Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan keefektifan pembelajaran cooperative learning (type student team achiement
division dan type think-pair-share) dan keefektifan pembelajaran coope- rative
learning type student
team achiement division dibandingkan dengan pembelajaran cooperative lerning type think-pair-share ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komu- nikasi matematika, dan berpikir matematis siswa
SMP. Jenis penelitian ini adalah quasi experiment dengan pretest-posttest nonequivalent group design. Populasi dan sampelnya adalah siswa Kelas VIII SMP Negeri
7 Yogyakarta dan siswa Kelas VIII A dan VIII B.Untuk
menguji keefektifan metode (type student team achiement
division dan type think-pair-share), data dianalisis menggunakan uji one sample t-test. Untuk menguji bahwa metode type student team achiement division lebih efektif dari- pada metode think-pair-share, data dianalisis menggunakan MANOVA yang dilanjutkan dengan uji t- Benferroni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran (type student team achiement division dan type think-pair-share) efektif
dan metode type student team achiement division lebih efektif daripada metode type think-pair-share ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi
matematika, dan berpikir matematis siswa SMP.
Kata kunci:
Pembelajaran Cooperative Learning Type STAD,
Cooperative Learning Type TPS, Ketercapaian Standar
Kompetensi, Kemampuan
Komunikasi Matematika, Berpikir
matematis
COMPARISON BETWEEN THE EFFECTIVENESS OF THE STAD AND TPS
COOPERATIVE LEARNING IN GEOMETRIC OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS
Abstract
This study aims to describe
the effectiveness between the student team achievement division and think-pair-share cooperative learning and the effectiveness of the student
team achievement division compared with think-pair-share cooperative learning in the mathematics competence standard attainment, mathematical communication skill, and mathematical thinking of junior high school
students. This study was a quasi experimental study using the pretest-posttest nonequivalent group design. The research population comprised all Year VIII students of SMP Negeri 7 Yogyakarta. From the population, two classes, Class VIII A and Class VIII B, were selected
randomly as the research sample. To test the effectiveness of the student team achievement division and think-pair-share, the one sample t-test was carried out. Then, to test the more effectiveness of the student
team achievement division than the think-pair-share, the MANOVA was carried out and then continued by the t- Benferroni test. The results
of the study show that the student team achievement division and think-
pair-share are effective and the student
team achievement division is more effective than the think- pair-share cooperative learning in the mathematics competence standard attainment, mathematical communication skill, and mathematical thinking of
junior high school students.
Keywords: Cooperative learning type STAD, Coperative learning type TPS, mathematics competence standard attainment, mathematical
communication skill, and mathematical thinking.
PENDAHULUAN
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekno- logi menuntut
seseorang untuk dapat menguasai
informasi dan pengetahuan yang ada (Herma- wan, 2007, p.41) sehingga diperlukan suatu kemampuan memperoleh, memilih, dan menge- lola informasi. Kemampuan-kemampuan terse-
but harus didasari
oleh pemikiran yang kritis, sistematis, dan logis, karena kemampuan terse-
but sangat penting dalam menganalisa, meng- evaluasi
segala argumen untuk mampu membuat
keputusan yang rasional dan bertanggungjawab. Oleh karena itu diperlukan suatu program
pen- didikan yang dapat mengembangkan kemampu-
an berpikir kritis, sistematis
dan logis. Salah satu program
pendidikan yang dapat mengembang- kan kemampuan tersebut
adalah matematika.
Melihat pentingnya matematika dan pe- ranannya
dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persaingan global
maka peningkatan mutu pendidikan mate- matika
di semua jenis dan jenjang
pendidikan harus selalu diupayakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyempurna- kan kurikulum pendidikan. Pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika di jenjang
SMP adalah: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar kon- sep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalar- an pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, me- nyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) Memecahkan masa- lah yang meliputi
kemampuan memahami masa- lah, merancang model matematika, menyelesai- kan model dan menafsirkan solusi yang diper-
oleh, (4) Mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah,
(5) Memi- liki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. (Depdiknas, 2006, p.346).
Berdasarkan tujuan tersebut, setidaknya terdapat beberapa kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh siswa setelah mempelajari mate-
matika, diantaranya: menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi mate- matika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti,
serta mampu mengkomunikasikan gagas- an atau ide-ide matematika.
Namun, fakta di lapangan
selalu ada ma- salah dalam mencapai tujuan tesebut dan sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Selan- jutnya, masalah
itu pun, bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup yang besar, melainkan terjadi dalam ruang lingkup yang lebih kecil, seperti di SMP Negeri
7 Yogyakarta. Adapun beberapa
masalah tersebut, antara lain:
prestasi belajar matematika siswa masih tergolong ren- dah, kemampuan komunikasi matematika masih rendah, metode siswa masih belum berkembang dengan baik.
Hermawan
(2007, p.42) menyatakan salah satu penyebab rendahnya kualitas
pemahaman siswa dalam matematika menurut
hasil survey IMSTEP-JICA adalah bahwa dalam pembelajar- an matematika guru terlalu
berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural
dan
mekanistik, pem- belajaran berpusat pada guru, konsep matema- tika disampaikan secara informatif, siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya, kemampuan kom- petensi strategis siswa tidak berkembang. Ber- dasarkan
data hasil Ulangan
Harian siswa SMP Negeri 7 Yogyakarta tiga tahun terakhir
khusus- nya pada materi bangun ruang sisi datar diketa-
hui pada tahun pelajaran
2010/2011 nilai rata-
rata 6,07, pada tahun pelajaran 2011/2012 nilai rata-rata 7,10 dan pada
tahun pelajaran 2012/ 2013 nilai rata-rata 5,21. Berdasarkan data terse- but diketahui
bahwa pada tahun 2012/2013
mengalami penurunan yang signifikan dibandig- kan dengan tahun pelajaran
sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya
penurunan kompetensi yang dimiliki
siswa.
Selanjutnya diketahui bahwa nilai ke- mampuan
komunikasi matematika siswa tiga tahun terakhir masih rendah.
Pada tahun pelajaran
2010/2011 nilai rata-rata
5,00, pada tahun pelajaran
2011/2012 nilai rata-rata 6,13 dan pada tahun pelajaran
2012/2013 nilai rata-
rata 5,21. Hal ini disebabkan karena dalam proses
pembelajaran guru belum melatih
siswa untuk mengerjakan soal-soal yang dapat me- munculkan komunikasi matematika, siswa tidak dituntut untuk mengevaluasi dan menjelaskan alasan atas jawaban yang diberikan. Berkaitan dengan kemampuan berpikir matematis siswa, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada kelas VIII A dan VIII B SMPM Negeri Yogyakarta diketahui bahwa
guru juga belum mengajarkan atau mengembangkan ber- pikir matematis
siswa, guru tidak memberikan
masalah yang dapat memunculkan metode mate- matika
siswa, sehingga siswa kesulitan
dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
Menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan kondisi kegiatan pembelajaran di kelas,
ketercapaian standar kompetensi, kemapuan ko- munikasi matematika, dan berpikir matematis siswa, maka perlu upaya perbaikan
dan inovasi dalam proses pembelajaran. Salah satu upaya pembenahan dalam rangka meningkatkan ke- mampuan
(ketercapaian standar kompetensi), komunikasi, dan berpikir matematis siswa difo- kuskan pada pemberian
kesempatan siswa untuk membangun pengetahuannya secara aktif, arti-
nya pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa sendiri baik secara
individu maupun kelompok
dengan mengguna- kan pembelajaran cooperative learning.
Melalui pembelajaran cooperative learn- ing diharapkan di kelas siswa aktif secara indi-
vidu, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, kreatif
mencari solusi dari suatu permasalahan yang dihadapi, memiliki berpikir matematis dan kepercayaan diri yang tinggi dalam pembelajar- an matematika, karena
pembelajaran coopera- tive learning dapat meningkatkan prestasi bel- ajar (ketercapaian standar
kompetensi). Begitu juga pada aspek komunikasi, dan berpikir matematis
siswa.
Dua tipe pembelajaran cooperative learn- ing yang menyenangkan dan mengaktifkan sis- wa adalah pembelajaran dengan teknik student Teams Achievement (STAD) Division dan Think Pair Share (TPS). Pembelajaran dengan teknik STAD dan TPS adalah pembelajaran yang merangsang aktivitas siswa untuk berfikir
dan
mendiskusikan hasil pemikirannya dengan teman, dan juga merangsang keberanian siswa untuk mengemukakan pendapatnya di depan kelas.
Cooperative learning type Student Team Achievement Division (STAD) yang dikembang- kan oleh Robert
Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin tahun 1980 merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.
Arends
& Kilcher (2010,
p.317), menjelaskan, “STAD involves students working together in groups and groups that compete
with each other”. STAD melibatkan siswa bekerja bersama dalam kelompok
dan masing-masing kelompok
ber- saing dengan
yang lain.
Bagian
yang
paling
esensial dari cooperative learning tipe STAD adalah adanya kerjasama
anggota kelompok
dan kompetisi antar kelompok.
Siswa bekerja dalam kelompok untuk belajar dari temannya serta mengajar
temannya.
Menurut Majoka
(2010,
p.6), Student
Team Achievement Division
(STAD) is a coope- rative-learning strategy in which small groups of learners
with different levels of ability
work together to accomplish a shared learning
goal. Pernyataan diatas menjelaskan
bahwa Student Team
Achievement Division (STAD) adalah strategi
pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar pada kelompok-kelompok kecil dengan
berbagai tingkat kemampuan dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan belajar bersama. Selan- jutnya
Borich (2007, p.388)
menjelaskan,
in Student
Teams-Achievement Division (STAD),
the teacher assigns students to 4- or 5-member
learning teams. Each team is as heterogeneous as possible to represent
the
composition of the
entire class (boys/girls, higher
performing/lower performing, etc.)
Pada STAD, seorang guru menempatkan 4 sampai 5 siswa dalam kelompok
belajar. Ang- gota tiap tim heterogen
yang mewakili kompo- sisi dari isi kelas (Laki-laki/perempuan, ber- kemampuan tinggi/berkemampuan rendah, dan lain-lain). Pendapat di atas mempertegas bahwa dalam STAD, secara khusus
siswa bekerja da- lam kelompok-kelompok yang heterogen, siswa yang pintar
berperan sebagai
tutor bagi siswa yang berkemampuan rendah, antara siswa satu dengan siswa yang lainnya
saling berbagi dan mengumpulkan informasi, saling membantu untuk berlajar dan bertanggung jawab atas pel- ajaran anggota
kelompok lainnya
sebagaimana terhadap dirinya
sendiri.
Slavin (1995, p.5)
menjelaskan bahwa,
in STAD, student are assigned to four- member learning teams that are mixed in performance level, gender, and ethnicity. The teacher
present a lesson,
and then students
work within their teams to make sure
all team members
have mastered the lesson. Then,
all students take individual quizzes in on the material,
at which time they may not help one another.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa dalam STAD, siswa dibagi dalam kelompok belajar yang terdiri
atas empat orang yang berbeda
tingkat kemampuan, jenis
kelamin dan etniknya.
Guru menyampaikan
pelajaran, lalu
siswa diarahkan untuk bekerja dalam kelompok
mereka dan memastikan bahwa semua anggota
kelompok telah menguasai materi yang ditugas- kan. Selanjutnya semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling membantu.STAD memiliki lima tahapan
pem- belajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar yaitu presentasi kelas, kerja kelompok, kuis, peningkatan skor individu dan rekognisi
tim.
Mengajukan pertanyaan selama pembel-
ajaran di kelas adalah cara yang tepat untuk mengaktifkan siswa, mengukur pemahaman siswa, atau mengarahkan siswa dalam menerap-
kan pengetahuan baru. Salah satu strategi
yang memadukan pola berpikir
individu dan kelom-
pok adalah Think-Pair-Share (TPS).
Strategi ini dikembangkan oleh Frank Lyman dari university of
Maryland (Slavin,
1995, p.132).
Pembelajaran Think-Pair-Share memiliki
prosedur yang diterapkan secara eksplisit untuk memberikan siswa waktu lebih banyak untuk berfikir,
menjawab dan saling membantu satu sama lain. Pada strategi
ini guru hanya berperan
sebagai fasilitator sehingga guru menyajikan satu materi dalam waktu pembahasan yang relatif singkat. Setelah itu giliran
siswa untuk memikirkan secara mendalam tentang apa yang telah dijelaskan
Arra, D’Antonio (2011, p.115) menyatakan:
In this approach
(Think-Pair-Share), the instructor poses
a problem with many possible answers. The students
write an answer and pass the sheet amongst the group. Finally, the group discusses
all possible answers on the sheet.
Berdasarkan pernyataan diatas diketahui bahwa
dalam Think-Pair-Share, instruktur
mem- berikan pertanyaan ke kelas, siswa berpikir
tentang pertanyaan, dan siswa
berbagi pikiran mereka dengan
siswa lain. Oleh karena itu diharapkan siswa dapat
aktif pada saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga diskusi kelompok yang dilakukan dapat memberikan dampak positif dalam pembelajaran dikelas.
Terkait penerapan think-pair-share, Slavin (1995, p.132) menjelasan
bahwa,
when the teacher presents a lesson to the class, student
sit in pairs within their teams. The teacher
poses questions to the class. Students are instructed to think of an answer
on their own, then to pair with their partner
to reach consensus on an answer.
Finally, the teacher asks students
to share their agreed-upon answer with the rest of the class.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ketika guru mengajar
di kelas, siswa diarahkan
untuk duduk berpasangan dalam timnya. Kemu- dian guru mengajukan pertanyaan. Siswa diarah-
kan untuk memikirkan sebuah jawaban
mereka sendiri, kemudian
siswa duduk berpasangan de- ngan pasangannya untuk memperoleh jawaban
yang disepakati berdua. Terakhir guru meminta
siswa untuk berbagi pendapat dengan kelompok
lain dalam kelas.
Kinzie
& Markovchick (2005, p.67) menjelaskan,
think-Pair-Share: This strategy
is designed to encourage student involvement. First, participants listen to the teacher's question. Then they think of a response.
They pair up with someone
and discuss their responses. Finally, they are asked to share their responses with the whole group. Usually a time limit is set
for each step.
Deskripsi
tersebut menjelaskan bahwa Think-Pair-Share merupakan strategi yang dirancang untuk mendorong keterlibatan siswa. Tahap pertama, siswa mendengarkan pertanyaan guru. Kemudian memikirkan sebuah jawaban-
nya. Mereka berpasangan dengan seorang siswa lainnya dan mendiskusikan jawaban mereka. Terakhir, mereka diminta
untuk menjelaskan/ berbagi
jawaban dengan kelompok
lain.
Kompetensi dalam bidang matematika merupakan kemampuan unjuk kerja keahlian, yang dibentuk melalui pengetahuan, keterampil- an dan pembinaan sikap tentang matematika. Kompetensi matematika seseorang dapat dilihat dari kemampuannya memenuhi tuntutan
spe- sifikasi pekerjaan, atau kemampuan
tingkah laku unjuk kerja dalam menangani pekerjaan dalam kegiatan matematika.
Maton & Moore (2010,
p.104) mendefi-
nisikan kompetensi sebagai: “competency com- prises the specification of knowledge
and skill and the application of that knowledge and skill to the standard
of performance required
in the workplace”. Pendapat
tersebut menjelaskan bah- wa kompetensi didefenisikan sebagai spesifikasi pengetahuan dan keterampilan serta penerapan- nya dengan
standar kinerja yang dibutuhkan di tempat kerja. Sedangkan
menurut Young (1998,
p.75), “competencies-are defined
in terms of observable performances”. Secara
singkat dije-
laskan bahwa kompetensi adalah suatu istilah
dari kinerja yang diamati.
Standar diartikan sebagai “ukuran” yang disepakati, sedangkan kompetensi telah didefi-
nisikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan. Oleh karena itu dapatlah
disepakati bahwa standar
kompetensi merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang kompetensi yang diperlukan pada suatu bidang pekerjaan oleh seluruh “stakeholder” di bidang-
nya DIKTI (2011, p.29).
Pendapat lain dalam Permendiknas nomor 22 tahum 2006 menyatakan standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap,
pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap tingkat dan/atau
semester, standar
kompetensi terdiri atas sejumlah
kompe- tensi dasar sebagai
acuan baku yang harus dica- pai dan berlaku secara nasional. Sehingga de- ngan kata lain, yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah perumusan
tentang kemam-
puan yang harus dimiliki
seseorang untuk mela- kukan suatu tugas atau pekerjaan
yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai
dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan.
Permendiknas No. 41 tahun 2007 menje-
laskan bahwa standar kompetensi adalah kualifi-
kasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, si- kap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau
semester pada suatu mata pelajaran.
Kompetensi dan pengukuran hasil belajar berhubungan erat, pada akhir pembelajaran baik pengajar maupun siswa ingin tahu bagaimana hasil pembelajaran itu, secara sederhana mereka
ingin mengetahui bagaimana nilai yang dicapai. Untuk menjawab pertanyaan itu guru perlu membuat
alat pengukuran yang dapat mengukur penguasaan kompetensi yang dimaksud dalam tujuan pembelajaran.
Komunikasi merupakan
salah satu standar kompetensi lulusan bagi siswa sekolah
dasar sampai menengah yang tertuang
dalam Permen- diknas nomor 23 tahun 2006 tentang standar
kompetensi lulusan. Oleh karena itu, komunikasi dalam matematika perlu mendapat perhatian serius untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi objek
refleksi,
perbaikan, diskusi, dan pengembangan. Lee (2006,
p.69) menjelaskan bahwa:
By communicating their ideas as they learn they will become able to use and control mathematical concepts with more confidence then the presently
do. How- ever, they pupils must take on a different role in mathematics class roomand so must the teacher. Pupils must be involved in and responsible for their own learning and teachers
must help them to be able to do this. Teachers can accomplish this in several ways: By changing
the was in the which pupils interact with the work and each other;
by giving them more challenging problems to solve; and by asking them to express their mathema-
tical ideas in writing
Mengkomunikasikan ide-ide siswa saat mereka
belajar menyebabkan mereka bisa meng- gunakan
dan mengontrol konsep-konsep mate- matika dengan
keyakinan yang lebih dari yang mereka
lakukan saat ini. Siswa harus mengambil
peran yang berbeda dalam kelas matematika dan demikian juga dengan guru. Siswa harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap belajar mereka
sendiri, sedangkan guru harus membantu mere- ka untuk bisa melakukannya. Guru dapat mela-
kukan tugasnya melalui beberapa
cara: meng- ubah cara siswa berinteraksi dengan
pekerjaan dan satu sama lain; memberikan mereka masa-
lah yang lebih menantang untuk dipecahkan, dan meminta mereka untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara tertulis. Menurut Los Angeles County Office of Education
(Mahmudi, 2009, p.3) terdapat berbagai bentuk komunikasi komu- nikasi matematis yaitu (a) merefleksi dan meng- klarifikasi pemikiran tentang ide-ide matema- tika; (b) menghubungkan bahasa
sehari-hari dengan bahasa matematika yang menggunakan simbol-simbol; (c) menggunakan keterampilan membaca, mendengarkan, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide
matematika; dan (d) menggunakan ide-ide
matematika untuk mem- buat dugaan (conjecture) dan membuat argumen
yang meyakinkan.
Lebih lanjut Los Angeles
County Office of Education (LACOE) menyatakan bahwa komunikasi matematis mencakup komunikasi tertulis maupun lisan atau verbal.
Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang menggam-
barkan proses berpikir siswa. Komunikasi tertu-
lis juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggam-
barkan kemampuan siswa
dalam mengorganisasi berbagai
konsep untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan komunikasi lisan dapat berupa peng- ungkapan
dan penjelasan verbal suatu gagasan
matematika. Komunikasi lisan dapat terjadi melalaui interaksi antarsiswa misalnya
dalam pembelajaran dengan setting diskusi
Kelompok.
Stacey (2007, p.40)
mendefinisikan pro- ses berpikir matematika sebagai
berikut,
mathematical thinking process consist of: (1). Specializing (trying special cases, looking at examples), (2). Generalizing (looking for patterns and relationships), (3). conjecturing (predicting relationships and results), and (4). convincing (finding and communicating reason why something is true).
Proses berpikir
matematika terdiri dari spesialisasi (mencoba kasus khusus,
melihat contoh-contoh), generalisasi (mencari pola-pola dan hubungan), menduga (memprediksi hu- bungan dan hasil),
dan meyakinkan (menemu-
kan dan mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu itu benar).
Upaya untuk memunculkan berpikir mate- matis siswa pada pembelajaran matematika dapat menggunakan masalah-masalah konteks- tual sebagai materi pengantar. Masalah-masalah kontekstual adalah soal-soal cerita yang berkait-
an dengan masalah yang ditemui dalam kehi- dupan nyata setiap
hari. Sebagaimana yang dijelaskan Bonomo,
(2007, p.319),
bahwa “mathematics would have to be applied
to natural situations, in which there appear
real problems, and to solve it is necessary the use of the mathematical method”. Kalimat di atas menjelaskan bahwa matematika seharusnya dite- rapkan pada situasi alami, di mana akan muncul
masalah nyata, dan untuk menyelesaikannya diperlukan penggunaan berpikir
matematis.
Katagiri,
(2007, pp.117-118) menjelaskan secara detail bahwa mathematical thinking ter- kait dengan metode
matematika mencakup:
Mathematical thinking related to mathema-
tical methods is inductive thinking, analo- gical thinking, deductive thinking, integra- tive thinking (including expansive thinking), developmental thinking, abstract thinking (thinking that abstracts,
concretizes, idea- lizes, and thinking
that clarifiesconditions),
thinking that simplifies, thinking that generalizes, thinking that specializes, thinking that symbolize, thinking that express with numbers, quantifies, and figures.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa mathematical thinking terkait metode matema- tika mencakup berpikir induktif, analogi, de- duktif, integrasi, pemikiran mengembangkan, abstraksi, menyederhanakan, generalisasi, mengkhususkan, menyimbolkan, dan menyata-
kan dengan angka, jumlah,
dan gambar/bangun. Sedangkan menurut Arcavi (2007, p.2), yang termasuk
berpikir matematis adalah “mathema- tical methods consists of: inductive and deduc- tive reasoning, analogical thinking, generali-
zation, specialization, symbolization”. Menje- laskan
bahwa berpikir matematis terdiri dari penalaran induktif dan deduktif, bepikir analogi, generalisasi, spesialisasi, dan simbolisasi. Se- orang guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang membuat siswanya dapat mengeksplorasi kemampuan berpikirnya sehing-
ga dapat melatih
berpikir matematis siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir matematis adalah proses berpikir matematika dengan
mengguna- kan prinsip-prinsip matematika dalam menyele- saikan permasalahan matematika.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan keefektifan pembelajaran cooperative learning (student team achievement division dan think-pair-share) dan keefektifan metode student
team achievement division
dibandingan dengan
metode think-pair-share ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompe-
tensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis siswa SMP. Dan diharapkan dengan adanya penelitian ini akan mampu memberikan sumbangan dalam pembelajaran matematika, terutama yang berkaitan
dengan pembelajaran cooperative learning type student team achievement division, type think-pair- share, dan bagaimana
keefektifan kedua pem- belajaran tersebut pada ditinjau
dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis siswa SMP.
METODE
Jenis penelitian ini adalah
eksperimen semu (quasi experiment) dengan desain pretest- posttest nonequivalent comparison-group design. Penelitian ini dilakukan
di SMP Negeri
7 Yogyakarta dari bulan Maret sampai dengan
April tahun 2014. Adapun populasinya adalah seluruh siswa Kelas VIII SMP Negeri 7 Yogya- karta Tahun Pelajaran
2013/2014 yang terdiri
dari 5 kelas.
Dengan memilih secara acak dari keseluruhan siswa keenam kelas tersebut, maka dipilih siswa dari dua kelas saja yang menjadi sampel penelitian, yaitu siswa kelas VIII A dan siswa
VIII B.
Variabel bebas dalam penelitian ini ada- lah pembelajaran cooperative learning
(type student team achievement division dan think-
pair-share) dan variabel
terikatnya adalah keter- capaian standar kompetensi, kemampuan komu- nikasi matematika, dan berpikir matematis. Instrumen yang digunakan untuk
mengukur ketercapaian standar kompetensi, adalah tes prestasi belajar matematika yang terdiri
atas 14 soal uraian. Instrumen
yang digunakan untuk mengukur
kemampuan komunikasi matematika adalah tes kemampuan
komunikasi yang terdiri
atas enam soal uraian, dan untuk aspek berpikir matematis instrumen yang digunakan
adalah tes dengan tujuh soal uraian dan angket berpikir matematis. yang terdiri
atas tiga puluh item yang berbentuk
checklist.
Teknik pengumpulan data dilakukan
de- ngan pertama-tama memberikan tes dan angket
sebelum perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pem- berian perlakuan
berupa penerapan pembelajar- an cooperative learning type student
team achievement division
dan type think-pair-share dan diakhiri dengan
pemberian tes dan angket
setelah perlakuan terhadap
kedua sampel tersebut. Pada penelitian ini, teknik analisis data dilakukan dengan
cara mendeskripsikan data dan menganalisis statistik inferensial terhadap
data yang diperoleh. Deskripsi data dilakukan dengan mencari rata-rata, standar deviasi, va- rians, skor
minimal, dan skor
maksimal dari data yang diperoleh, baik untuk data sebelum
perla- kuan, maupun untuk data setelah perlakuan.
Untuk menguji apakah pembelajaran cooperative learning (student team achievement division dan think-pair-share) ditinjau dari ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis siswa SMP digunakan uji one sample t-test dengan formula
sebagai berikut:
..............................................(1)
dengan:
= nilai
rata-rata yang diperoleh
= nilai yang dihipotesiskan (74,99 untuk aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis dan angket berpikir matematis 100,99)
= standar deviasi sampel
= banyak anggota
sampel.
Kriteria pengujiannya adalah H0 ditolak
jika
Untuk data sebelum
perlakuan dilakukan uji MANOVA untuk melihat apakah terdapat
perbedaan kemampuan awal antara dua kelas sampel
ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matema-
tika, dan berpikir
matematis siswa SMP dengan menggunakan formula
sebagai berikut:
.............(2)
keterangan:
T2 =
Hotelling‟s Trace
n1 =
banyak anggota sampel I n2 =
banyak anggota sampel II
- = mean vektor
S-1 = invers
matriks kovariansi.
Setelah
memperoleh nilai T2 Hotteling‟s, selanjutnya nilai tersebut ditransformasikan untuk memperoleh nilai distribusi F dengan formula sebagai berikut:
.................................(3)
(Stevens,
2009, p.151) dengan:
p =
banyaknya variabel terikat.
Kriteria pengujiannya adalah H01 ditolak jika Fhit ≥ F(; p; n1 + n2 – p – 1).
Setelah
diketahui bahwa tidak
terdapat
perbedaan kemampuan awal antara
kedua kelas sampel, maka untuk data tes dan angket setelah
perlakuan pun dilakukan uji untuk melihat apakah terdapat perbedaan keefektifan pembel-
ajaran cooperative learning
(student team achievement division dan think-pair-share ditinjau dari aspek ketercapaian standar kom- petensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis dengan menggunakan rumus MANOVA (2) dan (3). Setelah diketahui
bahwa terdapat perbedaan keefektifan, maka terhadap data tersebut dilakukan uji t-Benferroni untuk melihat apakah pembelajaran cooperative learning
type student team achievement division lebih efektif daripada type think-pair-share
ditinjau
dari
ketiga aspek tersebut dengan
menggunakan formula
sebagai berikut:
|
.......................
(4)
Tabel 1.
Deskripsi Data Ketercapaian Standar Kompetensi
Keterangan:
= nilai rata-rata sampel I
= nilai rata-rata sampel II
= varians
sampel I
= varians
sampel II
n1 =
banyak anggota sampel I
n2 =
banyak anggota sampel II.
Kriteria pengujiannya adalah H02, H03, dan H04 ditolak jika ≥ t(; n1+n2-2).
Akan tetapi, sebelum melakukan analisis di atas,
terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi
terhadap data ketercapaian standar kompetensi, kemampuan
komunikasi matematika, dan ber-
pikir matematis siswa SMP yaitu uji normalitas multivariat dan uji homogenitas matriks kova-
rians, baik
untuk data sebelum
dan setelah perlakuan. Uji normalitas multivariat dilakukan menggunakan uji jarak Mahalanobis ( dengan kriteria keputusan bahwa data dikatakan berdistribusi normal jika sekitar 50%
data mempunyai nilai Uji homogenitas matriks kovarians dilakukan dengan mengguna- kan
uji Box‟s
M
dengan kriteria
keputusan
bahwa data dikatakan homogen
jika nilai signifikansi
F lebih besar dari 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pendekatan pembelajaran cooperative learning (type student team achive-
ment division dan think-pair-share) pada penelitian ini sudah berjalan sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang sudah ditetapkan. Meskipun semua kegiatan
pembelajaran tersebut
sudah dilaksanakan tetapi ditemukan beberapa keterbatasan yang menjadi
kendala pada pelak- sanaan penelitian ini, terutama pada pertemuan- pertemuan awal, seperti: alokasi waktu antar-
kegiatan pembelajaran kurang diperhatikan, siswa cenderung takut dalam memberikan tanggapan pada saat kegiatan
presentasi kelas dilaksanakan.
Deskripsi data ketercapaian standar kom- petensi, baik untuk kelas student tema achieve- ment division (STAD), maupun untuk kelas think-pair-share (TPS) bisa dilihat pada Tabel 1.
|
Standar Deviasi 7,35 7,10 8,27 9,11
Berdasarkan Tabel 1, diperoleh informasi bahwa nilai rata-rata ketercapaian standar kom- petensi
siswa, baik untuk kelas STAD, maupun kelas TPS sebelum perlakuan belum mencapai nilai rata-rata
75 dan setelah perlakuan sudah mencapai nilai rata-rata di atas 75.
Deskripsi data kemampuan
komuni- kasi matematika, baik untuk
kelas STAD, maupun
untuk kelas TPS bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi Data Kemampuan Komunikasi
matematika
Deskripsi
|
STAD
|
TPS
|
||
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
|
Rata-rata
|
41,52
|
88,99
|
43,21
|
82,47
|
Nilai
|
|
|
|
|
Maksimum
|
|
|
|
|
Teoretik
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Nilai Minimum
|
|
|
|
|
Teoretik
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Nilai
|
|
|
|
|
Maksimum
|
79,49
|
98,72
|
69,23
|
100
|
Nilai Minimum
|
7,69
|
71,79
|
19,23
|
51,28
|
Standar Deviasi
|
12,57
|
8,23
|
14,38
|
12,60
|
Variansi
|
158,09
|
67,75
|
206,75
|
158,66
|
Berdasarkan Tabel 2, diperoleh informasi bahwa nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematika siswa, baik untuk kelas STAD, maupun kelas TPS sebelum perlakuan belum mencapai nilai rata-rata 75 dan setelah perla-
kuan sudah mencapai nilai
rata-rata di atas 75.
Deskripsi data berpikir matematis
siswa terhadap proses pembelajaran matematika, baik untuk kelas STAD, maupun untuk kelas
TPS bisa
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Deskripsi
Data Berpikir matematis Siswa
tika, dan berpikir matematis untuk sebelum dan setelah perlakuan sudah memenuhi asumsi homogenitas.
|
|
Hasil uji mengenai keefektifan pembel-
ajaran cooperative learning ( type STAD dan TPS) ditinjau
dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matema-
tika, dan berpikir matematis dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil
Uji One Sample t-test
Aspek
|
STAD
|
|
TPS
|
|
thit
|
Sig.
|
thit
|
Sig.
|
|
Variansi 115,18 101,45
187,86
68,76
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah skor berpikir matematis siswa terhadap
proses pembelajaran matematika, baik untuk kelas STAD, maupun kelas TPS sebelum perla- kuan belum mencapai rata-rata
skor 75 dan setelah perlakuan
sudah mencapai rata-rata skor
|
Berpikir
matematis 6,622 0,000 4,469 0,000
Angket
di atas 75.
Berpikir
4,488 0,000 2,578 0,015
Uji normalitas dan homogenitas data ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis siswa untuk sebelum dan setelah perlakuan, baik untuk kelas STAD, maupun untuk kelas TPS secara
berturut-turut bisa dilihat
pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas
STAD 55,88% 50,00%
TPS 50,00% 52,94%
Tabel 4 memperlihatkan bahwa sekitar 50% data mempunyai
nilai . Atau dengan kata lain, data ketercapaian standar kom- petensi,
data kemampuan komunikasi matema-
tika, dan berpikir matematis untuk sebelum dan setelah perlakuan, baik
untuk kelas STAD, maupun untuk
kelas TPS sudah memenuhi asumsi
normalitas.
Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas
matematis
Berdasarkan Tabel 6, diperoleh
informasi bahwa nilai signifikansi t untuk semua aspek lebih kecil dari 0,05. Artinya, Ho ditolak atau dengan kata lain, pembelajaran cooperative learning type STAD dan TPS efektif
ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi, dan berpikir mate- matis. Hasil di atas kemudian sejalan dengan kajian teori yang mengungkapkan bahwa kedua pembelajaran cooperative learning tersebut
ditinjau dari ketiga aspek yang diukur. Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran coope- rative learning type STAD siswa aktif dalam berdiskusi menyelesaikan masalah, terbentuk ketergantungan positif pada masing-masing siswa untuk terus meningkatkan pemahaman dan prestasinya agar kelompok mereka men- dapatkan penghargaan yang baik.
Pada pembelaran cooperative learning type STAD, siswa terlibat langsung dalam pem- belajaran, mulai dari siswa memahami
masalah, sampai
dengan siswa menemukan konsep yang
Sebelum Perlakuan
Setelah Perlakuan
terkandung dalam masalah tersebut. Keterlibatan tersebut, bukan hanya sampai pada menemukan
Box‟s M 5,850 10,696
F 0,927 1,695
Sig. 0,474 0,118
Berdasarkan Tabel 5, diperoleh
informasi bahwa nilai signifikansi F lebih besar dari 0,05 atau dengan kata lain, data ketercapaian standar kompetensi,
kemampuan komunikasi matema-
konsep, melainkan
juga berlanjut pada kegiatan
diskusi kelas, baik diskusi tentang
penemuan konsep, maupun diskusi
tentang hasil pengerja- an contoh dan latihan soal di depan kelas. Siswa pada kegiatan
diskusi boleh memberikan tang- gapan, pertanyaan, dan bahkan jawaban terkait dengan
yang
disampaikan siswa tertentu
di
depan kelas. Hal ini kemudian membuat siswa, bukan hanya terampil dalam menjawab soal, melainkan juga terampil dalam memberikan alasan terkait
dengan jawaban yang mereka
miliki. Sebagai tambahan, pada setiap pertemu- an pada pembelajaran STAD diberikan penghar-
gaan kelompok, dimana setiap siswa turut andil
dalam menyumbangkan poin pada kelompok-
nya. Kelompok yang memiliki
nilai rata-rata tertinggi
maka akan mendapatkan penghargaan yang baik. Guru memberi tahu kepada setiap
siswa siapa saja yang memberikan sumbangan nilai tertinggi dalam kelompoknya, sehingga
dapat memotivasi siswa agar lebih giat dan dapat
meningkatkan nilainya.
Selain itu, pada pembelajaran cooperative learning type TPS pun, siswa juga diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan suatu soal yang bersifat
masalah. Siswa diberi waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri (think), disini siswa dapat mengembangkan pemahamannya terhadap masalah yang diberikan. Setidaknya pada tahap think ini siswa sudah memiliki
pemahaman dan jawaban sementara terhadap
masalah yang diberikan. Selanjutnya, siswa duduk berpasangan (pair) untuk mendiskusikan masalah yang diberikan, menyatukan pemikiran, menemukan konsep, setelah
mendapat jawaban
dan kesepakatan maka siswa akan mempresen- tasikan hasil diskusi mereka
ke depan kelas (share). Pada tahap share memungkinkan pe- ningkatan
pemahaman siswa karena siswa dapat bertanya
atas apa yang tidak dipahaminya kepa- da teman yang presentasi, bertukar ide dan gagasan.
Hasil penelitian ini pun sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kaddoura, Mahmoud.
(2013, p.
8); Muhammad Iqbal
Majoka (2010,
p.19); Effandi Zakaria (2010, p.1); Shininger
(2006, p.27); Adesoji &
Ibraheem (2009,
p. 29); Marsigit
(2007, p.15) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran cooperative learning (STAD dan TPS) ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, ke- mampuan
komunikasi matematika, dan berpikir matematis.
Hasil uji mengenai apakah terdapat per- bedaan
kemampuan awal antara kedua kelas sampel sebelum diberikan perlakuan dan perbe- daan keefektifan pembelajaran cooperative learning ( type STAD dan TPS) ditinjau
dari ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Hasil MANOVA Data Sebelum
dan Setelah Perlakuan
F Sig.
Kelas (Sebelum Perlakuan) 0,629 0,599
Kelas (Setelah Perlakuan) 9,227 0,000
Berdasarkan Tabel 7, diperoleh informasi bahwa nilai signifikansi F lebih besar dari 0,05 untuk data sebelum
perlakuan dan lebih kecil dari 0,05 untuk data setelah perlakuan. Artinya, untuk sebelum perlakuan, tidak terdapat perbe- daan kemampuan awal antara kelas STAD dengan TPS ditinjau
dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi, dan berpikir matematis. Setelah perlakuan, terdapat perbedaan keefektifan pembelajaran cooperative lerning (type STAD dengan type TPS) ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi, dan berpikir
matematis.
Setelah
diketahui bahwa terdapat perbeda- an keefektifan antara kedua metode pembelajar- an, maka akan dilakukan
uji t-Benferroni untuk melihat
bahwa pembelajaran cooperative learn- ing type STAD lebih efektif
daripada pembel- ajaran cooperative learning type TPS ditinjau
dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematika, dan berpikir matematis. Hasil uji t-Benferroni bisa dilihat
pada Tabel 8.
|
Tabel 8. Hasil
Uji t-Benferroni
Ketercapaian SK Kemampuan
Komunikasi
Berpikir matematis
Berdasarkan Tabel 8, diperoleh
informasi t-Benferroni ttab. Atau dengan kata lain, pem- belajaran
cooperative learning type STAD lebih efektif daripada pembelajaran cooperative learning type TPS ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi,
kemampuan
komunikasi matematika, dan berpikir
matematis. Hasil penelitian ini pun kemudian sejalan dengan kajian teori
yang mengungkapkan bahwa pembelajaran cooperative learning
type STAD lebih efektif daripada pembelajaran cooperative learning type TPS ditinjau dari
ketiga aspek yang diukur tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam kelas STAD, siswa bukan hanya terlibat dalam
menemukan konsep dan
diskusi kelas saja,
melainkan juga selalu termotivasi
dalam
meningkatkan nilai agar kelompok mereka men- dapatkan
penghargaan yang baik.
Selanjutnya, jika mengaitkan hasil peneli- tian ini dengan kajian penelitian yang relevan,
maka hasil ini pun sejalan. Hal ini terlihat
dari lebih banyak penelitian relevan yang merujuk pada pembelajaran cooperative learning
type STAD lebih efektif daripada pembelajaran cooperative learning type TPS ditinjau dari aspek ketercapaian standar kompetensi, kemam-
puan komunikasi matematika, dan berpikir matematis
siswa.
Meskipun hasil penelitian ini sudah seja- lan dengan
kajian teori dan penelitian yang relevan tetapi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat beberapa keterba-
tasan yang menjadi
kendala dalam pelaksanaan penelitian ini. Berdasarkan atas hal tersebut,
maka ada beberapa hal yang disarankan, antara lain:
Peneliti hanya membatasi pada delapan kali pertemuan untuk kemudian menilai aspek
ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi
matematika, dan berpikir
matematis. Padahal untuk bisa mengetahui seberapa baik ketiga aspek tersebut berkembang membutuhkan waktu yang relatif lama. Peneliti hanya meng- ambil materi bangun ruang sisi datar saja dalam penelitian ini sehingga generalisasi terkait dengan hasil
penelitian menjadi terbatas.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pembelajaran cooperative learning (type STAD dan TPS) efektif dan pembelajaran cooperative learning type STAD lebih efektif daripada pembelajaran cooperative learning type TPS ditinjau
dari ketercapaian standar kompetensi, kemampuan komunikasi matematis, dan metode
matematika.
Saran
Berdasarkan hasil serta temuan penelitian, dan dengan memperhatikan keterbatasan pene- litian, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: (1) Disarankan kepada guru untuk menggunakan pembelajaran cooperative learning (Student
Teams Achievement Divisions) dan pembelajaran cooperative learning
type TPS (Think-Pair-Share) dalam pembelajaran mate- matika.
Disarankan kepada peneliti lain agar memperluas materi
yang digunakan dalam penelitian, sehingga memungkinkan generalisasi yang
lebih luas. (2)
Disarankan kepada guru
agar dalam menerapkan pembelajaran coope- rative learning, dapat mempersiapkan bahan
ajar, LKS, alat dan bahan serta rencana pem- belajaran
yang memberi kesempatan lebih luas kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahu- annya secara mandiri. (3) Disarankan kepada
guru agar dalam meningkatkan berpikir mate-
matis siswa, diharapkan menggunakan permasa- lahan-permasalahan nyata (real problems)
yang sering siswa saksikan dalam kehidupan sehari-
hari. (4) Disarankan kepada guru dalam mening-
katkan kemampuan komunikasi matematika, diharapkan menggunakan permasalaha-permasa- lahan yang mampu memancing
mereka untuk mengutarakan alasan dan argumentasi mereka dalam menyelesaikan masalah tersebut. (5) Disarankan kepada guru agar dalam mening- katkan ketercapaian standar kompetensi mate- matika, diharapkan menggunakan alat peraga, LKS yang membantu
siswa menemukan konsep, banyak memberikan latihan soal dan mem- bimbing
siswa dalam menyelesaikan permasa-
lahan yang lebih kompleks atau sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Arcavi, A. (2007). Mathematical thinking in japanese
classrooms: Diambil
tanggal
10 juli 2013, dari http://www.crme.kku.ac.th/APEC/PDF
%202007/ Abraham%20Arcavi.pdf.
Arra., C.T., D’ Antonio., M.D., Jr., D’ Antonio.
(2011). Students’ preferences for cooperative learning instructional approaches: Considerations for college
teachers. Journal of Reseach in Education, 21, 1, 114-126.
Arends, R. I., & Kilcher, A. (2010).
Teaching for student learning (Becoming an accomplished teacher). New York: Routledge Ratlor.
Bonomo, M.F.C. (2007). Mathematical thinking like angular stone in the understanding of real world phenomena: Diambil pada tanggal 1 agustus 2013, dari http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/ap ec/apec2007/progress_report/specialists_ session/Francisco_Cerda_Bonomo.pdf.
Borich, G.
D. (2007). Effective teaching methods “research-based practice” (6th ed). Columbus: Pearson Education Inc.
Depdiknas. (2006)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI
nomor
22, tahun 2006, tentang standar
isi. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2006).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 23, tahun 2006, tentang standar kompetensi lulusan.
Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2007).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 41, tahun 2007, tentang standar Proses. Jakarta:
Depdiknas.
DIKTI. (2011). Defenisi dan pengertian kompetensi dan learning
outcomes. Kemendikbud.
Hermawan, T. (2007).
Pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa SMP. Cakrawala
Pendidikan, 1,
41-62.
Kaddoura, Mahmoud. (2013). Think pair share: a teaching learning strategy to enhance students' critical
thinking. West Monroe: Educational Research Quarterly.
Marsigit, Susanti, M., & Arliani. (2007). Lesson study on mathematical thinking: developing mathematical methods in learning the
total area of a right circular cylinder and sphere
as well as the volume of a right circular cone of the indonesian 8th grade students. Diambil
tanggal 8 september
2013, dari http://home.kku.ac.th/crme/APEC/PDF
%202007/Marsigit.pdf.
Maton, K., & Moore, R. (2010). Social realism,
knowledge and the sociology
of education: coalitions of the mind. New York:
Continuum.
Shininger, K. A. (2006),
The benefits of using STAD in a middle school mathematics classroom.
Diambil
tanggal 12 Januari 2014, dari www. http://etd.ohiolink.edu/send- pdf.cgi/Shininger%20Karl%20A.pdf?def 1281639234.
Slavin, R.E. (1995). Cooperative learning: teori,
th
Katagiri, S. (2007). Mathematical thinking and how
to teach it: Tokyo:
CRICED,
riset, and praktik (2
AllymandBroon.
ed). Sydney:
University of Tsukuba.
Lee, C. (2006). Language
for learning mathematics: assessment fotlLearning in practice. New York: Open University Press.
Mahmudi, A. (2009).
Komunikasi dalam pembelajaran matematika. Journal MIPMIPA UNHALU volume 8,
nomor 1,
Februari 2009.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pe
Stacey, K. (2007), What is mathematical thinking and why is it important?. Progress report of the APEC project:
“Colaborative Studies on Innovations for Teaching
and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University
of Tsukuba.
Steven, J. P. (2009). Applied
multivariate
th
nelitian/Ali%20Mahmudi,%20S.Pd,%20 statistics for the social sciences (5 ed).
MP.d,%20Dr./Makalah%2006%20Jurna %UNHALU%202008%20_Komunikasi %20dlm%20Pembelajaran%20Matemati ka_.pdf. Diambil
pada tanggal 21 Maret 2013.
Majoka., I.M., Dad., M.H., Mahmood., T. (2010). Student team achievement division (STAD)
as an active
learning strategy: Emperical evidence from mathematics classroom. Journal Educations
and Sociology, 16-21.
New York: Routledge Taylor &
Francis
Group.
Young, M. F. D. (1998). The Curriculum of the Future From the „New Sociology of Education‟ to a Critical
Theory of Learning. London: Falmer Press.
Zakaria, E., & Iksan, Z. (2007).
Promoting cooperative learning in science and mathematics education: a malaysian
perpective. Selangor: Eurasia Journal of mathematics, 35-39.
No comments:
Post a Comment
you say