan karier individu.

c. Perumusan kurikulum sekolah pada setiap jenjang dan jenis pendidikan tertentu,, mensyaratkan kemampuan tertentu sesuai tujuan yang dilembagakan. Individu akan lebih mudah dan efektif dalam belajarnya bilamana potensi dan bakatnya kongruen dengan tuntutan kurikulum.

d. keberhasilan proses pendidikan mempunyai korelasi dengan keakuratan penempatan potensi siswa. Dalam rangka itu, diagnosis merupakan prasyarat mendasar bagi usaha pengembangan dan modifikasi proses pendidikan.

e. Setiap individu memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengenal secara kognitif kemampuan-kemampuannya, dan berusaha mengatur, memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan dirinya untuk mencapai kepuasan yang tinggi.

Jadi, berdasarkan pikiran-pikiran di atas dikembangkanlah penggunaan tes psikologi dalam metodologi bimbingan dan konseling di sekolah sebagai alat yang dipandang cukup akurat untuk memperoleh informasi yang obyektif mengenai diri siswa atau konseli.

Tujuan Konseling
Menurut Williamson, tujuan konseling adalah membantu individu mencapai tingkat ekselen(excellent) dalam segala aspek kehidupannya, dengan cara membantu atau member kemudahan (to facilitate) proses perkembangan individu klien tersebut. Lebih lanjut Williamson mengemukakan sebagai berikut: “The task of the trait-factor type of counseling is to aid the individual in successive approximations of self-understanding and self-management by means of helping him to assess his assets and liabilities in relation to the requirements of progressively changing life goals and his vocational career (Shertzer & Stone, 1980:171).

Dalam sumber lain dikemukakan bahwa tujuan konseling “trait-factor” adalah mengajar klien keterampilan-keterampilan membuat keputusan yang efektif, dengan membantu menilai karakteristik-karakteristiknya secara efektif dan mengkaitkan penilaian diri itu dengan kriteria psikologis dan sosial yang berarti (Burks, 1979:104).

Berkaitan dengan tujuan konseling ini, Williamson mencoba mengkaitkannya dengan tujuan pendidikan. Dikatakannya, tujuan konseling pada dasarnya sama dengan tujuan pendidikan, karena konseling itu sama dengan pendidikan (counseling as education).Dalam hal ini Williamson mengatakan bahwa tujuan konseling dan pendidikan adalah sama, yaitu perkembangan optimum daripada individu sebagai pribadi yang utuh dan bukan semata-mata ditujukan pada terlatihnya kemampuan intelektual (“the goals of education and of counseling are the same – the optimum development of the individual as a whole person and not solely with respect to his intellectual training”) (Patterson, 1966:19).
Hubungan Konselor-Klien

Tanpa mengurangi pentingnya teknik-teknik konseling, model konseling “cirri dan faktor”(trait-factor) member penekanan pada pentingnya human relationship di dalam konseling. Di dalam membantu individu mengembangkan diri menjadi menusia yang penuh (full humanity), dibutuhkan hubungan yang sangat individual (highly individualized) dan pribadi(Personalized). Hubungan yang bersifat pribadi itu dimaksudkan agar konselor dapat menempatkan diri secara emosional dan psikologis dalam kehidupan diri klien. Dalam hubungan ini tidak semata-mata “problem centered”, artinya bantuan tidak langsung atau tidak segera ditujukan pada pemecahan masalahnya, tetapi mengembangkan kemampuan individu untuk memecahkan sendiri masalahnya. Suatu hubungan didasarkan padamartabat dan kehormatan bantuan terhadap klien mencapai kesimpulan hipotesis tentatif yang bermanfaat, yaitu memotivasi klien sampai bisa menggunakan potensinya secara penuh (motivated him into his full potentiality).

Proses Konseling
Proses konseling “cirri dan faktor” (trait and factor) tercermin dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahap-tahap tersebut merupakan langkah-langkah konseling yang sudah barang tentu harus urut dalam pelaksanaannya. Adapun langkah-langkah konseling ‘ciri dan faktor” (trait and factor), adalah sebagai berikut:
Analisis (Analysis).Langkah ini merupakan langkah pengumpulan data atau informasi tentang diri klien termasuk lingkungannya. Pengumpulan data yang akurat biasanya dilakukan dengan menggunakan berbagai metode atau teknik utamanya tes psikologis dan dari berbagai aspek kepribadian klien. Dengan kata lain, pengumpulan data dilakukan secara integrative dan komprehensif.

Sintesis (Synthesis). Pada langkah ini, yang dilakukan konselor adalah mensintesiskan data mana yang relevan dan berguna dan yang tidak, dengan keluhan atau gejala yang muncul. Dalam membuat sintesis, konselor memadukan, menyusun, dan merangkum data yang telah ada untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan diri individu klien.
Diagnosis (Diagnosis). Pada langkah ini konselor menetapkan atau merumuskan kesimpulan tentang masalah klien serta latar belakang atau sebab-sebabnya. Secara rinci yang dilakukan konselor, adalah:
Melakukan identifikasi masalah secara deskriptif, misalnya: tergantung, kekurangan informasi, konflik internal atau konflik dalam diri sendiri, kecemasan dalam membuat pilihan, tidak ada masalah (Bordin).

Menemukan sebab-sebab. Dalam hal ini biasanya mencari hubungan antara masa lalu – masa kini – masa depan, karena dengan ini dapat diperoleh kejelasan. Dalama proses ini sering konselor menggunakan intuisinya yang kemudian dicek dengan logikanya.

Prognosis (Prognosis). Pada langkah ini konselor memprediksi tentang kemungkinan keberhasilan klien dari proses konseling, artinya memprediksi tentang hasil yang dapat dicapai oleh klien dari kegiatan-kegiatannya selama konseling, serta merumuskan bentuk bantuan yang sesuai.
Perlakuan (Treatment)atau konseling. Langkah ini merupakan langkah usaha menerapkan metode sebab-akibat. Langkah ini merupakan inti dari pelaksanaan konseling. Usaha-usaha pada langkah ini, yakni:
Menciptakan atau meningkatkan hubungan baik antara konselor dengan klien
Menafsirkan data yang telah ada dan mengkomunikasikannya kepada klien
Memberikan saran atau ide kepada klien, atau merencanakan kegiatan yang dilakukan bersama klien
Membantu klien dalam melaksanakan rencana kegiatan
Jika perlu, menunjukkan kepada konselor atau ahli lain untuk memperoleh diagnosis atau koneling dalam masalah yang lain.

Tindak lanjut (Follow-Up). Langkah ini merupakan langkah untuk menentukan apakah usaha konseling dilakukan itu efektif atau tidak. Usaha-usaha koneling yang dapat dilakukan pada langkah ini, adalah berusaha mengetahui:
Apakah klien telah melaksanakan rencana-rencana yang telah dirumuskan atau belum
Bagaimana keberhasilan pelaksanaan rencana-rencana itu
Perubahan-perubahan apa yang perlu dibuat jika ternyata belum atau tidak berhasil
Melakukan rujukan (referral) jika perlu.

Mempertimbangkan bahwa: (a) istilah analisis berbeda maknanya dengan pemahaman kita sebelumnya, dan dikuatirkan akan memperlambat pemahaman akan makna yang sebenarnya 9menurut Williamson), dan (b) budaya orang Indonesia tidak familiar dengan prosedur yang “to the point” (langsung mengumpulkan data atau analisis); maka penulis merasa perlu memodifikasi proses konseling ini sedemikian rupa sehingga mahasiswa atau peserta latih lebih familiar dan akhirnya lebih mudah memahaminya dan lebih mudah pula mengimplementasikannya. Dengan demikian, proses konseling atau langkah-langkah konseling ini (yang sudah dimodifikasi), adalah sebagai berikut:
Pendahuluan
Menyambut kehadiran klien
Menciptakan hubungan yang baik dengan klien
Mendengarkan keluhan klien
Mempersetujukan tujuan
Inti
Mengumpulkan informasi secara integral dan komprehensif
Memadukan berbagai informasi
Merumuskan/menetapkan masalah dan penyebabnya
Mencari beberapa kemungkinan jalan keluar
Memilih jalan keluar yang paling tepat
Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
Memberi pertolongan atau perlakuan (treatment) menuju jalan keluar untuk dilakukan di dalam dan/atau di luar sesi konseling
Mengevaluasi hasil pemberian pertolongan dan melakukan tindak lanjutnya
Penutup
Membuat kesimpulan
Menutup pertemuan.

Teknik Konseling
Teknik-teknik utama yang digunakan dalam konseling “Ciri dan faktor” (Trait and Factor),adalah:
Memperkuat kesesuaian antara konselor dengan klien (forcing conformity). Dalam teknik ini konselor senantiasa berusaha menjaga atau memelihara bahkan memperkuat adanya kesesuaian antara dirinya dengan klien.

Mengubah lingkungan klien (changing environment). Dalam teknik ini konselor menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien dengan cara mengubah lingkungan klien sedemikian rupa sehingga klien menjadi lebih cocok dan merasa “enjoy” berada di lingkungan tersebut.

Memilihkan atau menempatkan klien pada lingkungan yang sesuai (selecting appropriate environment).Dalam teknik ini konselor tidak menyarankan klien untuk bertahan di lingkungan klien yang sekarang, melainkan menyarankan pindah tempat atau lingkungan yang kondusif.

Mendorong klien belajar keterampilan-keterampilan yang diperlukan(learning needed skills).Dalam teknik ini, konselor mendorong klien untuk lebih proaktif belajar keterampilan yang sesuai untuk pemecahan masalahnya maupun keterampilan hidup lainnya.

Mengubah sikap klien (changing attitudes). Dalam teknik ini, atas pertimbangan yang tepat konselor bukannya mengubah lingkungan klien ataupun memindahkan klien ke lingkungan yang lain, melainkan justru mengubah sikap-sikap klien yang tidak tepat agar terjadi perubahan sedemikian rupa sehingga selanjutnya klien merasakan kebahagiaan (happiness).

Dalam hal wawancara konseling, Darley menjelaskan kaidah-kaidah dan teknik-teknikdalam wawancara konseling sebagai berikut:
Kaidah-kaidah wawancara konseling
Dalam wawancara konseling, konselor jangan menceramahi atau menghambat klien untuk berbicara
Dalam wawancara konseling, gunakan kata-kata sederhana dan berikan informasi yang tidak terlalu banyak. Sebelum memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, yakinilah terlebih dahulu apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh klien Konselor hendaknya meyakinkan diri klien bahwa (konselor) telah memahami dan menghayati sikap dan perasaan klien.

Teknik wawancara konseling
Darley mengajukan 21 teknik dalam wawancara konseling, yakni sebagai berikut:
Dalam membuka wawancara, hendaknya dapat menyentuh rasa haru klien
Susunan pertanyaan, hendaknya dapat menggugah klien untuk berbicara. Hindari pertanyaan yang jawabannya Ya atau Tidak

Untuk membuka pengalaman klien, konselor perlu mengungkap pengalaman klien dalam konseling sebelumnya dengan konselor lain.
Jangan berbicara melebihi klien, artinya tidak mendahului atau memotong

Konselor selayaknya menunjukkan sikap menerima (acceptance) sikap dan perasaan klien. Adapun sikap yang mudah ditunjukkan oleh konselor adalahmerespons atau membumbui (Jawa)
Tidak bertanya bertubi-tubi, artinya tidak bertanya yang banyak tanpa tenggang waktu
Jika klien diam atau bungkam, konselor jangan bingung dan juga jangan terlalu terburu-buru membuat kesimpulan. Sikap yang paling tepat adalah berusaha mengetahui sebab-sebab diam atau bungkam tersebut

Konselor perlu memahami dan merefleksikan perasaan atau sikap klien baik yang dinyatakan maupun yang tidak Konsleor selayaknya bersikap jujur, artinya jika mempunyai kekurangan misalnya tidak mengetahui tentang sesuatu selayaknya tidak berpura-pura mengetahui
Waktu wawancara perlu dibagi secara proporsional antar waktu bagi konselor dna waktu bagi klien, antara waktu bagian awal, waktu bagian tengah, dan waktu bagian akhir
Konselor perlu memperhatikan kemampuan klien dalam menangkap kosa kata, artinya menggunakan kata-kata yang sesuai dengan kemampuan klien
Konselor perlu membatasi usahanya dalam mengungkap masalah klien, agar klien tidak merasa malu atau jenis perasaan negatif lainnya
Dalam wawancara perlu dibuat rambu-rambu, agar tidak terpaku pada satu masalah saja atau terlalu luas. Dengan kata lain, dalam wawancara perlu adanya pengendalian arah wawancara
Hindari penggunaan sebutan pribadi konselor, seperti: “Saya kira…”, “Kalau saya jadi Anda…”, Menurut pendapat saya…”. Dan lain-lain
Konselor jangan berpura-pura, misalnya membetulkan yang salah pada diri klien; artinya konselor jangan menyembunyikan hal-hal yang kurang enak bagi klien, konselor perlu mengatakan apa adanya meskipun kurang enak bagi klien
Konselor harus siap menghadapi masalah yang lebih dari apa yang dinyatakan klien pada bagian awal (topik awal)
Hindari pertemuan dengan klien yang terlalu sering sehingga tidak memberi kesempatan kepada klien intuk mengembangkan kemandiriannya
Konselor perlu membatasi lamanya wawancara, artinya membuat wawancara tidak berkepanjangan hingga melelahkan
Konselor perlu mendorong klien menyususn alternative kegiatan atau gagasan menuju pemecahan masalahnya
Dalam merangkum hasil wawancara, konselor hendaknya menciptakan situasi yang dapat mendorong klien merangkum hasil wawancara. Jadi, konselor hendaknya mengupayakan agar rangkuman hasil wawancara disusun oleh klien atas bantuan konselor
Dalam mengakhiri wawancara, hendaknya konselor menciptakan situasi agar klien yang berinisiatif mengakhirinya.

No comments:

Post a Comment

you say