Konseling
Ciri dan Faktor (trait and factor) digolongkan ke dalam model
konseling yang berdimensi kognitif atau rasional. Model konseling ini
memecahkan masalah klien secara intelektual, logis dan rasional. Oleh karenanya
konseling ini sering disebut “konseling rasional”. Konseling ini melakukan
diagnosis untuk menemukan masalah klien, dan oleh karenanya konseling ini
sering disebut “konseling klinis”. Konseling Ciri dan Faktor ini juga sering
disebut konseling direktif (directive counseling), karena konselor
secara aktif membantu klien mengarahkan perilakunya menuju pemecahan
masalahnya. Dalam konseling ini kendali pemecahan masalah ditangan konselor,
oleh karenanya konseling ini juga sering disebut konseling yang terpusat pada
konselor (counselor centered).
Beberapa
pendapat mengenai esensi konseling ini telah dikemukakan oleh para ahli model
konseling ini, yang kesemuanya itu sepenuhnya menggambarkan bahwa konseling ini
betul-betul bersifat direktif. Akan tetapi, kemudian terdapat perubahan
pendapat pada diri mereka. Pertanyaan maupun pernyataan kepada klien kemudian,
seperti pertanyaan dan pernyataan dari Williamson, Darley; Nampak tidak lagi
bersifat direktif atau terpusat pada konselor. Dalam hubungan ini , Rochman
Natawidjaja (1978: 73-74) mengutarakan sebagai berikut: “Pertanyaan-pertanyaan
mereka yang dikemukakan kemudian, seperti halnya pertanyaan-pertanyaan di atas,
tidak lagi mencerminkan sifat “terpusat pada konselor” dari model konseling
ini. Hahn dan Kendal, dalam tulisannya yang berjudul “Some comments in Defence
of Non-Directive Counseling” yang dimuat dalam Journal of Consulting
Psychology, mengemukakan bahwa dewasa ini tidak ada pendekatan yang
sifatnya terpusat pada konselor (counselor centered). Konselor
professional di manapun mereka pernah mendapat pendidikan, cenderung untuk
menempatkan kliennya di pusat proses konseling. Dalam pada itu, tidaklah adil
kiranya apabila aliran konseling klinis ini dianggap sebagai pendekatan yang
direktif, meskipun memang benar bahwa konselor-konselor dari aliran ini sampai
begitu jauh mempertahankan adanya unsur-unsur pengendalian dalam
penyelenggaraan wawancara; dan oleh karena itu aliran ini “lebih direktif”
sifatnya daripada aliran konseling “terpusat pada klien” (client centered
counseling). Dengan kata lain, konseling ini lebih direktif sifatnya
daripada Konseling Non-Direktif atau konseling “Client Centered)”.
Teori
atau model konseling Ciri dan Faktor (Trait and Factor) ini
dipelopori oleh: E.G. Williamson dan J.G. Darley, serta pendukung-pendukung
lainnya, seperti: Walter Bingham, Donald G. Paterson, Thurstone, Eysenk, dan
Cattel.
Prinsip
Dasar
Prinsip
dasar konseling ciri dan faktor (trait dan factor), adalah sebagai
berikut:
Manusia
itu pada dasarnya memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk. Makna hidup
itu adalah mencari kebaikan dan menolak keburukan. Oleh karena itu dalam rangka
konseling, konselor harus optimis tentang hakikat manusia dan harus percaya
bahwa individu itu dapat belajar menyelesaikan masalah-masalahnya teristimewa
jika mereka belajar menggunakan kemampuan-kemampuannya.
Manusia
tidak dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan kemampuan-kemampuannya tersebut
secara penuh tanpa bantuan orang lain.
Dimensi
kehidupan yang baik adalah “ekselen” (excellence), dan dengan peranan
konselor dalam konseling klien dapat mencapai tingkat ekselen dalam segala hal
dari kehidupannya.
Baik
buruknya hidup manusia banyak tergantung pada “hubungan” antara manusia dengan
alamnya. Dari hubungan dengan alamnya ini ada dua kemungkinan, yakni: (a)
individu sendirian dalam ketidakramahan alama, dan (b) alam ramah dan cocok
dengan perkembangan individu manusia.
Konsep
Dasar/Konsep Kunci
Model
konseling “ciri dan faktor” (trait and factor) digolongkan pada kelompok
model konseling yang mengutamakan dimensi kognitif atau rasional dalam
perlakuannya terhadap klien. Oleh karena itu, implikasi utama dari model
konseling ini adalah “penggunaan tes psikologi” sebagai alat yang dipandang
valid untuk memperoleh informasi yang obyektif mengenai keadaan diri individu
atau klien. Model konseling ini menerangkan kesulitan-kesulitan,
kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki seseorang atau klien
secara intelektual, logis, dan rasional; demikian pula dalam menerapkan
teknik-teknik konseling untuk membantu memecahkan kesulitan klien dilakukan
secara rasional pula.
Para
ahli dalam model konseling ini banyak memusatkan perhatiannya pada penggunaan
atau pengembangan tes psikologi sebagai alat utama untuk memahami sifat-sifat
dan kepribadiaan seseorang atau klien. Berdasarkan informasi yang diperoleh
melalui tes psikologi, dapat dilakukan analisis dan interpretasi yang cermat
dan akurat terhadap ciri-ciri kepribadian individu (klien), seperti: kemampuan
intelektual, bakat, minat, sifat-sifat umum meupun sifat-sifat khususnya.
Dengan hasil tes psikologi ini dapat diterangkan dan diprediksi
kemampuan-kemampuan, faktor-faktor, dan sifat-sifat individualnya; dan dengan
demikian dapat pula direncanakan teknik-teknik bimbingan dan konseling yang
relevan dan intensif untuk individu (klien) mengembangkan dirinya dalam bidang
pendidikan atau pekerjaan yang sesuai.
Meskipun
analisis “trait and factor” dalam metodologi bimbingan dan konseling ini
bersifat intelektual, logis, dan rasional; namun dasar filsafatnya bukanlah
rasionalisme ataupun esensialisme. Dasar filsafat model konseling ini lebih
dekat dengan empirisme, mempunyai pandangan yang optimistic bahwa walaupun
manusia sudah dibekali dengan pembawaan, namun hal itu sama sekali tidak
menentukan. Williamson menyebut dasar filsafatnya adalah personalisme, yang
memandang manusia sebagai makhluk individual yang unik dan memiliki
kemampuan-kemampuan yang dapat dikembangkan hingga mencapai tingkat yang
ekselen (excellent).
Yang
menjadi dasar digunakannya tes psikologi dalam metodologi bimbingan dan
konseling menurut pandangan model konseling “ciri dan faktor” (trait and
factor), adalah;
Bahwa
perkembangan manusia dan kepribadiannya ditentukan oleh faktor-faktor dan
sifat-sifat umum (general traits) yang terdapat pada semua orang, dan
sifat-sifat khusus (unique traits) yang berebda pada orang yang satu
dengan orang lainnya.
Bahwa
perilaku manusia terjadi menurut hukum-hukum yang dapat dimengerti melalui
hubungan antara berbagai faktor dan sifat yang dimilikinya (Cattel).
Bahwa
perilaku seseorang ditentukan oleh sistem, struktur, dan faktor-faktor
psikologis yang dimiliki baik yang bersifat khusus/khas (unique traits) maupun
yang bersifat umum (common traits). Oleh karenanya dikemukakan bahwa:
ersonality is the more or less stable and enduring organization of a person’s
character, temperament, intellect and physique, with determines his unique
adjustment to the environment (Eysenk, 1960).
a.
Karena setiap individu adalah terorganisir (organized) dan memiliki
berbagai potensi dan pola-pola kemampuan yang unik, dank arena kualitas hal-hal
tersebutbrelatif menjadi stabil sesudah masa adolesen; maka tes psikologi dapat
diandalkan secara obyektif untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik
tersebut.
b.
Kepribadian dan pola-pola minat individual mempunyai korelasi dengan perilaku
kerja teretntu. Konsekuensinya, diperlukan identifikasi mengenai karakteristik
perilaku kerja yang berhasil yang dapat digunakan sebagai informasi dalam
membantu pengembangan karier individu.
c.
Perumusan kurikulum sekolah pada setiap jenjang dan jenis pendidikan tertentu,,
mensyaratkan kemampuan tertentu sesuai tujuan yang dilembagakan. Individu akan
lebih mudah dan efektif dalam belajarnya bilamana potensi dan bakatnya kongruen
dengan tuntutan kurikulum.
d.
keberhasilan proses pendidikan mempunyai korelasi dengan keakuratan penempatan
potensi siswa. Dalam rangka itu, diagnosis merupakan prasyarat
mendasar bagi usaha pengembangan dan modifikasi proses pendidikan.
e.
Setiap individu memiliki kemampuan dan keinginan untuk mengenal secara kognitif
kemampuan-kemampuannya, dan berusaha mengatur, memelihara, mempertahankan, dan
mengembangkan dirinya untuk mencapai kepuasan yang tinggi.
Jadi,
berdasarkan pikiran-pikiran di atas dikembangkanlah penggunaan tes psikologi
dalam metodologi bimbingan dan konseling di sekolah sebagai alat yang dipandang
cukup akurat untuk memperoleh informasi yang obyektif mengenai diri siswa atau
konseli.
Tujuan
Konseling
Menurut
Williamson, tujuan konseling adalah membantu individu mencapai tingkat ekselen(excellent) dalam
segala aspek kehidupannya, dengan cara membantu atau member kemudahan (to
facilitate) proses perkembangan individu klien tersebut. Lebih lanjut
Williamson mengemukakan sebagai berikut: “The task of the trait-factor type of
counseling is to aid the individual in successive approximations of
self-understanding and self-management by means of helping him to assess his
assets and liabilities in relation to the requirements of progressively
changing life goals and his vocational career (Shertzer & Stone, 1980:171).
Dalam
sumber lain dikemukakan bahwa tujuan konseling “trait-factor” adalah mengajar
klien keterampilan-keterampilan membuat keputusan yang efektif, dengan membantu
menilai karakteristik-karakteristiknya secara efektif dan mengkaitkan penilaian
diri itu dengan kriteria psikologis dan sosial yang berarti (Burks, 1979:104).
Berkaitan
dengan tujuan konseling ini, Williamson mencoba mengkaitkannya dengan tujuan
pendidikan. Dikatakannya, tujuan konseling pada dasarnya sama dengan tujuan
pendidikan, karena konseling itu sama dengan pendidikan (counseling as
education).Dalam hal ini Williamson mengatakan bahwa tujuan konseling dan
pendidikan adalah sama, yaitu perkembangan optimum daripada individu sebagai
pribadi yang utuh dan bukan semata-mata ditujukan pada terlatihnya kemampuan
intelektual (“the goals of education and of counseling are the same – the
optimum development of the individual as a whole person and not solely with
respect to his intellectual training”) (Patterson, 1966:19).
Hubungan
Konselor-Klien
Tanpa
mengurangi pentingnya teknik-teknik konseling, model konseling “cirri dan
faktor”(trait-factor) member penekanan pada pentingnya human
relationship di dalam konseling. Di dalam membantu individu mengembangkan
diri menjadi menusia yang penuh (full humanity), dibutuhkan hubungan
yang sangat individual (highly individualized) dan pribadi(Personalized). Hubungan
yang bersifat pribadi itu dimaksudkan agar konselor dapat menempatkan diri
secara emosional dan psikologis dalam kehidupan diri klien. Dalam hubungan ini
tidak semata-mata “problem centered”, artinya bantuan tidak langsung
atau tidak segera ditujukan pada pemecahan masalahnya, tetapi mengembangkan
kemampuan individu untuk memecahkan sendiri masalahnya. Suatu hubungan
didasarkan padamartabat dan kehormatan bantuan terhadap klien
mencapai kesimpulan hipotesis tentatif yang bermanfaat, yaitu memotivasi klien
sampai bisa menggunakan potensinya secara penuh (motivated him into his
full potentiality).
Proses
Konseling
Proses
konseling “cirri dan faktor” (trait and factor) tercermin dalam
tahapan-tahapan tertentu. Tahap-tahap tersebut merupakan langkah-langkah
konseling yang sudah barang tentu harus urut dalam pelaksanaannya. Adapun
langkah-langkah konseling ‘ciri dan faktor” (trait and factor), adalah
sebagai berikut:
Analisis (Analysis).Langkah
ini merupakan langkah pengumpulan data atau informasi tentang diri klien
termasuk lingkungannya. Pengumpulan data yang akurat biasanya dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode atau teknik utamanya tes psikologis dan dari
berbagai aspek kepribadian klien. Dengan kata lain, pengumpulan data dilakukan
secara integrative dan komprehensif.
Sintesis (Synthesis). Pada
langkah ini, yang dilakukan konselor adalah mensintesiskan data mana yang
relevan dan berguna dan yang tidak, dengan keluhan atau gejala yang muncul.
Dalam membuat sintesis, konselor memadukan, menyusun, dan merangkum data yang
telah ada untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan diri
individu klien.
Diagnosis (Diagnosis). Pada
langkah ini konselor menetapkan atau merumuskan kesimpulan tentang masalah
klien serta latar belakang atau sebab-sebabnya. Secara rinci
yang dilakukan konselor, adalah:
Melakukan
identifikasi masalah secara deskriptif, misalnya: tergantung, kekurangan
informasi, konflik internal atau konflik dalam diri sendiri, kecemasan dalam
membuat pilihan, tidak ada masalah (Bordin).
Menemukan
sebab-sebab. Dalam hal ini biasanya mencari hubungan antara masa lalu – masa
kini – masa depan, karena dengan ini dapat diperoleh kejelasan. Dalama proses
ini sering konselor menggunakan intuisinya yang kemudian dicek dengan
logikanya.
Prognosis (Prognosis). Pada
langkah ini konselor memprediksi tentang kemungkinan keberhasilan klien dari
proses konseling, artinya memprediksi tentang hasil yang dapat dicapai oleh
klien dari kegiatan-kegiatannya selama konseling, serta merumuskan bentuk
bantuan yang sesuai.
Perlakuan (Treatment)atau
konseling. Langkah ini merupakan langkah usaha menerapkan metode
sebab-akibat. Langkah ini merupakan inti dari pelaksanaan konseling.
Usaha-usaha pada langkah ini, yakni:
Menciptakan
atau meningkatkan hubungan baik antara konselor dengan klien
Menafsirkan
data yang telah ada dan mengkomunikasikannya kepada klien
Memberikan
saran atau ide kepada klien, atau merencanakan kegiatan yang dilakukan bersama
klien
Membantu
klien dalam melaksanakan rencana kegiatan
Jika
perlu, menunjukkan kepada konselor atau ahli lain untuk memperoleh diagnosis
atau koneling dalam masalah yang lain.
Tindak
lanjut (Follow-Up). Langkah ini merupakan langkah untuk menentukan apakah
usaha konseling dilakukan itu efektif atau tidak. Usaha-usaha koneling yang
dapat dilakukan pada langkah ini, adalah berusaha mengetahui:
Apakah
klien telah melaksanakan rencana-rencana yang telah dirumuskan atau belum
Bagaimana
keberhasilan pelaksanaan rencana-rencana itu
Perubahan-perubahan
apa yang perlu dibuat jika ternyata belum atau tidak berhasil
Melakukan
rujukan (referral) jika perlu.
Mempertimbangkan
bahwa: (a) istilah analisis berbeda maknanya dengan pemahaman kita sebelumnya,
dan dikuatirkan akan memperlambat pemahaman akan makna yang sebenarnya 9menurut
Williamson), dan (b) budaya orang Indonesia tidak familiar dengan prosedur yang
“to the point” (langsung mengumpulkan data atau analisis); maka penulis merasa
perlu memodifikasi proses konseling ini sedemikian rupa sehingga mahasiswa atau
peserta latih lebih familiar dan akhirnya lebih mudah memahaminya dan lebih
mudah pula mengimplementasikannya. Dengan demikian, proses konseling atau
langkah-langkah konseling ini (yang sudah dimodifikasi), adalah sebagai
berikut:
Pendahuluan
Menyambut
kehadiran klien
Menciptakan
hubungan yang baik dengan klien
Mendengarkan
keluhan klien
Mempersetujukan
tujuan
Inti
Mengumpulkan
informasi secara integral dan komprehensif
Memadukan
berbagai informasi
Merumuskan/menetapkan
masalah dan penyebabnya
Mencari
beberapa kemungkinan jalan keluar
Memilih
jalan keluar yang paling tepat
Merencanakan
pelaksanaan jalan keluar
Memberi
pertolongan atau perlakuan (treatment) menuju jalan keluar untuk
dilakukan di dalam dan/atau di luar sesi konseling
Mengevaluasi
hasil pemberian pertolongan dan melakukan tindak lanjutnya
Penutup
Membuat
kesimpulan
Menutup
pertemuan.
Teknik Konseling
Teknik-teknik
utama yang digunakan dalam konseling “Ciri dan faktor” (Trait and Factor),adalah:
Memperkuat
kesesuaian antara konselor dengan klien (forcing conformity). Dalam
teknik ini konselor senantiasa berusaha menjaga atau memelihara bahkan
memperkuat adanya kesesuaian antara dirinya dengan klien.
Mengubah
lingkungan klien (changing environment). Dalam teknik ini konselor
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien dengan cara mengubah lingkungan
klien sedemikian rupa sehingga klien menjadi lebih cocok dan merasa “enjoy”
berada di lingkungan tersebut.
Memilihkan
atau menempatkan klien pada lingkungan yang sesuai (selecting appropriate
environment).Dalam teknik ini konselor tidak menyarankan klien untuk bertahan
di lingkungan klien yang sekarang, melainkan menyarankan pindah tempat atau
lingkungan yang kondusif.
Mendorong
klien belajar keterampilan-keterampilan yang diperlukan(learning needed
skills).Dalam teknik ini, konselor mendorong klien untuk lebih proaktif belajar
keterampilan yang sesuai untuk pemecahan masalahnya maupun keterampilan hidup
lainnya.
Mengubah
sikap klien (changing attitudes). Dalam teknik ini, atas pertimbangan yang
tepat konselor bukannya mengubah lingkungan klien ataupun memindahkan klien ke
lingkungan yang lain, melainkan justru mengubah sikap-sikap klien yang tidak
tepat agar terjadi perubahan sedemikian rupa sehingga selanjutnya klien
merasakan kebahagiaan (happiness).
Dalam
hal wawancara konseling, Darley menjelaskan kaidah-kaidah dan teknik-teknikdalam
wawancara konseling sebagai berikut:
Kaidah-kaidah
wawancara konseling
Dalam
wawancara konseling, konselor jangan menceramahi atau menghambat klien untuk
berbicara
Dalam
wawancara konseling, gunakan kata-kata sederhana dan berikan informasi yang
tidak terlalu banyak. Sebelum
memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, yakinilah terlebih dahulu apa
yang sebenarnya dibutuhkan oleh klien Konselor
hendaknya meyakinkan diri klien bahwa (konselor) telah memahami dan menghayati
sikap dan perasaan klien.
Teknik
wawancara konseling
Darley
mengajukan 21 teknik dalam wawancara konseling, yakni sebagai berikut:
Dalam
membuka wawancara, hendaknya dapat menyentuh rasa haru klien
Susunan
pertanyaan, hendaknya dapat menggugah klien untuk berbicara. Hindari pertanyaan
yang jawabannya Ya atau Tidak
Untuk
membuka pengalaman klien, konselor perlu mengungkap pengalaman klien dalam
konseling sebelumnya dengan konselor lain.
Jangan
berbicara melebihi klien, artinya tidak mendahului atau memotong
Konselor
selayaknya menunjukkan sikap menerima (acceptance) sikap dan perasaan
klien. Adapun sikap yang mudah ditunjukkan oleh konselor adalahmerespons atau membumbui (Jawa)
Tidak
bertanya bertubi-tubi, artinya tidak bertanya yang banyak tanpa tenggang waktu
Jika
klien diam atau bungkam, konselor jangan bingung dan juga jangan terlalu
terburu-buru membuat kesimpulan. Sikap yang paling tepat adalah berusaha
mengetahui sebab-sebab diam atau bungkam tersebut
Konselor
perlu memahami dan merefleksikan perasaan atau sikap klien baik yang dinyatakan
maupun yang tidak Konsleor
selayaknya bersikap jujur, artinya jika mempunyai kekurangan misalnya tidak
mengetahui tentang sesuatu selayaknya tidak berpura-pura mengetahui
Waktu
wawancara perlu dibagi secara proporsional antar waktu bagi konselor dna waktu
bagi klien, antara waktu bagian awal, waktu bagian tengah, dan waktu bagian
akhir
Konselor
perlu memperhatikan kemampuan klien dalam menangkap kosa kata, artinya
menggunakan kata-kata yang sesuai dengan kemampuan klien
Konselor
perlu membatasi usahanya dalam mengungkap masalah klien, agar klien tidak
merasa malu atau jenis perasaan negatif lainnya
Dalam
wawancara perlu dibuat rambu-rambu, agar tidak terpaku pada satu masalah saja
atau terlalu luas. Dengan kata lain, dalam wawancara perlu adanya pengendalian
arah wawancara
Hindari
penggunaan sebutan pribadi konselor, seperti: “Saya kira…”, “Kalau saya jadi
Anda…”, Menurut pendapat saya…”. Dan lain-lain
Konselor
jangan berpura-pura, misalnya membetulkan yang salah pada diri klien; artinya
konselor jangan menyembunyikan hal-hal yang kurang enak bagi klien, konselor
perlu mengatakan apa adanya meskipun kurang enak bagi klien
Konselor
harus siap menghadapi masalah yang lebih dari apa yang dinyatakan klien pada
bagian awal (topik awal)
Hindari
pertemuan dengan klien yang terlalu sering sehingga tidak memberi kesempatan
kepada klien intuk mengembangkan kemandiriannya
Konselor
perlu membatasi lamanya wawancara, artinya membuat wawancara tidak
berkepanjangan hingga melelahkan
Konselor
perlu mendorong klien menyususn alternative kegiatan atau gagasan menuju
pemecahan masalahnya
Dalam
merangkum hasil wawancara, konselor hendaknya menciptakan situasi yang dapat
mendorong klien merangkum hasil wawancara. Jadi, konselor hendaknya
mengupayakan agar rangkuman hasil wawancara disusun oleh klien atas bantuan
konselor
Dalam
mengakhiri wawancara, hendaknya konselor menciptakan situasi agar klien yang
berinisiatif mengakhirinya.
No comments:
Post a Comment
you say